Setelah lama berpisah, Slamet dan Sumini (sahabat lama-red) berjumpa pada suatu sore di Malioboro.
”Wah suwe ora jamu, piye kabarmu?’ tanya Slamet. ”Bagaimana keadaan keluarga dan anak-anakmu? Seingatku, kamu punya empat anak laki-laki. Di mana mereka sekarang?”
”Alhamdulillah ya, sehat walafiat,” kata Sumini. ”Si sulung bermuklim di Jakarta, ia giat menulis untuk membangun kebijakan ekonomi pasar. Yang kedua tinggal di Wamena (Papua-red), juga giat menulis untuk pendidikan politik masyarakat & membangun semangat “kemerdekaan” di sana. Yang ketiga lebih senang tinggal di Solo, tulisan-tulisannya sedikit radikal dan sangat religius. Sedangkan si bungsu sambil menulis bekerja di perpustakaan (Pustakawan-red) tinggal di Yogyakarta.”
“Apakah ia juga membangun perpustakaan teror di Yogyakarta?”
“Apakah kau sudah gila? Siapa pula yang mau membangun terorisme di tanah kelahirannya?”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H