Begitu mudahnya menahan seseorang, sekalipun dengan bukti palsu, bisa saja seseorang menjadi pesakitan yang tentunya akan merusak masa depannya karena stigma yang diperolehnya ditengah masyarakat. Jangankan rehabilitasi, membongkar prilaku hukum yang demikian menjadi takut karena yang dihadapi adalah kekuasaan.Â
Mungkin seperti itu juga yang dialamai oleh Karta dan Sengkon atau Pak De yang dinyatakan sebagai pembunuh Ditje beberapa waktu silam tak bedanya dengan Jessica yang sudah mendapat stigma pembunuh sebelum vonis pengadilan. Terlebih banyaknya kasus yang diungkap KPK penyalahgunaan jabatan hakim yang disebut wakil Tuhan di dunia ini oleh penasehat hukum Jessica.
Seperti yang disaksikan dalam peradilan Jessica, agaknya hak Jessica sudah dikesampingkan, peradilan lebih cenderung kepada menang-menangan yang dipertontonkan oleh aparatur penegak hukum dan para saksi ahli. Tak heran, persidangan diwarnai kegaduhan dan saling menyerang yang sudah keluar dari substansi mencari kebenaran dan hal semacam itu disebut trik penuntutan dan pembelaan.Â
Namun yang menarik disini, ayah Mirna yang begitu yakin anaknya dibunuh oleh Jessica harus menhadapi kenyataan, tidak terungkapnya penyebab kematian Mirna  secara tepat oleh karena keputusannya sendiri yang tidak mengizinkan dilakukan otopsi jenasah secara lengkap.Â
Yang menjadi pertanyaan, pakah peradilan Jessica merupakan perkara pesanan? Sebab, sejak awal media mengembangkan opini penyebab kematian Mirna karena sianida yang dalam persidangan dibantah oleh saksi ahli penasehat hukum oleh karena tidak dilakukan otopsi secara lengkap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H