Boleh dikatakan sebuah keberuntungan bagi saya mempunyai kesempatan ikut menangani pinjaman2 luar negeri pemerintah maupun swasta pada era orde baru. Bahwa kedua macam pinjaman tersebut pada dasarny berasal dari negara2 barat dibawah komando Amerika Serikat. Tentunya ada kepentingan Amerika Serikat bersikap murah hati kepada Indonesia, walaupun sesungguhnya bunga yang diterapkan kepada Indonesia adalah bunga super komersial atau bunga rentenir yaitu sampai 8 % diatas LIBOR yang rata2 4 %. Jika kita bandingkan dengan suku bunga The Fed yang dibawah 1 %, tidak tahu lagi jenis bunga yang dikenakan kepada Indonesia. Disamping itu Indonesia juga dikenakan kommitment fee yang berkisar antara 0,5 % s/d 1 %.Â
Dengan pembiayaan proyek tanpa dana pendamping APBN kecuali PPn 10 %, intinya proyek2 yang dibangun dengan dana pinjaman tersebut pada dasarnya pembiayaannya adalah 100 % menggunakan dana pinjaman. Demikian juga dengan pinjaman swasta yang digaransi pemerintah pada dasarnya adalah pinjaman tanpa jaminan sama sekali kecuali debitur menyediakan biaya provisi.
Seperti uraian yang saya sampaikan disini
http://polhukam.kompasiana.com/2010/02/06/indonesia-terjebak-oleh-politik-suharto/
Bahwa sesungguhnya pinjaman luar negeri untuk pembangunan infrastruktur ekonomi pada dasarnya menjadi beban APBN pada saat ini. Sebab, sejalan dengan pemberlakuan otonomi daerah bahwa investasi2 tersebut tidak dapat termonitor lagi efektivitasnya. Pemerintah pusat telah terpotong garis komandonya oleh karena UU otonomi daerah sehingga APBN tidak dapat melihat lagi potensi peningkatan pendapatan oleh karena investasi itu. Mestinya, peningkatan pendapatan tersebut akan merupakan pengurangan dana alokasi umum untuk daerah yang bertanggung jawab karena menikmati investasi tersebut.
Oleh karena adanya depresiasi nilai rupiah ( yang menurut saya memang dapat disengaja ), beban pinjaman tersebut menjadi berlipat ganda sedangkankan efektifitasnya tidak dapat dimonitor. Secara langsung, pinjaman itu telah menggembosi APBN dimana pemerintah daerah "merasa" tidak perlu bertanggung jawab. Terlebih dengan pemilihan langsung, kepala daerah semakin menjauhi pertanggungan jawab yang pada akhirnya semua hutang orde baru menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Disamping itu, pemilihan langsung telah pula memotong garis komando Presiden kepada kepala daerah yang bertameng pilihan rakyat. Akibatnya, satu2nya kendali adalah pada penegakkan hukum. Tetapi melihat penegakan hukum yang masih seperti ini, bahwa sesungguhnya negara ini tanpa kendali kecuali adanya presiden masih menunjukkan bahwa negara ini masih berdaulat.
Logika awan mengatakan, rakyat diderah memilih pemimpinnya sendiri, kegagalan pembangunan didaerah akan dilemparkan kepada presiden. Inilah faktanya yang kita lihat saat ini yang menyebabkan ketidak stabilan politik. Tanggung jawab yang tidak berimbang dan tidak tanggung renteng atas pilihat rakyat sendiri. Padahal jika kita melihat anggaran negara ini, ada APBN dan ada APBD yang masing2 mempunyai sumber pendapatan tersendiri. Bagian APBN masih diberikan kepada daerah dalam bentuk alokasi dan umum, mestinya APBD menjadi tulang punggung keuangan daerah, tapi faktanya sebagian besar daerah masih tergantung dari APBN.
Otonomi daerah yang dimaksudkan untuk mempercepat penanganan daerah, situasinya masih jauh dari tujuan itu yaitu masih berorientasi pada kekuasaan, bukan untuk mengelola daerah seperti yang diharapkan. Itulah sebabnya sering kita dengar adanya bupati yang mbalelo kepada Gubernur dengan tameng pilihan rakyat langsung.
Wacana penghapusan pilkada sudah mulai terdengar, memang pilkada menjadi ganjalan garis komando dan pertanggungan jawab, jika hal ini tidak diantisipasi maka dapat membangkrutkan pemerintah pusat. Jika sampai terjadi, tuntutan sparatis akan tumbuh terutama dari daerah yang surplus yang merasa terhisap potensi daerahnya untuk membiayai daerah yang minus.
Pada dasarnya, pinjaman orde baru tersebut telah menjadi beban yang menggeroti APBN pemerintah selanjutnya, kemerosotan nilai rupiah berarti malapetaka buat APBN. Itulah sebabnya pemegang otoritas moneter hanya berkonsentrasi pada stabilitas moneter agar beban hutang itu tidak makin meledak lagi.
Pinjaman luar negeri sektor swasta lebih parah lagi, hampir semua ngemplang yang membuat perbankan pemerintah sebagai garantor gulung tikar. Siapa yang membayar hutang swasta tersebut, tidak lain pemerintah melalui APBN. Untuk menanggung pembayaran pinjaman tersebut, pemerintah melakukan pinjaman lagi. Untuk pos ini saja pemerintah harus menanggung bunga sekitar Rp. 80 triliun setiap tahunnya. Mau diusut ?. Banyak pengemplang sudah pindah basis usaha keluar negeri dengan duit kemplangan itu.