Mengawali tahun baru 2025, sekolah tengah bersiap-siap untuk implementasi program makan bergizi gratis. Rencananya, program ini akan diberikan kepada sekitar 82,9 juta orang. Penerima akan mendapatkan bantuan gizi berupa makanan dan susu gratis untuk menciptakan generasi sehat, cerdas dan terampil serta produktif dan berdaya saing. Suatu program yang sudah diwacanakan semenjak masa kampanye oleh presiden terpilih, Prabowo Subianto. Nampaknya, presiden terpilih hendak membuktikan bahwa program ini bukan iming-iming belaka, bukanlah omon-omon. Sehingga program ini ditempatkan sebagai agenda prioritas dan harus segera terealisasi dalam program 100 hari kerja. Apa yang mendasari program makan siang gratis dan bagaimana implementasinya di sekolah?
Urgensi Program Makan Siang Gratis
Dalam buku Paradoks Indonesia dan Solusinya (2023:101-104) Prabowo Subianto yang saat itu adalah calon presiden menguraikan empat persoalan penting yang dianggapnya sebagai paradoks dalam pengembangan sumber daya manusia. Pertama, rendahnya kualitas SDM Indonesia. Indikatornya adalah 50 juta orang atau hampir 40% angkatan kerja Indonesia (di atas 15 tahun) hanya menamatkan Sekolah Dasar, 23 juta orang menamatkan Sekolah Menegah Pertama dan hanya 12 juta dari 128 juta angkatan kerja di Indonesia telah menyelesaikan kuliah (BPS, 2020). Kedua, rendahnya kualitas pendidikan Indonesia, indikatornya adalah kemampuan membaca, matematika dan sains anak Indonesia ranking 74 dari 79 negara di survei PISA tahun 2018. Survei PISA Â merupakan indikator kualitas pendidikan di negara maju. Saat ini pelajar Indonesia 'underperform' di kemampuan berbahasa, matematika dan sains. 'Underperform' dalam berbahasa artinya pelajar tidak menemukan gagasan utama dalam teks. Dalam matematika, artinya pelajar tidak menguasai teori-teori dasar dan tidak mampu menjelaskan hasil kalkulasinya. Dalam sains, artinya pemahaman ilmu pengetahuan yang dimiliki pelajar terbatas sehingga hanya dapat diaplikasikan di situasi yang familiar atau telah diketahui (Programme for International Student Assesment, 2019).
Ketiga, rendahnya kualitas infrastruktur pendidikan. Indikatornya adalah 2 dari 3 ruang kelas rusak. 72% ruang kelas SD, 65% ruang kelas SMP, dan 55% ruang kelas SMA dalam kondisi rusak (Kemendikbud, 2019). Kondisi ruang kelas yang rusak sangat menghambat kegiatan belajar mengajar dan prestasi belajar. Keempat, kualitas gizi SDM Indonesia masih di bawah standar. Fakta menunjukkan bahwa 27% anak Indonesia mengalami gagal tumbuh (stunting) karena gizi buruk. Konsumsi buah dan sayuran orang Indonesia baru 180 gram per hari, jauh di bawah standar WHO 400 gram per hari (SEAFAST Center IPB, 2018). Alhasil, nilai Indonesia di Indeks Kelaparan Global (GHI) adalah 21,9 atau salah satu yang tertinggi di dunia, setara dengan Kamerun dan Namibia yang jauh lebih miskin dari Indonesia (Kementerian Kesehatan, 2020; Global Hunger Index, 2020).
Keempat persoalan tersebut mempunyai nilai urgensi yang sama. Kualitas sumber daya manusia perlu segera dibenahi. Demikian halnya dengan kualitas pendidikan, kualitas infrastruktur pendidikan, serta kualitas gizi SDM Indonesia. Keempat paradoks tersebut saling berkaitan sehingga mengabaikan salah satu akan berefek pada tiga persoalan lainnya. Namun nampaknya, Prabowo Subianto memandang bahwa persoalan mendesak dari keempat paradoks tersebut adalah rendahnya kualitasnya gizi SDM Indonesia. Gizi buruk akan berakibat pada rendahnya kualitas SDM serta rendahnya kualitas pendidikan. Adapun kualitas infrastruktur pendidikan tetap menjadi prioritas tetapi bisa beriringan dengan perbaikan kualitas gizi. Bisa jadi, inilah alasan mengapa program makan bergizi gratis menjadi prioritas. Makan bergizi gratis adalah solusi atas rendahnya kualitas gizi anak Indonesia, solusi mengatasi stunting, sekaligus menapaki jalan perbaikan kualitas pendidikan dan SDM Indonesia.
Bagaimana Implementasinya di Sekolah?
Pertanyaan ini mewakili sekian banyak pertanyaan warga sekolah. Bagi warga sekolah, hadirnya program makan siang gratis adalah peluang untuk mengembangkan berbagai program intra maupun ekstra kurikuler yang inovatif untuk pengembangan kualitas peserta didik. Sekolah tidak akan khawatir lagi dengan kondisi fisik siswa karena ada pemberian makanan gratis di sekolah. Sekolah juga tidak khawatir dengan ketersediaan anggaran karena sudah pasti akan disiapkan oleh pemerintah. Yang dipertanyakan oleh banyak pihak adalah teknis pemberian, apakah oleh pihak sekolah atau pihak luar sekolah?
      Jika pemberian makan siang gratis dikelola oleh sekolah maka skemanya dapat diikutsertakan dalam dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Anggaran makan siang gratis dimasukan dalam bantuan operasional sekolah dengan akun tersendiri. Jumlah anggaran yang dialokasikan disesuaikan dengan jumlah siswa masing-masing sekolah. Tetapi standar biaya harus dibedakan sesuai kebutuhan masing-masing daerah. Misalnya; jika di daerah Jawa cukup dengan alokasi anggaran Rp. 15.000/siswa, maka di daerah Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara dan Papua akan berbeda sesuai dengan kebutuhan bahan pokok di daerah-daerah tersebut. Karena anggaran Rp.15.000/siswa belum memenuhi standar makanan bergizi untuk daerah Papua. Keuntungannya jika anggaran makan bergizi gratis disertakan dalam dana BOS, sekolah dapat menyerahkan pengelolaan kepada pihak ketiga melalu mekanisme LS (langsung). Sekolah tinggal memperketat pengawasan dalam pendistribusian, pemenuhan gizi, dan jenis serta kualitas makanan. Sekolah tidak perlu terlibat dalam pengelolaan makanan, selain bukan ahlinya juga akan menyita banyak waktu. Konsekuensinya, mekanisme pengelolaan anggaran makan bergizi gratis harus disertakan dalam juknis BOS sebagai acuan.
      Jika dikelola oleh pihak ketiga atau pihak luar sekolah, maka skemanya dapat disertakan dalam anggaran operasional dinas pendidikan kabupaten/kota. Dinas pendidikan kabupaten/kota yang mengelola anggaran tersebut dan bertanggung jawab hingga penyaluran makanan bergizi di sekolah. Satuan pendidikan tinggal menerima sesuai waktu yang telah disepakati antara kedua belah pihak. Untuk memudahkan penyiapan makan siang gratis, pihak dinas pendidikan kabupaten/kota dapat menunjuk penyedia (tender/penunjukkan langsung). Dengan skema ini, diperlukan petunjuk teknis pengelolaan (sebagaimana juknis BOS) agar anggaran yang tidak sedikit itu dikelola dengan baik. Dapat juga menggunakan skema lain, yaitu diserahkan kepada pihak swasta seperti BUMN, BUMD, LSM, dan lain sebagainya. Sekolah tinggal menerima makanan jadi sesuai jumlah siswa. Namun skema ini sulit dikontrol pada aspek kesesuaian menu yang disiapkan dengan besaran alokasi anggaran. Jumlah anggaran diserahkan langsung oleh pemerintah kepada pihak ketiga, tanpa melibatkan satuan pendidikan atau dinas pendidikan setempat.
      Akhirnya, sekolah kini sedang menanti realisasi janji "makan bergizi gratis". Skema apapun yang dipilih dalam pengelolaan anggaran, tidak jadi soal bagi sekolah. Warga sekolah senang bahkan tidak sabar menanti program tersebut. Bagi mereka, makan bergizi gratis di sekolah bukan sekedar ikhtiar memberbaiki gizi peserta didik. Makan bergizi gratis di sekolah berarti menjadikan sekolah sebagai tempat tamasya atau rekreasi dalam suasana yang mendidik. Makan bergizi gratis adalah ikhtiar meningkatkan kualitas sumber daya manusia dengan pendekatan yang lebih manusiawi, upaya memanusiakan peserta didik. Bisa jadi, inspirasi program ini adalah teori "pendidikan untuk orang tertindas" ala Paulo Freire. Peserta didik dipandang sebagai "komunitas tertindas", dipaksa untuk belajar tetapi asupan gizinya tidak dipenuhi. Maka kali ini negara hadir untuk membebaskan siswa dari ketertindasan, agar terbebas dari belenggu asupan gizi buruk. Semoga makan bergizi gratis segera terealisasi, dan semoga kualitas SDM Indonesia semakin unggul dan kompetitif. Wallahu a'lam bish-shawab
Numana, 04 Januari 2025