Mohon tunggu...
Doddy Poerbo
Doddy Poerbo Mohon Tunggu... -

apalah arti sebuah nama

Selanjutnya

Tutup

Politik

Hubungan Baasyir dan Riziq

17 Februari 2011   18:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:30 645
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Amir Jama'ah Anshorut Tauhid (JAT) Abu Bakar Ba'asyir (ABB) kembali ditangkap Mabes Polri 9 Agustus 2010 yang lalu. Ba'asyir ditangkap di Banjar Patroman (dulu bagian Ciamis), Jawa Barat seusai mengisi acara pengajian dibeberapa tempat di Jawa Barat. Saat ini pimpinan ponpes Al Mukmin  Ngruki dan ketua FPI Surakarta   yang dituduh terlibat dalam kegiatan terorisme ini sedang menjalani persidangan. Walaupun Baasyir menolak tuduhan yang diarahkan pada dirinya itu, namun hukum dapat menjangkau dirinya dengan bukti yang dimiliki aparat  penegak hukum sebagai dasar membawanya kemuka pengadilan.  Banyak pihak yang menduga, penangkapan Baasyir adalah atas pesanan negara2 yang membantu membiayai persenjataan Densus 88 atau Amerika Serikat karena tokoh yang satu itu dianggap sebagai eksportir teroris. Terlepas benar atau tidaknya dugaan tersebut, melihat perkembangan kekerasan antar umat belakangan ini  agaknya aparat penegak hukum mengalami kesulitan mencari pembuktian untuk mencapai tokoh dibalik kekerasan tersebut.  Mudah dan sulit dalam mencari pembuktian hukum pada akhirnya menimbulkan penilaian bahwa hukum berlaku sesuai dengan kepentingan politik.  Penilaian itu memang tidak berlebihan sebab berulang kali terjadi kekerasan atas nama agama, hukum hanya berlaku kepada operator  lapangan sementara otak kekerasan tersebut terus bergerak karena luput dari jangkauan hukum.  Dengan situasai hukum seperti ini, kekerasan semakin meningkat kwalitasnya, parang sudah menjadi bagian dari standar kelengkapan kekerasan tersebut. Tak ayal, korbanpun mulai berjatuhan, lagi2 hukum hanya menjangkau pelaku anarkis sementara elit agama dan politik sulit dibedakan lagi, saling tuding dan saling menyalahkan.

Beberapa pelaku bom bunuh diri memang berasal dari lingkungan pendidikan yang diselenggarakan oleh Baasyir, namun apakah para pelaku bom bunuh diri tersebut adalah hasil methode pendidikan islam yang diterapkan, jika melihat kurikulum pendidikan yang disyaratkan oleh Departemen Agama dipastikan bukan dari hasil methode pendidikan itu.  Mungkin hanyalah sebuah kebetulan, rekruitmen islam garis keras menarik perhatian kalangan santri2 Baasyir dimana   Baasyir  dikenal mempunyai sikap yang konsisten sejak era orde baru dalam memandang perjuangan Islam. Sikap teguh Baasyir dalam menolak asas tunggal Pancasila membuat dirinya harus mengasingkan diri ke Malaysia selama 17 tahun.  Baasyir sebagai tokoh panutan yang tidak mudah merubah pandangan perjuangan tentu menekankan keteguhan itu kepada santrinya. Kharisma Baasyir inilah yang menjadikan dirinya tokoh sentral termasuk para pelaku pengeboman itu atau yang dikatakan sebagai para teroris itu.  Menerima siapapun termasuk para "pejuang" Islam  adalah tradisi yang dibangun dalam tradisi silaturahmi. Walaupun tidak terlibat dalam kegiatan terorisme, namun sebagai seorang yang ditokohkan sikap tidak menganjurkan  atau tidak melarang dapat dipandang mendukung terorisme. Dengan hubungan seperti ini hukum dapat menjangkau Baasyir, bukan karena Baasyir sebagai Amir JAT atau Ketua FPI Surakarta, melainkan karena ketokohannya dimata para pejuang islam garis keras.

Nasib yang sama dialami oleh Ketua Umum  FPI Habib Riziq,  namun bukan lantaran  terlibat aksi terorisme sebagaimana yang dituduhkan  kepada Baasyir, Riziq dijatuhi hukuman penjara karena didakwa ikut bertanggung jawab pada peristiwa di Monas  yang melibatkan anggota FPI. Berbagai aksi paramiliter FPI ini yang bertindak sebagai polisi agama telah menimbulkan pro kontra akibat tidak tegasnya aparat kepolisian menindak prilaku bisnis yang dinilai bertentangan dengan ajaran Islam. Sebuah situasi yang dilematis dimana negara sekular memberikan tempat2 hiburan, walaupun ada aturan ketertiban namun aturan tinggal aturan yang sering dilanggar. Leluasanya FPI melakukan tindakan kepolisian tersebut menimbulkan kecurigaan FPI sesungguhnya dimanfaatkan untuk kepentingan politik.  Aksi2 FPI yang sering main hakim sendiri itu menimbulkan tudingan setiap kekerasan antar agama adalah ulah FPI.  Namun seperti biasa, FPI menolak tudingan tersebut termasuk tudingan sebagai dalang penyerangan Jemaah Ahmadyah. Bahkan FPI balik mengancam akan menggulingkan pemerintahan SBY jika ormas ini dibubarkan.

Melihat hubungan kedua tokoh ini agaknya perjuangan yang mengatasnamakan islam ini disamping melalui jalan dakwah juga sepakat dengan aksi polisi agama. Hanya bedanya, Riziq lebih memilih skala nasional dengan sasaran tempat hiburan dan kelompok yang dinilai  berbeda dengan pandangan Islam sedangkan Baasyir  dinilai berskala internasional. Tentunya, mengingat Indonesia masih memerlukan hubungan baik dengan negara asing, bisa jadi apa yang disampaikan Baasyir benar, penangkapannya karena pesanan luar negeri. Pesanan atau tidaknya, seharusnya penegakan hukum harus tegas terhadap sipapun yang mengganggu ketentraman masyarakat. Apakah Riziq berlaku sebagai otak kekerasan agama belakangan ini, agaknya masih  sulit dibuktikan. Terlebih Ahmadyah secara terang2an  telah menuding fatwa MUI sebagai provokator dan sebaliknya MUI  balik menuding Ahmadyah sesat. Mudah2an rakyat tidak tambah bingung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun