Masih ingat dengan pembelajaran HOTS? Suatu model pembelajaran yang begitu populer di dunia sekolah dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan pada 2018 hingga 2022, ada semacam himbauan kepada sekolah-sekolah untuk menyajikan soal HOTS dalam pelaksanaan ujian. Sehingga lengkaplah, pembelajarannya hots, instrument evaluasinya juga hots. Hasil evaluasi pun diharapkan hots. Tidak peduli bagaimana wujudnya dalam pembelajaran serta dalam instrument penilaian, pokoknya asal hots dulu, titik. Saya jadi teringat dengan pergantian kurikulum ketika masa SD dulu. Waktu itu, pendekatan baru yang berlaku dalam pembelajaran adalah CBSA (cara belajar siswa aktif). Tujuannya jelas, upaya menciptakan situasi belajar agar peserta didik terlibat aktif dalam pembelajaran. Aktualisasinya, "catat buku sampai abis".
HOTS adalah singkatan dari higher order thinking skill yakni keterampilan berpikir tingkat tinggi. Ada juga yang menyebutnya dengan Metakognisi. Sesuai namanya, model pembelajaran ini mendorong siswa berpikir tingkat tinggi. Wujudnya adalah peserta didik mampu melakukan analisis, evaluasi, dan menciptakan sesuatu melalui pemecahan masalah. Pembelajaran hots menekankan pada pemahaman konsep yang mendalam dan penerapan pengetahuan dalam situasi nyata. Ada keselarasan antara pengetahuan dan sikap, serta aktualisasinya dalam kehidupan nyata.
 Kebalikannya adalah LOTS (lower order thingking skills). Model pembelajaran ini hanya menuntut siswa menyelesaikan masalah-masalah faktual yang alternatif jawabannya mudah ditemukan dalam buku atau hafalan. Metode pembelajaran yang lots, hanya memposisikan siswa sebagai objek pasif. Padahal, posisi ideal siswa dalam pembelajaran adalah subjek aktif. Pembelajaran lots menempatkan peserta didik terpisah dari kehidupan nyata. Pembelajaran menjadi tidak bermakna karena peserta didik tidak dapat menerapkan pengetahuan yang mereka pelajari ketika dihadapkan pada situasi berbeda di luar kelas atau sekolah (Hendriawan, D dan Usmaedi: 2019).
Nampaknya faktor pendorong munculnya HOTS adalah LOTS itu sendiri. Ada situasi dimana peserta didik masih ditempatkan sebagai objek pasif dalam pembelajaran, serta jauh dari konteks kehidupan nyata. Peserta didik diajak berpikir seputar materi dalam buku pelajaran saja. Kemampuan dalam melakukan analisis, evaluasi, serta kolaborasi dalam pemecahan masalah masih terabaikan. Akibatnya adalah kemampuan membaca, matematika dan sains anak Indonesia masih rendah, ranking 74 dari 79 negara di survei PISA tahun 2018. Hots dipandang sebagai pendekatan yang tepat untuk meningkatkan daya berpikir peserta didik dari lower ke higher. Hots menjadi solusi untuk mengembangkan kemampuan berpikir peserta didik sehingga mampu melakukan analisis, evaluasi, berkolaborasi, serta memecahkan masalah-masalah sosial dalam kehidupan nyata. Hots mengajak peserta didik untuk berpikir abstrak sekaligus konkrit, memahami konsep serta mampu mengaktualisasikannya.
Berakhirnya masa pemerintahan Kabinet Indonesia Maju pimpinan Jokowi ikut mempengaruhi tingkat kepopuleran hots. Pamor hots pelan-pelan mulai memudar, sudah tidak se-"hot" ketika Nadiem Makarim masih menakhodai Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Keampuhan hots bahkan belum sempat di evaluasi, namun harus segera ditinggalkan dan berakhir. Mengapa? Juragan baru kementerian yang menangani pendidikan dasar dan menengah, Prof. Abdul Mu'ti tengah menawarkan pendekatan baru yang disebutnya deep learning. Rencananya, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah akan memasukkan pendekatan ini ke dalam kurikulum. Apa sebenarnya deep learning itu?
Secara konseptual, deep learning mendorong siswa untuk tidak hanya memahami informasi, tetapi juga mengaitkannya secara lebih mendalam, yang berujung pada pemahaman yang lebih holistik. Deep learning memberikan pengaruh positif terhadap perkembangan belajar serta sosial-emosional siswa. Pembelajaran mendalam merupakan pendekatan yang menekankan pada penciptaan suasana belajar dan proses pembelajaran berkesadaran (mindful), bermakna (meaningful), dan menggembirakan (joyful) melalui olah pikir (intelektual), olah hati (etika), olah rasa (estetika), dan olah raga (kinestetik) secara holistik dan terpadu. Deep learning bukan sekadar metode untuk meningkatkan pemahaman siswa, melainkan sebuah pendekatan untuk mengubah cara belajar menjadi lebih aktif, kolaboratif, dan mendalam.
Berbeda dengan pembelajaran tradisional yang lebih menekankan pada hafalan dan pengulangan informasi, deep learning mengajak siswa untuk menggali lebih dalam tentang materi pelajaran, mengaitkan konsep-konsep yang dipelajari, dan menerapkannya dalam situasi nyata. Metode ini berfokus pada pengembangan keterampilan berpikir kritis, kemampuan analisis, dan kreativitas, dengan tujuan menciptakan pemahaman yang lebih holistik. Dengan pendekatan ini, siswa tidak hanya menerima informasi, tetapi juga aktif dalam membangun pengetahuan melalui berbagai pengalaman belajar yang memacu mereka untuk berpikir secara mandiri dan bekerja sama.
      Ada tiga prinsip deep learning, yaitu; meaningful learning, mindful learning, dan joyful learning. Ketiga prinsip ini bekerja bersama-sama untuk menciptakan pengalaman belajar yang lebih mendalam, relevan, dan mampu memotivasi siswa untuk terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran (https://www.panduanmengajar.com/2025). Meaningful learning adalah pembelajaran yang bermakna, yaitu pendekatan yang menekankan pentingnya keterkaitan antara pengetahuan baru dengan pengalaman atau pengetahuan yang sudah dimiliki siswa sebelumnya. Siswa tidak dipandang sebagai kertas kosong sebagaimana teori tabularasa, tetapi individu yang memiliki pengetahuan dan pengalaman. Tujuannya agar siswa dapat melihat bagaimana materi yang dipelajari relevan dengan kehidupan nyata, sehingga pembelajaran lebih mudah dipahami dan signifikan.
Mindful learning adalah pembelajaran yang penuh perhatian. Pendekatan ini menuntut peserta didik terlibat sepenuhnya dalam proses belajar dengan perhatian yang utuh. Sehingga pembelajaran ini menekankan pada proses sekaligus hasil akhir. Dalam mindful learning, peserta didik diwajibkan untuk fokus, melibatkan diri dalam proses secara mental dan emosional, serta memberi perhatian penuh terhadap materi yang sedang dipelajari. Pembelajaran ini mengajarkan pentingnya kesadaran dan refleksi dalam belajar.
Adapun joyful learning adalah pembelajaran yang menyenangkan, bertujuan untuk menciptakan pengalaman belajar yang menyenangkan bagi peserta didik. Dengan situasi yang menyenangkan diharapkan akan muncul tanggapan yang positif serta motivasi yang tinggi dalam pembelajaran. Dalam pendekatan ini, peserta didik semakin senang dalam belajar, akan selalu rindu dengan suasana ruang kelas, tidak ada rasa takut, serta berkolaborasi dan terlibat aktif dalam pembelajaran. Joyful learning melibatkan interaksi aktif pendidik dan peserta didik, eksploratif, serta kolaboratif dalam suasana belajar yang menyenangkan.
Mana yang ampuh untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, hots atau deep? Jika hots menawarkan kemampuan berpikir tingkat tinggi, maka deep menawarkan kemampuan berpikir yang lebih mendalam. Berbeda dalam istilah tetapi substansinya sama. Keduanya juga menawarkan pembelajaran yang lebih enjoy, kolaboratif, serta kemampuan mengaktualisasikan konsep-konsep dengan kehidupan nyata. Pembelajaran hots belum dilakukan evaluasi sehingga dampaknya belum terukur. Deep juga belum ada kesimpulan karena baru wacana. Dengan demikian, hots atau deep pada intinya sama saja. Yang membedakan hanyalah nasib, bahwa hots akan segera berakhir untuk digantikan oleh deep. Jika R.A Kartini memberi judul bukunya dengan "habis gelap terbitlah terang", maka situasi ini dapat kita istilahkan dengan "habis hots terbitlah deep. Semoga dengan dimasukannya pembelajaran deep dalam kurikulum, kualitas pembelajaran semakin membaik. Wallahu 'alam bish-shawab.