Mohon tunggu...
Doddy Poerbo
Doddy Poerbo Mohon Tunggu... -

apalah arti sebuah nama

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Mengapa Ibukota Negara Harus Pindah?

13 Oktober 2010   17:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:27 1166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_288827" align="alignright" width="300" caption="Tol Semanggi yang tak lepas dari kemacetan ( Foto Kompas.com)"][/caption] Pak Polisi menilang pengendari mobil yang melanggar marka jalan darurat di jalan tol semanggi yang sering macet. Walaupun telah membayar menggunakan jalan tol, jangan kita berharap mendapatkan fasilitas jalan yang katanya bebas hambatan. Pengemudi yang sudah membayar tarif tol harus cukup mempunyai kesabaran walaupun hak mendapat fasilitas jalan bebas hambatan tidak dapat dipenuhi oleh penyelenggara jalan tol, melanggar marka tetap pelanggaran, pak polisipun menindaknya. Agaknya kondisi seperti itu harus diterima dengan lapang dada karena pemerintah belum mampu memberikan perlindungan hak warganegaranya, sebaliknya rakyat sering dianggap lalai melaksanakan kewajibannya. Sebetulnya kemacetan jalan tol semanggi tersebut disebabkan karena over capacity, namun demikian tarif tol selalu dinaikkan. Sebaliknya Ditlantas menganggap terjadinya kemacetan di jalan bebas hambatan itu karena pengaturan pintu tol dimana pihak penyelenggara meminta waktu selama 6 bulan untuk menutup pintu tol yang ditengarai sebagai sumber kemacetan. Namun jika kita lihat rangkaian akses jalan tol tersebut sesungguhnya jalan tol tersebut bukanlah jalan bebas hambatan melainkan jalan collector yang pastinya akan terjadi penumpukan kendaraan dibanyak titik. Hal ini disebabkan jalan tersebut berfungsi ganda, selain sebagai jalan collector juga berfungsi sebagai jalan arteri yang menghubungkan antar kota. Akibat dari kelemahan dalam transportation network planning inilah yang sesungguhnya merupakan sumber keruwetan lalulintas di DKI Jakarta. Tidak tersedianya jalan alternatif membuat semua kendaraan lintas dari arah barat maupun timur akan melintasi jalan dalam kota DKI. [caption id="attachment_288839" align="alignleft" width="300" caption="Kesenjangan pembangunan wilayah sekitar DKI "][/caption] Kemacetan di ibukota negara itu disikapi dengan wacana pemindahan ibukota, sebuah pemikiran yang mengundang proyek mercusuar, padahal hal itu belum tentu dapat menyelesaikan persoalan kemacetan. Konsep jabotabek yang sudah puluhan tahun itu seolah menjadi sampah yang tidak berharga, membangun jalan baru antar kota untuk memecah konsentrasi kendaraan di Jakarta jauh lebih murah ketimbang memindahkan ibukota. Jalan tol lingkar luar misalnya saat ini masih terasa lancar, namun sayangnya jalan itu terputus sampai wilayah serpong. Andaikata jalan tersebut dapat menghubungakan wilayah banten lainnya, kemacetan di jalan tol semanggi dapat berkurang. Pembangunan jalan guna memcah konsentrasi kepadatan memang masih dijauhi oleh investor, disinilah perlunya peran pemerintah untuk membangun jalan2 baru yang selain untuk memecah konsentrasi kepadatan lalulintas sekaligus untuk pemerataan pembangunan dalam kaitannya merangsang pertumbuhan ekonomi. Kendala yang terjadi adalah koordinasi antar pemerintah daerah dan ini terlihat sangat mencolok jika kita melintas dibatas wilayah DKI dengan pemerintahan daerah sekitarnya. Keluar wilayah batas jalan DKI kita akan selalu dihadapkan pada kondisi jalan botleneck dan kwalitas jalan. [caption id="attachment_288841" align="alignright" width="295" caption="Kemiskinan merupakan potensi kerawanan sosial ( foto nn )"][/caption] Ruwetnya lalulintas DKI tersebut secara langsung akan menambah beban pemborosan yang berakibat pada peningkatan harga kebutuhan yang paling mendasar seperti bahan kebutuhan sehari2. Penurunan daya beli tersebut akan mempengaruhi sektor perburuhan yang rentan terhadap gejolak. Kondisi yang rawan ini menyebabkan penguasa yang telah menanamkan investasi akan merasa " keterlanjuran" yang berpengaruh pada keinginan untuk melakukan ekspansi yang akan memberikan lapangan kerja baru. Sebuah iklan buruk bagi iklim investasi di Indonesia sehingga tujuan investasi di Indonesia akan mengarah pada sektor pertambangan dan perkebunan yang relatif lebih aman. Keadaan tersebut tentu tidak akan membantu menjadikan jakarta lebih baik dan situasi yang seperti ini akan menimbulkan kerawanan sosial, gesekan kecil akan mudah menyulut gesekan besar yang muaranya akan langsung pada pusat kekuasaan. Memindahkan ibukota untuk menghindarkan dari wilayah yang rawan bukanlah jalan keluar, ibarat api dalam sekam, sewaktu2 akan meledak menjadi kerusuhan yang besar dan hal ini semakin menjauhkan minat investasi di Indonesia. [caption id="attachment_288847" align="alignright" width="300" caption="Proyek mercusuar Banjir kanal, Jakarta tetap banjir. ( Dinas PU DKI )"][/caption] Belakangan ini marak pembicaraan tentang banjir DKI yang semakin mengkhawatirkan, padahal belum lama berselang begitu gencarnya promosi proyek banjir kanal yang katanya akan mengatasi banjir DKI. Yang terbaru adalah rencana Pemprov DKI melakukan pengerukan kali Ciliwung. Wilayah hulu yang tidak pernah tersentuh pembenahan, bahkan wilayah konservasi yang seharusnya dilindungi ternyata dikuasai oleh para pejabat untuk membangun villa. Diwilayah hilir, penyediaan air bersih belum memadai, supply air masih sebatas air bersih asal tidak gatal karena biaya pengolahan yang mahal akibat polutan. Penyedotan air tanah secara besar2an disamping karena perubahan iklim global yang meninggikan permukaan air laut ditambah dengan air kiriman dari wilayah hulu maka lengkaplah syarat yang harus dipenuhi untuk menenggelamkan kota jakarta. Kerawanan sosial, ditambah kerusakan lingkungan karena tidak berimbangnya daya dukung dan sesaknya manusia jika tidak ditangani secara sungguh2 maka dalam beberapa tahun kedepan DKI akan menjadi wilayah yang angker terlebih jika ibukota dipindahkan. Yang paling tepat sesungguhnya menggeser kegiatan pemrintah pada wilayah hilir lainnya seperti kewilayah Banten dengan membangun jalan2 arteri yang menghubungkan antar kota. Kemudahan akses tersebut merupakan syarat sebuah ibukota negara sekaligus akan mengalihkan konsentrasi kepadatan lalulintas di Jakarta. Artinya, pemindahan ibukota itu dapat bermanfaat ganda, selain membenahi pusat pemerintahan sekaligus mengatasi masalah kota Jakarta. Sayangnya, banyak diantara kita hanya berpikir proyek, kota jakarta ditinggalkan begitu saja dengan permasalahannya yang sesungguhnya merupakan bom waktu. Kerusuhan di jakarta akan langsung mendunia karena kota Jakarta telah menjadi kota Internasional, pemindahan ibukota negara tidaklah mudah. Dibeberapa negara memang ada yang mempunyai beberapa ibukota yang sesungguhnya hanya merupakan pusat pemerintahan tehnis terkait dengan system pemerintahannya yang umumnya terdiri dari negara bagian atau federasi. Ilmu perkotaan membutuhkan beberapa disiplin ilmu karena bidang pendidikan perkotaan di Indonesia setahu saya belum terselenggara. Disiplin ilmu perkotaan ( Municiple Engineering ) saat ini di Indonesia masih merupakan kumpulan beberapa disiplin ilmu sehingga wacana yang timbul sifatnya masih partial, belum sebagai pendapat yang terintegrasi. Pandangan masih bersifat pada pemerataan pembangunan kedaerah, tidak memikirkan aspek tehnis dan sosial secara komprehensif. Dalam situasi negara seperti ini, tentunya ada skala prioritas yang menjadi pedoman pembangunan dimana pembangunan harus pula memperhitungkan cost recovery agar  pembangunan dapat berkesinambungan. Sebuah negara yang sedang dalam eforia demokrasi, ibarat didepan mata penguasa terdapat sebuah bom waktu yang siap meledak, bukanya dilakukan penjinakan justru ingin ditinggalkan. Inilah akibatnya kalau semua dipolitisir, sehingga ilmu yang dibutuhkan disingkirkan karena tidak diberi kesempatan untuk bicara. Semua berpikir proyek, tidak ada satupun yang membahas cost recovery adanya pemindahan ibukota negara ini. Pantas saja negara ini tertinggal dari negara tetangga karena pola pikir masih merasa paling benar sendiri yang akhirnya sesungguhnya hanya meramaikan pemberitaan tetapi actionnya tidak jelas karena memang karena tidak faham apa yang harus dikerjakan. Selama pola pikir masih berorientasi pada ketersediaan uang dan proyek maka negara ini tidak akan pernah mempunyai perencanaan pembangunan secara jelas. Konsep pembangunan Jabotabek itu hanya menjadi sampah karena nyatanya masing2  pemerindah daerah berjalan sendiri, padahal jika mengacu konsep tersebut, mungkin saja tol semanggi tidak pernah macet, jakarta tidak pula harus tenggelam. Disinilah perlunya keterlibatan pemerintah pusat sebagai koordinator pembangunan. [caption id="attachment_288849" align="alignleft" width="300" caption="Pemindahan ibukota negara, wacana lari dari masalah ( foto setneg)"][/caption] Banyaknya pendapat mengikuti wacana pemindahan ibukota semakin menunjukkan keberanian berbicara karena kental dengan pandangan politis yang mengaitkan dengan keberadaan NKRI. NKRI memang beribukota di Jakarta,  tetapi pemerantaan pembangunan bukan karena keberadaan ibukota negara itu. Pemerataan pembangunan adalah sebagai hasil polecy pembangunan yang diterapkan. Bicara tidak nyambung seperti itu sangat lantang terdengar dan menjadi bahan berita nasional. Pada akhirnya wacana pemindahan ibukota itu akan menjadi intrik politik saja, tak ada kejelasan karena apa yang seharusnya dipikirkan akibat pemindahan ibukota negara tertutup oleh kepentingan politik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun