Mohon tunggu...
Perpustakaan Kementerian Keuangan
Perpustakaan Kementerian Keuangan Mohon Tunggu... -

"An investment in knowledge pays the best interest." -Benjamin Franklin

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Perpustakaan di Warung Kopi: Perpustakaan Milenium

20 Maret 2012   02:08 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:44 717
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Satu dekade terakhir ini perpustakaan berbasis komunitas banyak sekali muncul di Indonesia. Salah satu proses metamorfosis perpustakaan untuk menjadi lebih fleksibel, dibangun secara mandiri, dibangun oleh komunitas pecinta buku, sangat spesifik, lebih bermanfaat. Sehingga, saat ini ada dua golongan perpustakaan bagi kawula muda, yaitu perpustakaan konvensional (klasik) dan perpustakaan kontemporer. Mulai dari komunitas pecinta bahasa, komunitas sastra, pecinta museum, penggemar sepeda antik, filateli, penggemar sejarah, sampai dengan cafe yang menawarkan perpustakaan sebagai salah satu layanan kepada para pelanggannya. Harus diakui, perpustakaan yang berbasis komunitas ini lebih eksis karena dilahirkan dan hidup di tengah masyarakat itu sendiri. Perpustakaan tidak lagi memiliki bentuk yang kaku dan standar. Perpustakaan telah menjelma, merasuk ke dalam berbagai sendi dan lini kehidupan dalam kebersamaan serta kelompok-kelompok kecil yang bisa kita kenal dengan sebutan komunitas. Karakter masyarakat Indonesia memungkinkan membangun perpustakaan dari grass-root, karena masyarakat kita adalah masyarakat komunal, masyarakat gotong-royong. Oleh sebab itulah, perpustakaan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat lebih hidup dan bertumbuh lebih pesat. Masyarakat Indonesia membuktikan bahwa perpustakaan tidak hanya sebagai sistem pendukung pendidikan saja, tapi juga sebagai perekat kebersamaan, simbol eksistensi kelompok dan sebagainya. Simbol adalah hakikat tertinggi dari kehidupan, dengan demikian wujud, makna dan hakikat perpustakaan mulai berevolusi menempati ruang-ruang kosong kehidupan masyarakat kita. Kesimpulannya adalah, perpustakaan perlu menempatkan diri pada posisi yang dinamis berdasarkan sasaran psikologis organisasi dan karakteristik pasar pengguna. Bagaimana para pekerja informasi dapat beradaptasi dengan teknologi dan jaringan informasi, yang mampu berinovasi, menjadi kunci profesionalitas dan dedikasinya sendiri. Psikologi pengguna merupakan salah satu komponen utama dalam pengembangan basis produk perpustakaan. Hanya produk dan model layanan yang paling melekat di hati setiap masyarakat pengguna lah yang akan tetap lestari. Selebihnya, tidak akan mampu bertahan melintasi jaman. Inilah bukti nyata, bahwa perpustakaan benar-benar memiliki value added (nilai tambah), baik dilihat dari segi manfaat, fungsi maupun dari sudut pandang bisnis. Value itulah yang berhasil digali, diangkat dan kemudian disepakati sehingga melahirkan perpustakaan-perpustakaan yang berbasis komunitas di Indonesia. Mencermati perubahan fungsi, gagasan dan makna perpustakaan ini, nampaknya kita perlu mengkaji ulang definisi "perpustakaan milenium" ini untuk memperkaya perspektif kajian ilmu informasi. Sekaligus membuktikan bahwa ilmu informasi ternyata terus berkembang sangat dinamis sebagaimana kompleksitas dinamika psikologis masyarakat indonesia. Salam Pustaka ! www.perpustakaan.depkeu.go.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun