pada institusi lain bisa jadi lebih banyak dan lebih parah. Namun korupsi di Kementerian Agama mempunyai nuansa yang berbeda. Institusi ini dihadirkan untuk mengurus moral bangsa sehingga ironis jika terjadi perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai moral. Kementerian Agama sejatinya menjadi teladan bagi lembaga/kementerian lain dalam urusan ini. Di saat lembaga lain hanyut dan lupa maka semestinya Kementerian Agama tidak hanyut dan menjadi pengingat; di saat orang-orang larut dan nyenyak dengan kekuasaan, maka sejatinya orang-orang di Kementerian Agama yang mengigatkan dan memberikan wejangan serta penyadaran agar tidak melakukan korupsi. Suatu perbuatan yang merugikan negara, merugikan masyarakat, serta bertentangan dengan ajaran agama.
Salah satu institusi kementerian yang selalu mendapat sorotan kamera adalah Kementerian Agama. Penyebabnya satu, ada kasus korupsi. Korupsi di Kementerian Agama memang seksi sehingga mendapatkan perhatian khusus, bukan hanya dari kaum pewarta, tetapi juga oleh masyarakat umum. Kementerian Agama itu seperti kertas putih, noda sedikit saja langsung kelihatan. Sebenarnya, kasus serupa di negeri ini banyak, bukan hanya di Kementerian Agama. BahkanSejak dibentuknya Kabinet Merah Putih dan dipercaya oleh Presiden Prabowo Subianto menjadi Menteri Agama, ekspektasi masyarakat terhadap perbaikan Kementerian Agama melambung tinggi. Masyarakat percaya bahwa menteri baru, Prof. Dr. Nasaruddin Umar akan mampu memperbaiki citra Kementerian Agama. Di pundak Prof. Nasar, masyarakat berharap agar sistem kerja di kementerian “ikhlas beramal” itu semakin baik. Mengapa harapan itu diletakkan di pundak Prof Nasar?
Alasan Personal
Secara personal, tidak ada yang meragukan pengetahuan dan kompetensi yang dimiliki Nasaruddin Umar dalam menakhodai Kementerian Agama. Beliau pernah mondok, mengikuti pendidikan di pesantren, lalu melanjutkan pendidikan sarjana di fakultas Syariah IAIN (sekarang UIN) Alauddin Makassar. Kemudian melanjutkan studi pascasarjana di IAIN (sekarang UIN) Jakarta dan mendapatkan gelar Magister pada 1992 serta serta meraih gelar doktor pada 1998 di bidang kajian Al-Qur’an dan Tafsir. Selama mengikuti studi doktoral, beliau sempat menjadi salah satu mahasiswa yang menjalani Program Ph.D di Universitas McGill, Montreal, Kanada pada 1993-1994. Bukan hanya di Kanada, beliau juga pernah menjalani Program Ph.D di Universitas Leiden, Belanda pada 1994-1995. Setelah menyelesaikan program doktoralnya, ia pernah menjadi sarjana tamu di Sophia University, Tokyo pada 2001, sarjana tamu di SOAS University of London pada 2001-2002, serta sarjana tamu di Georgetown University, Washington DC pada 2003-2004. Beliau telah menulis banyak buku yang diantaranya Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Quran (Paramadina, 1999). Isinya yang menjabarkan hasil penelitian mengenai bias gender dalam Quran (https://wikipedia.org).
Di antara sekian banyak buku yang pernah ditulis beliau, saya hanya mengoleksi beberapa saja; Ulumul Qur’an 1, Ulumul Qur’an 2, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur’an dan Hadis, serta Buku Islam dan Terorisme (Kumpulan Khutbah Jumat) yang beliau editori. Dari beberapa referensi itulah muncul kekaguman akan kedalaman pengetahuan beliau terutama yang berkaitan dengan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Di negeri ini, banyak sekali ahli agama, namun sedikit yang ahli Al-Qur’an dan Tafsir. Beliau adalah satu dari yang sedikit itu. Keutamaan ahli tafsir dibanding ahli agama pada umunya adalah kemampuan mereka mengungkap makna hakiki (tertulis) sekaligus makna majasi (tersirat) dari setiap teks-teks Al-Qur’an.
Selain rekam jejak pendidikan yang lengkap, pengalaman birokrasi juga tidak kalah. Pernah menjabat sebagai wakil rektor bidang akademik di kampus tempat ia mengajar, pernah menjabat sebagai Dirjen pada Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Wakil Menteri Agama pada 2011-2014, dan juga dipercaya menjadi Imam Besar Masjid Istiglal sejak 2016. Sedangkan pada organisasi sosial dan keagamaan, beliau merupakan pendiri organisasi lintas agama untuk Masyarakat Dialog antar Umat Beragama, anggota dari Tim Penasehat Inggris-Indonesia yang didirikan oleh mantan perdana menteri Inggris, Tony Blair, menjabat sebagai salah satu Rais Pengurus Besar Nahdlatul Ulama masa khidmat 2022-2027, terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat Pondok Pesantren As'adiyah pada Muktamar As'adiyah ke XV di Sengkang tahun 2022, dan lain sebagainya.
Rekam jejak personal yang begitu lengkap, yang jarang dimiliki oleh kebanyakan orang, menjadi alasan kuat mengapa publik menaruh harapan untuk perbaikan kinerja dan citra Kementerian Agama.
Alasan Sosial
Adakah yang tidak mengenal Prof. Nasaruddin Umar? Kalangan akademik, kaum cerdik pandai, birokrat, agamawan, guru, santri, wartawan, kru televisi, majelis taklim, hingga masyarakat biasa, rasa-rasanya semua mengenalnya. Setiap subuh wajahnya wara-wiri menghiasi media televisi mengisi kajian keislaman. Demikian halnya ketika ramadhan tiba, berbagai acara keagamaan di televisi selalu ia isi. Kedalaman pengetahuannya dilengkapi dengan kemampuan menyampaikan (tabligh) serta dedikasi dalam pelayanan umat. Inilah yang paling saya kagumi dari beliau. Nama besar, titel yang mentereng, serta pengalaman dan jabatan yang ia punya tidak menjadi penghalang baginya untuk berjumpa ibu-ibu majelis taklim dalam pengajian, atau berjumpa jamaah masjid dengan menjadi khotib jumat. Bandingkan dengan pejabat-pejabat lain yang mulai ogah mengisi kajian di majelis taklim karena gengsi jabatan, atau menghindari jadwal khotib dengan alasan tugas luar. Prof. Nasaruddin tidak begitu, beliau selalu berkesempatan mengisi jadwal pengajian dan khotib jumat sesibuk apapun. Bahkan ketika menjadi warek, dirjen hingga Wakil Menteri Agama, selalu meluangkan waktu untuk mengisi pengajian.
Di kampung halamannya, di tanah Bugis, beliau dipanggil Anre Gurutta. Gelar yang tidak sembarang diberikan kepada seseorang. Gelar ini hanya diberikan kepada alim ulama yang diakui keilmuannya. Tidak banyak orang yang mendaatkan gelar ini, Prof. Nasarudin adalah satu diantaranya. Beliau disandingkan dengan Anre Gurutta Haji Muhammad Sanusi Baco, Rais Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Sulawesi Selatan, dan Anre Gurutta Haji (AGH) Daud Ismail yang juga pejuang dakwah islamiyah di tanah Bugis. Pemberian gelar Anre Gurutta bukanlah pemberian gelar akademik, melainkan pengakuan yang diberikan masyarakat atas ketinggian ilmu, pengabdian dan jasanya dalam dakwah keislaman.
Di tanah Jawa, tempat ia mengabdi, beliau diberi gelar kiai. Suatu gelar yang kurang lebih sama dengan gelar sebelumnya. Artinya, pengakuan atas keilmuan, pengabdian dan jasanya dalam keagamaan tidak hanya diakui oleh orang sekampungnya, tetapi juga diakui oleh masyarakat Indonesia. Bagi saya, pemberian gelar semacam anre gurutta dan kiai, bukan sekedar sebagai pengakuan sosial. Bukan hanya bentuk pengakuan atas ketinggian ilmu, keluhuran budi, dan dedikasi dalam menyampaikan pesan-pesan keagamaan. Tetapi merupakan frame agar figur kharismatik yang dikagumi itu terjaga dari fitnah dan dosa, agar terlindungi dari godaan duniawi