Sederhananya, jika kita berutang ke bank dengan menjaminkan rumah, kita harus menyerahkan kedaulatan rumah kita kepada kreditur. Apa yang terjadi kalau tidak terbayar? Rumah kita pastinya harus diserahkan. Bagaimana kalau negara tidak mampu membayar utang-utangnya? Krisis 1998, negara-negara kreditur menilai Indonesia tidak mampu membayar utang-utangnya, kedaulatan negara harus diserahkan kepada IMF yang ikut mengatur APBN.Â
Indonesia lepas dari IMF setelah dana talangan IMF dilunasi dengan mengatur skala prioritas pembangunan yang membuat pembangunan agak tersendat. Namun, ketika lepas dari IMF, megakorupsi pun terjadi yang melibatkan wakil rakyat dan fungsionaris partai. Ganti presiden tak serta merta korupsi itu hilang, wakil rakyat masih menjadi calo proyek. Sementara rakyat harus bersaing dengan serbuan tenaga asing pemilik modal.
Ibarat sebuah lingkaran setan, mata rantai korupsi tidak dapat dihapus karena anggaran negara memang dibuat agar bisa dikorupsi yang menjadi daya tarik kekuasaan untuk diperebutkan dengan segala cara. Ongkos politik itu mahal. Sekian puluh miliar katanya berhasil dikumpulkan untuk biaya kampanye menduduki kursi nomor 1 DKI terang-terangan menjadi berita yang membanggakan pendukungnya.
Di tengah suasana seperti itu, rakyat seperti terbelah dukung sana dukung sini. Adakah yang menyadari bahwa sesungguhnya rakyat sudah menjadi alat politik, sementara utang negara makin melangit. Siapa lagi kalau bukan rakyat yang menanggung dengan menaikkan segala pungutan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H