Mohon tunggu...
Doddy Poerbo
Doddy Poerbo Mohon Tunggu... -

apalah arti sebuah nama

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Inilah Ciri-ciri Gangguan Kejiwaan Kompasianer

28 Desember 2010   17:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:17 1050
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Indonesia, penggunaan internet semakin menjamur seiring dengan beredarnya peralatan yang  semakin mempermudah mengakses Internet. Tak mengenal internet seperti ketinggalan zaman,  mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi , para pengajar sering mewajibkan muridnya memncari bahan pelajaran dengan mengakses internet. Laptop kini menjadi perangkat yang wajib dimiliki para pelajar kita, alasannya dibutuhkan untuk menunjang pelajaran. Ini  adalah sebuah kemajuan tehnologi yang masuk dalam pendidikan kita.  Tetapi, adakah yang berpikir tentang eksesnya ?. Kecandu internet, sebuah sindroma ketergantungan akan internet, adalah eksesnya. Sudah mulai dirasakan, anak sekolah mewajibkan orang tuanya untuk menyediakan alat pengakses internet, tetapi apa yang dilakukan ?. Lebih banyak berchating ria.  Ini adalah sebuah gejala  penyakit, bahkan bisa lebih parah dibanding penyakit klinis biasa.

Para pakar mengidentifikasi candu internet sebagai bagian dan dampak dari sebuah pelarian jiwa yang sepi. Dunia web memang indah. Dia memberikan sebuah janji akan kemajuan yang sangat revolusioner di segala bidang. Tetapi, ketika kemajuan itu telah diraih, orang menjadi sadar bahwa internet juga bisa menjadi sebuah bencana, apabila tidak dimanfaatkan pada jalur yang sebenarnya, dan dengan cara yang semestinya. Ketika beberapa riset ilmiah di berbagai belahan negara maju memberikan rekomendasi dan konfirmasi bahwa semakin banyak netter dan web-junkies yang terbuai dalam jerat candu internet, maka para pakar teknologi informasi dan psikiater pun juga semakin sadar, ini adalah sebuah kesalahan besar yang harus segera diperbaiki.

Dr Hanz Zimmerl, seorang terapis dari Austria yang terlibat dalam kajian tersebut berani menyimpulkan bahwa 40 persen dari 200 juta pengguna internet di seluruh dunia, sudah tidak lagi bisa mengendalikan diri, dan sudah terkena sindroma menakutkan ini.  Para ahli psikologi dan psikiater berpendapat bahwa ini adalah sebuah penyakit kejiwaan pertama yang bisa dengan cepat “menular”, dan kemudian mewabah dengan sangat cepat pula. Kematian akibat sindroma ini memang sangat jauh dari kemungkinan itu. Tetapi, yang menakutkan adalah bahwa kecanduan internet bisa menjadi sebuah penyakit jiwa yang sangat mengganggu sendi-sendi kehidupan kalangan modernis. Penyakit ini sangat berkaitan dengan kepribadian seseorang. Walaupun demikian, meski sudah mendapatkan bukti-bukti bahwa sindroma kecanduan internet memang telah berwujud fakta, para pakar toh belum menemukan kata sepakat tentang ukuran-ukuran ilmiah yang bisa digunakan untuk memastikan bahwa seorang pengguna internet memang sudah mengidap penyakit ini. Misalnya saja, para dokter, ahli terapis dan para psikiater sampai sekarang masih saja ragu-ragu akan batasan yang memastikan, sampai stadium berapakah seorang suffer dapat digolongkan sebagai pecandu internet.

Seperti yang dikatakan Andre Hahn, seorang sarjana psikologi dari Universitas Humbolt di Berlin, Jerman, karena sindroma ini adalah sebuah fenomena kejiwaan. Dan fenomena ini justeru berbasis pada masalah kepribadian. Tetapi, para pakar dan psikiater dari berbagai perguruan tinggi itu pun sampai saat ini masih saja terlibat dalam perdebatan yang justeru membuat semua orang semakin ketakutan: mereka masih mempertanyakan dan mempersoalkan apakah terapi terhadap para penderita sindroma ini memang diperlukan atau tidak ?. Diam-diam dan dengan didasarkan pada keyakinan bahwa ini memang sebuah sindroma yang dicegah dan diobati, beberapa praktisi psikologi memang sudah mengadakan sejumlah riset secara terpisah. Mereka terlebih dahulu membuat beberapa premis ilmiah. Dr Ivan Goldberg, seorang psikiater dari New York, misalnya, berani menggunakan istilah “Internet Addiction Disorder” (IAD, gangguan kecanduan internet) untuk mengidentifikasi kelainan ketergantungan akan internet ini.

Dr Kimberly Young, Direktur Center of Online Addiction pada Universitas Pittsburg-Bradford, Amerika Serikat, membuat analisa yang jauh lebih seram. Menurut dia, siapapun, tak peduli siapa orangnya, yang terhubungkan dengan modem ke internet, sangat berpotensi untuk masuk dalam jerat candu internet. Penulis buku Caught in The Net ini sudah mendapatkan lebih dari 400 kasus yang berhubungan dengan gangguan akibat penggunaan internet. Tetapi, kapan sebenarnya seorang pengguna internet dapat dikatakan sudah kecanduan?  Sekali lagi, para pakar dan ahli medis menyepakati satu hal bahwa batas-batas kapan seseorang dinyatakan sebagai pecandu internet, belum jelas untuk didefinisikan. Hanya saja, jika seseorang sudah merasa tidak lagi dapat mengendalikan keinginannya yang besar untuk bermain internet, dan jika ia sudah tidak dapat lagi melakukan upaya-upaya penghindaran diri, maka dapat dikatakan ia sudah dikuasai oleh keinginannya. Dia sudah kecanduan internet, dia sudah terjangkit syndrom, dia sudah mengalami gangguan kejiwaan. Sesorang yang sudah terjangkit syndrom ini antara lain terlihat dari sikap yang tidak disadarinya  seperti :


  • Emosi yang sebentar-sebentar meledak di saat online – mengamuk karena mudah tersinggung Online Intermittent Explosive Disorder/OIED). Di dalam kehidupan nyata disebut Intermittent Explosive Disorder (IED – tanpa online) adalah suatu gangguan pengendalian diri yang dapat membuat seseorang sanggup melakukan tindakan sadis seperti membantai seluruh anggota keluarga, misalnya, hanya dikarenakan makanan kesukaan mereka dihabiskan oleh salah seorang anggota keluarga yang lain. Mereka cenderung akan mengamuk secara tidak terkendali disebabkan situasi yang tidak dikehendaknya.

  • Toleransi rendah terhadap kekalahan dalam forum (Low Forum Frustration Tolerance/LFFT)Bagi orang yang suka menulis dan melakukan posting, sering kali merasa bahwa postingnya sangat sempurna. Seperti umumnya posting di internet yang selalu mendapatkan tanggapan dan komentar, maka penulisnya hampir setiap waktu mengecek masuknya komentar yang baru diberikan pembacanya. Jika ia mendapat komentar-komentar miring penuh kritik, maka dengan cepat ia akan meluncurkan jawaban yang akan mematahkan tanggapan itu. Jika tidak ada yang memberikan komentar, dia akan mengirimkan komentarnya sendiri – mungkin dengan nama lain – untuk meramaikan tulisannya. Di alam nyata gangguan ini disebut Low Frustration Tolerance (LFT) yang digambarkan sebagai seseorang yang mencari-cari kepuasan segera atau penghindaran dari rasa sakit dengan segera. Pada awalnya mirip dengan perilaku anak tujuh tahunan yang menginginkan sebuah mainan, dan akan berteriak dengan menghentak-hentakan tangan dan kakinya agar segera mendapatkan apa diinginkannya. Seseorang dengan LFT sangat tergila-gila dengan pekerjaan yang sedang dilakukannya sehingga hal-hal lain dalam hidupnya seakan-akan berhenti. Hal itu sebenarnya adalah wujud dari obsesi yang berlebihan dan tidak logis, sehingga mereka melupakan hal-hal lain.

  • Munchausen di Internet - tukang cerita untuk membangkitkan rasa kasihan (Munchausen Syndrom). Diidap oleh orang-orang yang bersembunyi di balik perasaan tidak berdosa (inosen), ketika pada suatu hari ia mengalami musibah; binatang kesayangannya, atau orangtua, atau mungkin sahabat karibnya meninggal. Atau barangkali gambaran tentang dia sendiri yang mempunyai suatu penyakit. Dia menuliskan cerita-cerita kesedihan dengan mengharapkan simpati dari pembacanya. Anda akan mengirimi orang ini doa-doa dan berbagai harapan, hadiah-hadiah dan anda berharap dia berhasil melewati masa sulit dengan tabah.Di dalam kehidupan nyata gangguan ini disebut Munchausen Syndrome (MS), suatu istilah yang diambil dari nama seorang tentara Jerman, Baron Munchausen (Karl Friedrich Hieronymus Freiherr von Munchausen, 1720-1797) yang mengaku mempunyai banyak pengalaman fantastik dan petualangan-petualangan yang mustahil, oleh Rudolf Raspe kemudian dituliskan dalam sebuah buku berjudul The Surprising Adventures Baron Munchausen. MS adalah suatu kondisi di mana seseorang dengan sengaja membuat kebohongan, menirukan, menambah buruk suatu keadaan, atau mempengaruhi diri sendiri agar sakit dengan tujuan diperlakukan seperti orang sakit. Dalam 1951, Richard Asher memakai istilah itu untuk orang-orang yang berkeliling dari satu rumah sakit ke rumah sakit yang lain, dengan membuat berbagai cerita berbeda mengenai penyakit-penyakit yang dideritanya.

  • Gangguan kepribadian yang tergoda untuk memaksa orang lain pada saat online (Online Obsessive-Compulsive Personality Disorder/OOCPD). Gangguan kepribadian jenis ini bisa dijelaskan dengan contoh kegilaan akan tata bahasa. Ketika orang menemukan suatu kesalahan tata bahasa atau penulisan kata yang keliru dari orang lain dalam sebuah posting atau komentar, maka dia langsung menyerang dan dengan keras memproternya.Dalam kehidupan nyata disebut Obsessive-Compulsive Personality Disorder atau OCPD, tapi jangan dikacaukan dengan Obsessive-Compulsive Disorder (OCD). Orang-orang dengan OCPD tidak melakukan ketaatan pada ritual-ritual aneh yang dilakukan pengidap OCD, seperti mengetuk pintu harus tiga kali atau memakan bagian ekor dari ayam goreng pada sesi terakhir setelah seluruh dagingnya habis dimakan, dan lain sebagainya. Tipe OCPD secara sederhana mempunyai sebuah standar tegas luar biasa yang dengannya tugas-tugas tertentu harus diselesaikan dengan sempurna. Biasanya mereka bersikap tidak mau menerima dengan keras cara-cara lain yang bertentangan dengan standar mereka.

  • Low Cyber Self-Esteem (LCSE) atau penghargaan terhadap diri sendiri yang rendah (Seperti seseorang yang dibenci setiap orang, tapi tidak ada yang meninggalkannya) Setiap forum, chating, atau komunitas online lainnya tampaknya bisa memaksa orang – yang tidak merasa betah sekalipun – untuk tetap tinggal. Mereka dipakasa agar tetap online. Orang-orang ini tetap bebas untuk meninggalkan situs setiap saat, tetapi anehnya mereka tidak melakukannya. Di dalam kehidupan nyata ini disebut merendahkan diri sendiri atau perilaku pencarian perhatian.Seseorang dengan kebutuhan akan merendahkan diri atau perasaan harus terus-menerus dihukum untuk kesalahan-kesalahannya. Seperti sebuah cara dari alam bawah sadar untuk merasa bahwa dunia sedang membalas dosa-dosa mereka, atau mereka hanya begitu tidak menghargai diri sendiri sehingga mereka tidak bisa mengumpulkan energi untuk membela diri. Tetapi yang lebih umum adalah Online Attention Seeking Behavior atau kebiasaan mencari perhatian secara online, yang siapa pun pernah melakukannya; ibarat menghabiskan waktu jalan-jalan sore dengan seorang anak, dan si anak akan terbiasa dan terus menuntut perhatian seperti itu. Dan yang anehnya, seperti anak-anak yang menganggap bahwa kemarahan orang lain adalah juga cara memperoleh perhatian, maka ada yang beranggapan bahwa memperoleh pelecehan seksual lebih baik daripada diabaikan.

  • Internet Asperger’s Syndrome. Seorang blogger dan pengusaha Internet, Jason Calacanis menciptakan istilah “Internet Aspeger’s Syndrome” untuk menguraikan perihal hilangnya semua aturan sosial dan empati pada diri seseorang, disebabkan tanpa alasan selain hanya secara kebetulan berhadapan dengan sebuah benda mati; berkomunikasi via papan tombol dan monitor pada suatu waktu.Beberapa kasus bunuh diri yang direkam dengan webcam – yang sebagian mungkin main-main – dan dipublikasikan di Internet. Untuk sekarang ini mungkin kita tidak yakin bahwa hal itu benar-benar terjadi, tetapi sebenarnya hanya masalah waktu. Begitu juga dengan gambar-gambar penyiksaan, penganiayaan dan kekerasan yang dilakukan oleh beberapa orang anak didik terhadap temannya di sebuah akademi itu.


Dari uraian diatas, untuk mengatakan seseorang telah mengalami gamgguan kejiwaan sesungguhnya memerlukan sebuah rangkaian pengujian yang memerlukan pengalaman dan kepandaian khusus. Namun demikian, paling tidak uraian tersebut diatas dapat membantu kita dalam mencegah seseorang melakukan justifikasi adanya kompasianer telah mengalami gangguan kejiwaan dalam sebuah judul artikel yang diposting. Untuk mengetahui adanya Kompasianer yang telah terjangkit syndrome yang menakutkan ini, ciri2 gangguan kejiwaan  dapat dipelajari dari tulisan dan interaksinya. Mengetahui ciri2 itu merupakan dasar kita untuk mengambil sikap, terlibat secara emosional atau menghindarinya. Polemik yang terjadi seputar postingan salah seorang kompasianer yang dinilai menyimpang sesungguhnya menjadi warning tentang kesehatan jiwa  semua kompasianer sebelum memerlukan perawatan sesungguhnya.

Catatan :

Artikel sejenis telah saya posting sebelumnya, namun ada baiknya saya mengangkat tema seperti ini kembali sebagai bahan untuk mawas diri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun