Kombes Krishna Murti yang mencuat namanya ketika terjadi aksi teroris di Jl. MH Thamrin Jakarta, sempat diangkat menjadi Wakapolda Lampung sebelum dimutasi ke Mabes Polri, kini namanya mencuat lagi oleh dugaan pelanggaran kode etik dalam penanganan tewasnya Mirna Salihin.Â
Namun, menyangkut dugaan pelanggaran kode etik, Kapolri sebagaimana diberitakan mungkin saja hal tersebut merupakan trik penyidikan untuk mendapatkan pengakuan.
Sejak kasus tersebut mencuat kepermukaan, berbagai pihak menilai keputusan mentersangkakan Jessica sebagai pelaku tunggal pembunuhan berencana terlalu gegabah dan seperti yang diketahui dalam persidangan panjang yang disiarkan secara live dipenuhi oleh kegaduhan dan perdebatan. Bahkan terungkap dalam persidangan adanya indikasi rekayasa barang bukti rekaman CCTV dan tidak dilakukan otopsi jenazah secara lengkap untuk mengetahui penyebab kematian Mirna.
Ada orang mati setelah minum kopi, demikian dikatakan oleh salah seorang majelis hakim, atau tanpa saksipun hakim bisa memutuskan bersalah seperti  vonis yang pernah dijatuhkannya mewarnai sidang yang sebelumnya media berdasarkan statemen penyidik sempat menjustifikasi Jessica sebagai pelaku pembunuhan sebelum pembuktian.
Belakangan, dalam hal apapun, media dapat digunakan sebagai pembangunan opini publik yang membawa misi kedua belah pihak yang saling berlawanan dan begitu gencarnya pemberitaan mengenai Jessica sebelumnya mungkin saja dapat menjadi bumerang bagi aparatur penegak hukum jika Jessica dibebaskan.
Inilah yang menjadi permasalahan utama dalam implementasi penegakkan hukum yang menyangkut rasa tanggung jawab. Dalam kasus pidana, sering terjadi tangkap terlebih dahulu dengan alasan pengamanan selama 3 X 24 jam dan pengakuan menjadi bukti permulaan untuk mentersangkakan seseorang agaknya hal ini juga dilakukan terhadap Jessica yang disampaikan didalam persidangan.Â
Memang, membujuk, memaksa agar mengakui adalah tehnis penyidikan, namun mengandalkan CCTV sebagai bukti utama sebagaimana persidangan Jessica sangat mungkin direkayasa.
Seperti apa yang yang temui, dalam sebuah kasus, saya dimintai menjadi saksi, ketika barang bukti kepemilikan tanah bukan milik pelapor, saya pertanyakan atas dasar apa pelapor diterima laporannya. Karena pertanyaan saya yang demikian akhirnya saya tidak jadi diambil keterangannya. Namun, beberapa waktu berselang ternyata laporan tersebut bisa naik kepersidangan, ketika saya diminta memberikan kesaksian oleh terdakwa, saya ketahui, tanah dan bangunan dipisahkan, mengadili pengrusakan kunci karena terdakwa memasuki rumah dan menghuninya.
Terbaca setting hukum, menggunakan pasal pidana tujuannya untuk memaksa pergi terdakwa dari rumah yang dihuninya. Akhirnya majelis hakim memutuskan terdakwa dinyatakan bersalah merusak kunci namun dengan pertimbangan karena pihak kepolisian maupun kejaksaan tidak melakukan penahanan, terdakwa tidak perlu ditahan.
Tak lama berselang, dia ditangkap dengan sangkaan kepemilikan narkoba. Saya diajak untuk membesuknya oleh seseorang anggota polisi untuk membesuknya, saya mendapat penjelasan diduga karena kepemilikan narkoba dan menjadi DPO atas kasus kepemilikan rumah. Kebetulan saya mengerti putusan menyangkut rumahnya, saya menyarankan agar melakukan upaya pra peradilan karena saya melihat adanya indikasi akal2an yang targetnya mengusirnya dari rumah yang dihuninya.
Indikasi saya tidak meleset, penyidik menggunakan tersangka yang menjadi saksi  untuk membidiknya yang diduga tidak ada orangnya atau fiktif. Putusan pra peradilan yang memenangkan penyidik itu disampaikan ke kejaksaan, ternyata kemudian terbukti penyidik tidak dapat menghadirkan tersangka dan menjadi saksi yang diduga fiktif, Setelah menjalani tahanan selama 120 hari ditambah 3 hari, akhirnya demi hukum dia dikeluarkan.Â