Presiden Joko Widodo meluapkan kekesalannya terhadap kinerja polisi dan jaksa dalam rapat evaluasi kepolisian dan kejaksaan daerah di Istana Kepresidenan hari ini, Selasa, 19 Juli 2016. Menurut dia, ada polisi dan jaksa yang tak mematuhi perintahnya yang menyebabkan kebijakan di daerah sulit terlaksana. Â Ia merasa bahwa arahannya selama ini jelas agar penegak hukum tidak memperkarakan kebijakan, administrasi, dan diskresi pemerintah daerah. Hal ini, tutur dia, sudah disampaikan tahun lalu agar tidak sampai terjadi. Itu sebabnya dia bingung kenapa masih ada banyak keluhan. Â Dalam rapat itu, ia memberikan arahan kepada polisi dan jaksa. Arahan pertama, tidak mempidanakan kebijakan atau diskresi. Kedua hal itu, kata Presiden, tidak bisa dipidanakan. ( sumber Tempo.co ).
Membaca berita diatas, saya jadi teringat dengan kasus Ongen yang dipidanakan karena cuitannya yang pada akhirnya dibebaskan, bukankah kalau tidak bersalah ada mekanismenya untuk lepas dari jerat hukum  seperti halnya Ongen ? Mengapa hukum harus pilih kasih ?  Apa yang diinginkan presiden akan menjadi kemunduran penegakan hukum pada umumnya jika hukum sudah bermuatan politik.
Kebijakan lebih bersifat politik dalam kekuasaan sebab ketatanegaraan sudah memiliki ketentuan yang  jelas. Mungkin disini yang dimaksud dengan kebijakan adalah pemberian bantuan sosial yang sering bermasalah karena sasarannya lebih mengutamakan kepentingan politik ketimbang sifat sosialnya. Beberapa kepala daerah saat ini harus mendekam didalam penjara karena masalah ini.Â
Disamping itu, dalam beberapa kali KPK mencokok aparatur penegak hukum dalam OTT karena kesulitan dalam pembuktian penyimpangan yang dilakukan oleh aparatur hukum sehingga diperlukan OTT. Walaupun sudah ada mekanisme kontrol, agaknya belum berjalan sebab, kepolisian, jaksa maupun hakim dalam kedudukan yang pada dasarnya tidak independen karena semua adalah instrumen negara yang digaji negara. Sedangkan pengacara yang lebih bersifat independen namun dalam prakteknya ikut dalam arus budaya yang berkembang sehingga ikut pula dicokok KPK.
Agaknya sudah menjadi sebuah lingkaran yang sulit untuk diluruskan, hukum mencari celah, celah itu diperoleh dalam artian yang pada akhirnya dinilai mengganggu kinerja kekuasaan karena salah atau benar menjadi relatip dan tergantung nasib yang ditentukan oleh pendapat hukum. Bahkan hukum bisa tidak berlaku dengan argumentasi tidak adanya niat jahat. Â Sebaliknya hukum menjadi represive kalau sudah bermuatan kepentingan. Namun kalau penegakan hukum beraroma KKN seperti harus dibuktikan dengan OTT yang dilakukan KPK Â yang menjadi korban adalah bangsa ini secara keseluruhan yang sulit untuk menyesuaikan kemajuan dengan bangsa lain.
Kalau presiden saja tidak mempercayai aparatur penegak hukum dan merasa kesal, apalagi rakyat yang tidak berdaya, rakyat hanya bisa berdoa semoga diberi petunjuk jalan yang benar, atau cuma bisa mengeluarkan sumpah serapah. Lalu bagaimana dengan revolusi mental, adakah hasilnya ? Mestinya, pejabat negara menjadi contoh perubahan mental, mentalnya sudah merasa ngeri duluan sehingga harus mengeluh kepada presiden. Juga bagaimana dengan keputusan pembelian tanah Cengkareng, apakah itu kebijakan yang tidak bisa dipidanakan ? Â Persolan yang sesungguhnya terletak pada pengawasanya sehingga hukum bisa berlaku semena mena bisa juga sebaliknya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H