Dunia pertanian modern adalah dunia mitos keberhasilan modernitas. Suharto memang mempunyai perhatian khusus terhadap para petani, Program intensifikasi pertanian menjadi program unggulan untuk mengangkat kesejahteraan petani. Demikian juga pembangunan infrastruktur pertanian yang didanai oleh pinjaman luar negeri hampir merata seluruh tanah air. Keberhasilan diukur dari berapa banyaknya hasil panen yang dihasilkan. Semakin banyak, semakin dianggap maju. Sejalan dengan pembangunan infrastruktur pertanian, penggunaan pupuk dan pestisida kimia merupakan bagian dari Revolusi Hijau, sebuah proyek ambisius Orde Baru untuk memacu hasil produksi pertanian dengan menggunakan teknologi modern, yang dimulai sejak tahun 1970-an. Saat itu, pemerintah mengkomando penanaman padi, pemaksaan pemakaian bibit unggul, pupuk kimia, pestisida, dan lain-lainnya. Hasilnya, Indonesia sempat menikmati swasembada beras. Namun pada dekade 1990-an, petani mulai menghadapi serangan hama, kesuburan tanah merosot, ketergantungan pemakaian pupuk yang semakin meningkat dan pestisida tidak manjur lagi, dan harga gabah dikontrol pemerintah. Ada suatu saat hama wereng memusnahkan tanaman padi, petani diarahkan menjadikan wereng sebagai penganan. Dan, ketika terdengar petani mengkomsi eceng gondok atau umbi teki, kita akhirnya bertanya, benarkah petani Indonesia telah menjadi lahan ujicoba industri produk industri kimia ?
Ditempat saya berdiri, sekitar 40 tahun silam adalah lahan subur untuk tanaman padi darat. Masih teringat ketika saya mengikuti ayah membajak, menanam, membuat lubang2 tangkapan air,memanen sampai menjadikan beras menggunakan traktor yang sama. Ditengah lahan, ada sumber air yang penuh dengan ikan liar, setiap sore burung belibis dan bangau berterbangan tanpa terusik mencari makan disumber air itu. Namun. sepuluh tahun silam, traktor gagah itu sudah teronggok menjadi besi tua, lahan subur itu berubah menjadi padang ilalang, sumber air itu sepi dari burung, ikan2 yng tadinya penuh menghilang akibat racun dan strum. Cita2 ayahku menjadi petani modern telah gagal, tak ada penerusnya akibat hasil yang tidak menutup biaya yang dikeluarkan. Inilah problem petani Indonesia umumnya, hasil itu tak lebih hanya pengganti tenaga yang dikeluarkan atau bahkan sangat kurang. Perginya para petani kekota menjadi buruh atau bahkan mencari peruntungan menjadi TKI adalah jalan keluar mengatasi tekanan ekonomi. Tanpa disadari, mereka justru menjadi buruh industri racun lahan pertanian mereka antara lainnya.
Saat ini, kebun yang dulu penuh ilalang itu telah penuh dengan bangunan, burug2 yang tadinya terbang bebas sekarang menjadi burung peliharaan. Sebuah perubahan yang memasuki dunia modern yang menyingkirkan lahan tanaman pangan. Bukan saja ditempat saya berdiri, kebutuhan manusia akhirnya mengorbankan kebutuhan manusia yang lainnya. Pergeseran penggunaan lahan, namun tidak dapat menggeser bumi berpijak dan pertambahan manusia tidak dapat menambah luas bumi. Lalu kita berfikir keras, kalau negara kita masih import garam, import beras, import gula, import cabai, sesungguhnya apa yang dihasilkan oleh era demokrasi ?.
Jika kita menengok kebelakang, zaman mesopotania ditandai sebagai awal perkembangan kebudayaan dan peradaban manusia adalah zaman yang telah menentukan sistem pertanian. Perekonomian kota yang pertama berkembang dilandaskan teknologi pertanian yang berkiblat pada kuil2, imam, lumbung serta para jurutulis. Sebuah gerak ekonomi menciptakan surplus yang memerlukan administrasi baik untuk kepentingan reserve maupu kebutuhan mendesak telah pula menciptakan system akuntansinya Pemecahan masalah yang berawal dari pelemparan produk pertanian yang menimbulkan gerak ekonomi ini telah tercipta 6000 tahun silam yang terus berkembang kewilayah Syria, Mesir kuno, India bahkan China. Migrasi pendunduk asia timur jauh kewilayah Indonesia membawa pula syntem pertanian yang menumbuhkan kota sebagai pusat ekonomi. Tumbuhnya komunitas diwilayah nusantara diiringi tumbuhnya kekuasaan yang pada akhirnya memunculkan lembaga perekonomian yang tentunya bertumpu pada produk pertanian yang pada akhirnya menarik bangsa kolonial untuk menguasai Nusantara.
Sejalan dengan perkembangan zaman, perekonomian kota tidak hanya bertumpu pada produk pertanian, sektor industri dan jasa ikut mewarnai gerak ekonomi perkotaan di Indonesia. Namun, didalam era reformasi ini terjadi sebuah pemahaman bahwa untuk terciptanya pemerataan pembangunan adalah melalui pemekaran wilayah otonom. Sebuah pandangan telah tercipta, bahwa pembangunan pusat2 pemerintahan baru akan menumbuhkan perekonomian. Nyatanya, baiaya politik yang mahal tersebut telah mengalihkan perhatian pemerintah pada pengembangan pertanian sebagai tulang punggung berkembangnya ekonomi.  Akibatnya, mekanisme perdagangan produk pertanian dan perkebunan dikuasai oleh para tengkulak yang menciptakan mata rantai yang sulit terputus . Permaianan harga menjadi hal yang biasa, para petani harus menerima kenyataan pahit, ongkos produksi tak mampu ditutup.
Kala burungku telah hilang, mestinya tempat itu telah menjadi tempat berkumpulnya manusia menjalankan aktivitasnya. Lebih dari 65 tahun kita sudah merdeka dari tangan kolonial yang meyakini bumi kita sangat kaya, namun kekayaan itu makin lama makin sirna, hanya untuk memenuhi pangan, kita masih harus mengimportnya. Kasus yang terjadi di freeport misalnya, mungkin akan menjadi pertanyaan kita semua, pantaskah keamanan kita dibayar untuk menjaga pengeruk kekayaan alam kita sendiri ?. Dan kita terus bertanya, apa yang akan terjadi ketika kekayaan alam itu habis sementara kita masih membutuhkan import pangan ?.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H