Mohon tunggu...
Doddy Poerbo
Doddy Poerbo Mohon Tunggu... -

apalah arti sebuah nama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sri Mulyani, Antara Mimpi dan Fakta

4 Agustus 2016   19:38 Diperbarui: 4 Agustus 2016   19:41 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejumlah menteri Kabinet Kerja melakukan rapat dipimpin Presiden Joko Widodo (Jokowi) membahas finalisasi Nota Keuangan 2017, yang akan dibacakan Jokowi di DPR pada 16 Agustus 2016. Nota Keuangan ini akan menjadi dasar untuk membuat Rancangan APBN 2017. Usai rapat, Menteri Keuangan, Sri Mulyani, mengungkapkan soal beratnya kondisi ekonomi yang tercermin dari tekanan pada penerimaan pajak. Sri Mulyani mengatakan, untuk merancang Nota Keuangan 2017, demi menjadi APBN yang kredibel, maka pemerintah akan melihat kemungkinan kondisi yang akan dihadapi di tahun ini dan dua tahun terakhir. Tekanan pada penerimaan pajak ini terjadi karena turunnya harga komoditas, seperti minyak dan gas (migas), batu bara, kelapa sawit, serta pertambangan lainnya.

Uang itu ada, penyerapan anggaran akan menjadikan ekonomi meroket, seperti itu kira2 pernyataan presiden beberapa waktu yang lalu. Agaknya pernyataan tersebut berbeda dengan pernyataan Sri Mulyani diatas apalagi tidak menyinggung perihal tax amnesty yang dikatakan akan menimbulkan gelombang uang masuk besar2an milik WNI yang beredar di Luar Negeri. 

Sebelumnya, Jokowi blak-blakan merinci ada sepuluh pemerintah provinsi yang paling malas serap anggaran, karena dana yang mengendap di bank daerah cukup besar.Kesepuluh pemerintah provinsi tersebut, yaitu: DKI Jakarta (Rp 13,9 triliun), Jawa Barat (Rp 8,034 triliun), Jawa Timur (Rp 3,9 triliun), Riau (2,86 triliun), Papua (Rp 2,59 triliun), Jawa Tengah (Rp 2,46 triliun), Kalimantan Timur (Rp 1,57 triliun), Banten (Rp 1,52 triliun), Bali (Rp 1,4 triliun), dan Aceh (Rp 1,4 triliun).

Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo memberikan klarifikasi kepada media atas pidato Presiden RI Joko Widodo, terkait dana transfer daerah yang mengendap di bank Jateng sebesar Rp 2,46 triliun. Ganjar mengatakan, simpanan tersebut merupakan kas umum daerah. Kas umum daerah ini merupakan penerimaan daerah yang bersumber dari misalnya pajak kendaraan bermotor. Selain itu, ada cadangan-cadangan penerimaan yang juga dimasukkan ke RKUD, termasuk transfer daerah, angka yang disebutkan Jokowi sebesar Rp 2,46 triliun itu keliru.

Bukan hanya kali ini saja isi pidato presiden mendapat sanggahan seperti itu, nafas kampanye masih mengental dalam warna pidato presiden yang disiapkan sehingga gambaran optimistik yang selalu disampaikan oleh presiden berbeda dengan apa yang disampaikan oleh para anggota kabinet bahkan bertolak belakang seperti apa yang disampaikan oleh Sri Mulyani.

Masuknya Sri Mulyani dalam jajaran kabinet harus diakui memang ada masalah keuangan sebab seperti tahun tahun sebelumnya defisit anggaran selalu ditutup dari pinjaman yang makin membengkak. Loby loby internasional memerlukan figur yang tepat untuk mencari hutangan baru, Sri Mulyani adalah orang tepat setelah berkiprah menjadi lokomotif lembaga keuangan dunia. Uang itu ada atau daerah malas menyerap anggaran seperti apa yang disampaikan presiden menjadi statemen politik untuk menutupi kondisi yang sesungguhnya dan tentu saja siapapun tak mau disalahkan.

Tak ada ekonomi meroket karena kondisi keuangan negara yang suram sehingga peresmian-peresmian proyek peninggalan era SBY menjadi jargon kampanye kesuksesan yang tentu saja mengundang SBY angkat bicara. Seperti apa yang disampaikan oleh Sri Mulyani, kondisi keuangan yang terus menurun yang dijadikan dasar proyeksi keuangan kedepan harus pula melihat kondisi terakhir sebab diperkirakan jika berdasarkan kondisi keuangan dua tahun sebelumnya, maka proyeksi keuangan akan diperkirakan makin suram.

Sebut saja, ekonomi meroket dan hebatnya Indonesia kini adalah mimpi yang indah bagi rakyat sedangkan Sri Mulyani masih terjaga dan melihat sebuah keadaan yang suram yang harus dibuat cerah. Langkah-langkah yang paling instan harus ditempuh untuk menyelamatkan negara dari krisis keuangan dengan berhutang lebih banyak lagi, Sri Mulyanilah yang dinilai paling memungkinkan untuk mengambil langkah itu. Mimpi indah itu milik rakyat yang terbuai dengan alunan kampanye selama ini, uang itu ada, daerah malas menyerap anggaran, kepala daerah takut bertindak,  namun tiba-tiba terjadi Reshuffle kabinet.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun