Mohon tunggu...
Doddy Poerbo
Doddy Poerbo Mohon Tunggu... -

apalah arti sebuah nama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

SBY Memang Harus Diam

22 Maret 2016   05:39 Diperbarui: 22 Maret 2016   07:31 3026
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 [caption caption="Akun Facebook Susilo Bambang Yudhoyono"][/caption]Foto  berlatar belakang jembatan Suramadu yang diunggah oleh akun Facebook  milik mantan presiden Susilo Bambang Yudhono dalam rangkaian Tour De Java yang dilakukan oleh SBY tidak bisa dipungkiri telah menggugah rasa rivalitas pendukung Jokowi yang menandingi dengan foto blusukan presiden ke Proyek Hambalang yang mangkrak. Kunjungan yang dianggap sebagai sindiran ini menuai beragam komentar menimbulkan kelucuan tersendiri yang menggambarkan sebuah emosi pendukung tokoh politik yang begitu merasuk dalam perasaan.

Jangan ada tokoh politik yang dekat dengan rakyat, kedekatan kepada rakyat adalah monopoli Jokowi sehingga menimbulkan sebuah pertanyaan, apa yang sedang terjadi dengan perasaan sebagian rakyat Indonesia? Tetapi jika telaah lebih lanjut, gambaran emosi tersebut hanya ada dalam dunia maya yang begitu mudahnya seseorang mengungkap perasaannya.

Jembatan Suramadu atau Jembatan Selat Sunda adalah dua proyek mercusuar menghubungan Jawa Madura dan Sumatra sudah diwacanakan sejak lama, namun jembatan Suramadu yang sudah direalisasikan yang grounbreaking dilakukan pada era Presiden Abdurahman Wahid. Tidak ada yang salah dengan kunjungan tersebut, namun dunia maya menilai kunjungan tersebut sebagai sebuah sindiran.

Dua presiden yang berbeda latar belakang ini sudah pasti mempunyai gaya yang berbeda, SBY yang berlatar belakang militer ini tentunya sedikit banyak memiliki gaya komando sehingga sebagaimana doktrin militer yang taat kepada atasan memang terlihat tidak ada konflik antara anggota kabinet. Berbeda dengan Jokowi yang berlatar belakang pengusaha lebih membagikan kewenangan dalam mengambil polecy kepada anggota kabinetnya yang tentunya menimbulkan potensi konflik pendapat karena banyaknya sub kekuasaan.

Kabinet zaman saya rukun-rukun, begitu kira-kira asal muasal polemik yang berkembang menyikapi kegaduhan kabinet Jokowi yang dijawab pada era SBY banyak terjadi korupsi. Korupsi memang sudah marak sejak republik ini didirikan, bahkan korupsi terpimpin era orde baru menyebabkan Indonesia harus melepaskan kedaulatan dalam memutuskan anggaran negara kepada IMF. Kedaulatan inilah sebagai harta yang paling berharga dari sebuah negara merdeka, pelunasan hutang IMF yang terjadi pada SBY telah mengembalikan harga diri bangsa.

Berbeda dengan saat ini dimana polecy pemerintahan difokuskan membangun infrastruktur secara besar-besaran dengan mengadakan pinjaman luar negeri dan melepas SUN. Debt Service Ratio ( DSR )  ambang batas aman dari 35 % dinaikkan menjadi 46 % yang memungkinkan Indonesia mencari hutang lebih besar lagi. Didalam ekonomi yang terpuruk yang ditandai oleh masalah perburuhan, masuknya investor segar ditambah masuknya buruh China semakin membuat usaha domestik makin terpuruk.

Makin banyak proyek makin banyak terjadi korupsi karena sistem anggaran itu memungkinkan peluang untuk dikorupsi, tak mengherankan anggota DPR pun terlibat korupsi dengan berdagang proyek karena bukan rahasia lagi semua proyek pemerintah memang dianggarkan diatas harga pasar atau dimark up.  Pendanaan dengan pinjaman luar negeri terlebih dengan menggunakan dana pasar uang (hot money) memiliki resiko tinggi. Apabila kenaikan pendapatan negara tidak mampu mengcover investasi bukan tidak mungkin negara akan gulung tikar.

Sebuah wacana pengampunan koruptor dan tax amnesty sesungguhnya untuk menarik uang hasil korupsi yang disimpan diluar negeri yang jumlahnya ribuan triliun rupiah. Wacana itu menimbulkan polemik  yang dinilai sebagai memberi peluang korupsi. Tidak ada ampun dan tidak ada maaf bagi koruptor tapi korupsi masih tetap terjadi sehingga keberadaan KPK sangat dibutuhkan. Benturan kepentingan seperti ini menyebabkan uang yang dikuasai bangsa kita yang disimpan diluar negeri berputar di negeri orang yang memberikan lapangan kerja mungkin saja bagi para TKI.

Mungkin suatu saat Indonesia akan lebih maju dimana bangsa kita sudah tidak lagi dibawa oleh perasaan dan dapat berpikir secara realistis bahwa banyak dana yang dimiliki oleh bangsa kita justru untuk memakmurkan bangsa lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun