Mohon tunggu...
Doddy Poerbo
Doddy Poerbo Mohon Tunggu... -

apalah arti sebuah nama

Selanjutnya

Tutup

Money

Industri Kerajinan Terabaikan, Bumipun Makin Beracun

25 Maret 2010   09:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:12 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_102134" align="alignleft" width="300" caption="Produk rotan, kalah bersaing..?"][/caption] Ekspor produk berbahan baku rotan nasional terus mengalami penurunan. Berawal dari krisis di Amerika Serikat, pengiriman rotan ke pasar luar negeri tahun ini berkurang hingga 50 persen. Krisis ekonomi global yang semakin meluas dipredisikan akan membuat industri rotan terpuruk pada awal 2009. Disamping itu pasar dalam negeripun mengalami pukulan akibat pemberlakuan perdagangan bebas yang mulai diberlakukan sejak awal tahun 2010 ini. Pukulan bukan hanya dialami industri rotan saja, industri kerajinan mainan anak2 tradisionilpun makin terpuruk kalah bersaing dengan produk import yang telah menyerbu pasar tradisional. Menyak dari segi harga, produk import lebih murah tetapi mengingat bahan yang dipakai, bahwa dampak yang ditimbulkan bagi lingkungan akan memperparah bumi yang kita pijak ini. [caption id="attachment_102135" align="alignright" width="300" caption="Perlu kreativitas untuk menguasai pasar"][/caption] Antara harga dan dampak lingkungan adalah dua kutub yang berbeda, harga murah bukan berarti akan murah dalam arti yang sesungguhnya, biaya rehabilitasi lingkungan dan kesehatan kemungkinan akan jauh lebih mahal ketimbang selisih harga tadi. Dibeberapa negara, produk dari negeri China terbukti bahwa bahan yang dipakai untuk maianan anak2 ternyata mengandung racun. Dalam hal ini siapakah yang harus bertanggung jawab terhadap peredaran barang import seperti itu. Industri kerajinan Indonesia yang banyak menyerap tenaga kerja ini, sekarang dihadapkan pada masalah lanjutan setelah terjadinya krisis yang susul menyusul yaitu persaingan dengan produk import yang bebahan tidak ramah lingkungan. Cinta produksi negeri sendiri sudah tak kurang disosialisasikan tetapi masyarakat kita justru menyerbu barang import karena tergiur strategi dagang para pedagang yang memang hanya berorientasi mencari keuntungan yang sebesar2nya. Padahal jika kita lihat dari segi harga, barang import masih diatas harga produk dalam negeri. [caption id="attachment_102137" align="alignleft" width="300" caption="Keranjang sampah yang juga penyumbang sampah"][/caption] Sebetulnya kondisi tersebut dapat diatasi jika para pengrajin dan pelaku bisnis ini mampu mengikuti keiinginan pasar. Kelemahan yang paling menonjol adalah pada inovasi memperbaiki model dan mutu dan standart kwalitas yang kurang terjaga. Jika sebuah model laku keras, yang lain ikut berbondong2 mengikuti model yang sama dan pada akhirnya mengakibatkan kejenuhan pasar. Latah, begitulah sifat yang paling menonjol mengenai prilaku produsen kita karena sifat mengikuti pasar, bukan membuka pasar. Sifat mengikuti pasar itulah yang menyebabkan ketidak mampuan menahan serbuan produk import yang lebih inovatif dari segi estetikanya. Kelemahan dalam membaca pasar merupakan kendala dari pemasaran produk indonesia yang monoton. Ada satu sikap yang sulit dihilangkan yaitu dalam hal cara memasarkan yaitu kami memiliki produk ini, bukan bersikap anda membutuhkan apa.  Banyak peluang yang terbuang karena sikap yang bertahan itu, seharusnya untuk lebih menguasai pasar haruslah bersikap dinamis, memahami keinginan pasar.  Hal ini dapat kita saksikan bentuk2 kerajinan yang dijual yang seharusnya merupakan kebutuhan rumah tangga namun telah berubah menjadi souvenir belaka. Disamping itu, standarisasi mutu yang belum seragam sepertinya halnya bahan baku yang seharusnya hanya cocok untuk rangkaian parsel tetapi dibuat untuk kebutuhan rumah tangga. [caption id="attachment_102138" align="alignright" width="300" caption="Sampah plastik yang terus menggunung..."][/caption] Sejalan dengan perberlakuan perdagangan bebas, tidaklah perlu menjadikan AFTA sebagai biang kerok kemerosotan pasar produk kita karena kita juga memerlukan pasar ekspor yang tentunya tak berharap mendapat batasan seperti halnya kita menhharapkan batasan import. Tahun2 silam,  segala kebutuhan kemasan pasar seperti tali asin, kantung kertas sekarang sudah berganti dengan plastik, begitu juga dengan tutup makanan dimeja kita. Pasar sudah dikuasai kaum kapitalis yang modalnya relatif lebih besar karena lebih mampu membaca keinginan pasar. Ratusan juta bangsa kita membutuhkan peralatan kebutuhan sehari2, ratusan ribu ton, bahkan jutaan ton sampah beracun akan memenuhi bumi ini karena kita tak menyukai karya bangsa sendiri. Truk kayu mainan anak2 sudah sulit kita cari, mobil2an remote control buatan china setiap sudut pasar dapat kita lihat. Barangkali yang harus dihilangkan adalah image "ndeso" terhadap mainan anak2 yang ramah lingkungan itu agar produk kita dapat dihargai. Dilain sisi, rehabilitasi alam yang kurang diperhatikan menambah sulit penyediaan bahan baku produk ramah lingkungan. Back to nature adalah cara untuk memperpanjang ganerasi manusia sekaligus mengangkat martabat produk kita.   Catatan : Ilustrasi gambar dari google

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun