Mohon tunggu...
Doddy Poerbo
Doddy Poerbo Mohon Tunggu... -

apalah arti sebuah nama

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dendam Keluarga Mirna

6 Oktober 2016   23:10 Diperbarui: 6 Oktober 2016   23:16 792
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam sebuah konfrensi pers keluarga Mirna  yang ditayangkan stasiun televisi  menyikapi tuntutan JPU  yang memohon agar Jessica divonis hukuman mati merpakan keyakinan bahwa Jessica adalah pelaku pembunuhan Mirna. Permintaan tersebut sangat wajar, siapapun akan marah dan tidak merelakan  kehilangan anggota keluarganya. 

Namun jika dicermati pembacaan tuntutan JPU  yang memberikan gambaran perbuatan Jessica  sebagai pembunuh berdarah dingin, berbelit belit dan tidak menyesali perbuatannya, tuntutan penjara 20 tahun mencerminkan keraguan JPU. Tidak adanya saksi fakta, JPU lebih banyak berasumsi menjadi sebuah cerita layaknya sebuah sinetron yang diperankan oleh Jessica.

Jika ditengok pada awal persidangan, dalam surat dakwaan disebutkan Jesicca menaruh paperbag diatas meja untuk menututupi perbuatannya mengawali sebuah persidangan panjang  yang penuh intrik serta perdebatan yang akhirnya opini publik cenderung berbalik.  Dan pada akhirnya, dalam rangkuman tuntutan JPU ceritapun disusun, Jessica mengambil Cyanida sebanyak 5 gram dari dalam papperbag  dan seterusnya yang seolah terkuak dalam fakta persidangan yang ditonton jutaan pasang mata.

Layaknya sebuah pertunjukkan, JPU telah melaksanakan tugasnya dengan baik untuk memuaskan penonton untuk menghindari kemarahan yang menghendaki jalan cerita happy ending.  Inilah trik yang sering dilakukan oleh JPU yang biasa dalam pengaturan perkara dengan  memberikan "umpan" kepada penasehat hukum yaitu dengan mengganti fakta persidangan menjadi celah membangun  kepiawaian penasehat hukum yang akan menjadi sasaran kemarahan.

Sejak kasus ini bergulir, peran media dalam membentuk opini publik begitu kental dimana ayah Mirna, Darmawan Salihin menjadi  bintang pemberitaan yang tentu saja sangat subjective. Bermain med ia memang menjadi trik pihak-pihak yang bertikai dalam sebuah perkara belakangan ini seperti apa yang dialami oleh Antasari Azhar yang pada awalnya bidikan itu dilakukan melalui media.

Tak berbeda dengan kasus Jessica, media begitu gencarnya membangun opini yang bersumber dari ayah Mirna maupun penyidik walaupun banyak pihak yang menilai terlalu gegabah mentersangkakan Jessica. Seiring jalannya persidangan opini itu mulai berbalik dan menjadikan tayangan televisi mengenai kasus ini menyedot perhatian publik yang sangat mungkin memiliki rating cukup tinggi.

Persidangan yang ditonton jutaan pasang mata ini menjadi tekanan tersendiri baik bagi JPU maupun majelis hakim sebaliknya menjadi moment bagi pengacara untuk menguji bukti2 yang disampaikan dipersidangan yang selama ini ditutupi. Alhasil, persidangan diwarnai intrik dan perdebatan yang sudah keluar dalam konteks mencari kebenaran menjadi adu ilmu yang disampaikan oleh saksi ahli. Namun satu hal yang terungkap dalam persidangan bahwa tidak ada satupun sakti fakta yang melihat tindakan Jessica seperti yang disampaikan oleh JPU  dalam tuntutanya.

Lagi-lagi sebuah kesimpulan normatif yang disampikan oleh para narasumber yang merupakan para pakar, semua tergantung putusan majelis hakim. Namun yang paling menarik disini, cerita tentang tindakan Jessica yang tidak ada dalam persidangan yang disampaikan oleh JPU dalam tuntutannya menjadi sebuah indikasi  persidangan tersebut menjadi sebuah panggung  pertunjukan yang mengarahkan Otto Hasibuan menjadi bintangnya yang mungkin sengaja dijadikan sasaran kemarahan keluarga Mirna Salihin yang begitu gigihnya mengawal persidangan sambil membangun opini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun