Dalam berperkara biasanya media digunakan untuk menggalang opini baik dari aparatur hukum atau yang terlibat masalah hukum melalui kuasa hukumnya. Namun, kalau menyalahkan lembaga pengawas keuangan itu mungkin baru terjadi dalam kasus tanah RS Sumber Waras. Lembaga pengawas keuangan ini tak pelak lagi terlibat dalam polemik apalagi belakangan mencuat kepermukaan salah seorang pimpinan BPK disebut dalam didaftar skandal panama pappers yang mnghebohkan dunia itu.
Mantan pimpinan KPK, Indriyanto Seno Adji ikut pula angkat bicara memberikan pendapatnya yang dirujuk oleh media, sebut saja media yang bukan pro Ahok, makin menambah ramainya opini yang berkembang. Demikian sebaliknya pendukung Ahok, perhitungan kerugian yang dihitung BPK berdasarkan selisih harga yang disepakati dengan pengembang Ciputra dan harga pembebasan Tanah yang dilakukan pemprov DKI dinilai ngawur. Suara pendukung Ahok juga makin meramaikan dunia maya, bahkan mempersamakan Ahok dengan Nabi Muhammad yang tak lain sebuah keadaan Chaos dalam berpikir.
Kembali saya menulis berdasarkan pengalaman saya sebagai komparasinya dalam profesi saya baik yang ada kaitan dengan pemerintahan atau sebagai pengusaha "gurem" untuk menjaga periuk nasi.
Semua media diblok agar jangan mengangkat perkara yang saya hadapi, begitu saya dengar dari wartawan yang menemui saya. Bisa saya maklumi, sebab apa yang saya hadapi adalah sebuah konspirasi dalam persaingan bisnis.  Pertimbangan hukum ( bukan putusan ) menyatakan saya telah menjual perseroan sebagai dalil untuk membidik penggunaan kop  surat perseroan. Mudah ditebak arahnya, pelaku mencari legitimasi ( bukan putusan ) pengakuan dia telah membeli perseroan milik saya dengan cara tidak menggunakan anggaran dasar perseroan.
Ketika akan menjual asset perseroan, si pelaku mau tidak mau memerlukan saya karena penjualan asset harus persetujuan RUPS dimana jika anggaran dasar tersebut digunakan maka akan terbuka saham mayoritas mutlak milik saya. Apa yang terjadi kemudian, si pelaku hanya memperoleh hutang perseroan, karena dia sudah mengaku membeli maka hutang perseroan menjadi tanggungannya, akhirnya harta bendanya habis sementara asset perseroan tidak dapat dikuasainya.
Apa yang saya alami adalah sebuah kejadian dimana hukum dapat dipersepsikan jungkir balik demikian juga argumentasi menyangkut pembelian tanah RS sumber waras dapat dipersepsikan jungkir balik bahkan menyalahkan BPK yang tujuannya agar tidak terjadi unsur korupsi dalam pertimbangan hukumnya.
Penerapan hukum bisa saja ngawur, tergantung dari kepentingan, jangankan KPK atau Jaksa yang memiliki kewenangan penuntutan, hakimpun bisa dengan mudah menjungkir balikkan hukum dengan cara "mengganti" kesaksian dalam putusannya sehingga tuntutan jaksa lemah. Hakim dengan mudah melempar kepada Panitera Pengganti yang mencatat kesaksian, panitera bisa ngeyel apa yang dicatatnya adalah fakta persidangan.
Apakah dalam kasus pembelian tanah RS Sumber Waras penerapan hukumnya dapat dipersepsikan jungkir balik ? Sesungguhnya tidak, BPK tidak tidak ngawur sebab bukti menunjukkan sebelumnya sudah terjadi kesepakan jual beli dengan Pihak Ciputra, juga diungkap sendiri oleh pendukung Ahok dalam sebuah acara debat televisi, terdapat selisih perhitungan NJOP sebesar Rp 191 milyar.Â
Memang benar tidak memperkaya Ahok, sulit dibuktikan tetapi memperkaya YKSW. Kontruksi hukum inilah yang dikenakan kepada mantan Menpora Andi Mallarangeng, itu menurut matan Wakil pimpinan KPK Â Indriyanto Seno Adji. Bagaimana menurut anda ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H