Mohon tunggu...
Doddy Poerbo
Doddy Poerbo Mohon Tunggu... -

apalah arti sebuah nama

Selanjutnya

Tutup

Politik

Galau Hati Sang Presiden

8 Maret 2011   20:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:57 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah sebelumnya Golkar menampilkan drama aksi mendukung hak angket pajak yang kandas itu, pupus sudah upaya menggoyang kedudukan presiden melalui pemakzulan yang dimungkinkan jika hak angket pajak itu tidak terganjal. Belakangan melodrama yang ditunjukkan ketua Golkar Aburizal Bakrie  menunjukkan Golkar sendiri tidak siap untuk menjadi oposisi sekaligus menunjukkan egoisme politiknya. Sepanjang kekuasaan pemerintahan orde baru,  golkar menjadi kampiun yang menguasai kekuasaan negeri ini bersanding dengan ABRI dengan politik dwi fungsi ABRI yang dijalankan oleh Suharto.  Kepiawaian Golkar berpolitik tidak perlu diragukan lagi, mampu lepas dari tanggung jawab kehancuran ekonomi Indonesia karena semua kesalahan ditudingkan kepada Suharto. Megawati Sukarno putri yang secara politik teraniaya semasa orde baru mampu tampil memenangi pemilu dengan PDIP, tapi walaupun memenangi pemilu tak secara otomatis menjadi presiden, kalah suara dengan Abdurahman Wahid yang diusung partai debutan PKB dalam pemilihan yang dilakukan oleh MPR. Baru setelah Abdurrahman Wahid dilengserkan, Megawati dapat tampil menduduki jabatan nomor satu di negeri ini. Jabatan presiden menjadi jabatan kritis, setiap saat selalu dapat  digoyang  dan diganjal dengan berbagai cara dan persepsi konstitusi yang dipolitisir.

System pemilihan langsung yang diselenggarakan pasca reformasi ini sesungguhnya untuk menghindarkan terjadi kekuasaan yang absolut, tetapi tidak diperkirakan akan menciptakan dua kubu kekuasaan.  Persepsi yang dibangun oleh elit politik ini tentunya tidak diduga sama sekali oleh para perancang undang2 pemilu padahal pengalaman panjang sudah dialami bangsa ini, UUD 45 pun dipersepsikan hingga jabatan   persiden  boleh  seumur hidup. Menghilangkan persepsi persiden boleh seumur hidup, UUD 45 telah diamandemen namun bukan berarti persoalan dapat selesai dengan mudah. Banyaknya permainan siasat konstitusi ini menyebabkan Makamah Konstitusi harus bekerja ekstra keras untuk menyamakan persepsi. Persepsi yang dibangun oleh wakil rakyat yang semula dimaksudkan sebagai alat kontrol kekuasaan, kini telah berubah arah menjadi kekuasaan dapat melengserkan seorang presiden.

Hari-hari belakangan  ini bisa disebut merupakan hari yang cukup sulit yang membuat galau hati bagi Presiden SBY. Atas nama hak prerogatif, Presiden SBY bisa melakukan evaluasi terhadap para pembantunya. Namun hingga sepekan dari pernyataan presiden soal evaluasi kabinet, belum ada tindakan yang berarti, terpenjara oleh ego politik yang berkembang.  Betapa tidak, hak prerogative itu hanyalah undang2 diatas kertas yang tak bermakna apa2 sebab hak prerogative itu telah diintervensi oleh kekuatan parpol.  Tak ada pilihan lain untuk memilih pembantunya kecuali menuruti apa yang disodorkan oleh parpol. Sebaliknya, para pembantu presidenpun menjadi ragu kedudukannya tergantung akur tidaknya parpol koalisi di parlemen.

Tak pula dapat menyalahkan Golkar semata2 atau PKS yang dianggap membalelo, itulah dunia politik yang dapat memakai cara apaun untuk mencapai tujuan terlepas dari ukuran etis dan tidaknya. Sebaliknya, arogansi Partai Demokratpun sering terlihat, sebagai peraih suara terbanyak diparlemen  sudah sewajarnya dapat menjalin komunikasi karena suara yang diperolehnya belum mampu mengendalikan parlemen.  Bagaikan anak manja yang tergantung diketiak SBY, anak manja ini mungkin membuat hati galau sang presiden karena tidak mampu menjalin partai koalisi dalam jalinan  kerjasama yang harmonis.  Melodramapun dilakonkan oleh PKS yang cukup terpojok oleh pidato sang presiden, seolah dituding sebagai biang kerok kisruhnya koalisi  justru balik menuding  Demokrat memiliki agenda tersembunyi, sementara partai Golkar sudah dapat tersenyum tetap dalam barisan koalisi.

Kisruh politik yang berlarut2 ini pada akhirnya dapat saja membuat rakyat bosan, tak percaya dengan siapapun yang berkuasa. Rakyat makin tidak mengerti kisruh itu untuk kepentingan siapa, sementara menurut juru bicara Istana, semua keputusan presiden adalah untuk kepentingan bangsa.  Sebab, apa yang terjadi semakin membingungkan ketika semakin terlihat hak prerogative presiden tersandera oleh koalisi yang artinya presiden SBY sendiri tidak yakin didukung oleh rakyat. Apalah artinya kemenangan presiden SBY dalam pilpres yang 60,8 % itu jika tidak yakin akan didukung rakyat dalam pengambilan keputusan prerogativenya.  Tanggal 9 pukul 9, mungkin angka itu adalah angka keramat untuk mengumumkan keputusan siapa yang terdepak dari kursi menteri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun