Polemik seputar reklamasi pantai teluk Jakarta semakin ramai dengan berbagai macam opini dan pendapat. Padahal, intinya karena pengembang yang telah mengantungi izin reklamasi dan telah mengeluarkan dana investasi terancam mengalami kerugian karena tidak dapat berdagang seperti tujuan investasinya.
Pengembang adalah bagian dari masyarakat atau rakyat yang mestinya tunduk dan patuh pada aturan yang berlaku. Adalah kewajiban negara untuk memberikan aturan yang jelas untuk dipatuhi. Tapi kalau negara sendiri melalui pemangku jabatan negara tidak melaksanakan aturan yang jelas, haruskah rakyat yang disalahkan.
Terkesan dalam pemberitaan bahwa kesalahan ditimpakan pada Pt. Agung Podomoro yang melakukan tindakan suap dan pejabat penerima suap. Tidak akan terjadi suap apabila aturan diberlakukan secara tegas dan jelas. Â Tidak ada kepastian hukum, itu sering kita dengar sebagai alasan hengkangnya para investor yang merelokasi usahanya kenegara lain.
Pemberian izin reklamasi menjadi sebuah jebakan bagi para investor pengembangan kota Jakarta, terlepas ada pihak yang menentang atau sebaliknya adalah cerita lain. Karena terjebak itulah maka investor coba mengurus sendiri ke DPRD DKI yang bukan kapasitasnya untuk ikut campur dalam urusan penyelenggaraan negara. Tetapi oleh karena tergaransi oleh investasinya, memaksa para investor ini untuk ikut campur dalam urusan itu, dan diterima dengan memberi imbalan.
OTT KPK langsung membuat pihak yang terkait saling mengamankan diri dengan membangun opini berbagai argumentasi yang tujuannya jangan disalahkan padahal kerja KPK belum menyasar ke arah para pemangku jabatan itu. Kendatipun demikian, publik dengan sederhana bisa memahami, bahwa terjadinya kasus tersebut karena pengkaburan kewenangan dan akhirnya mentok untuk diakali dan tidak mau harus mengadopsi undang2 agar pemerintah daerah memeiliki kewenangan melalui DPRD.
Keputusan mengenai kelautan jika belum diadopsi kedalam peraturan daerah, kewenangan tersebut mestinya domain pemerintah pusat. Lalu dicari-cari argumentasi menjadi kewenangan kepala daerah sehingga yang terjadi bahwa kewenangan tersebut tidak dapat melalui tafsiran, tapi harus melalui mekanisme yang harus ditaati.
Izin prinsip adalah bukti persetujuan dari penjabat yang berwenang dengan persyaratan yang harus dipenuhi agar pelaksnaanya tidak bertentangan dengan aturan yang berlaku. Bahwa izin prinsip dapat merupakan rekomendasi agar mendapat perizinan dari pejabat yang memiliki kewenangan adalah hal yang biasa dan merupakan mekanisme umum yang diikuti.
Banyak pihak yang menilai izin reklamasi yang dikeluarkan Ahok sebagai pelanggaran kewenangan, Menteri Susi yang sering disebut memiliki kewenangan pemberian izin reklamasi menyatakan bahwa pemberian izin harus mempertimbangkan dampak lingkungan dan pengaruhnya kepada kehidupan para nelayan. Jika persyaratan tersebut sudah dipenuhi, maka izin tak perlu memakan waktu lama.
Di lain sisi, Ahok menyatakan penghentian pembahasan Raperda akan menguntungkan pengembang, sebab pemberian izin akan memberlakukan perda lama dengan kewajiban pengembang untuk alokasi fasos dan fasum 5 %. Â Tentunya, pernyataan ini bertolak belakang dengan pernyataan menteri Susi yang mengedepankan persyaratan dampak lingkungan.
OTT KPK jelas menyangkut penyalah gunaan kewenenangan dan sebagaimana disampaikan oleh Wakil Ketua KPK, terdapat indikasi grand corruption yang mengesampingkan kepentingan rakyat. Apakah pernyataan ini sebagai sinyal yang menyasar Ahok, inilah yang kan menjadi penentu kalah menangnya Ahok dalam pilgub DKI mendatang. Bagaimanapun juga, harus diakui bahwa untuk mendapatkan jabatan politik memerlukan biaya yang sangat mahal yang mendorong terjadinya transaksi jabatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H