Mohon tunggu...
LA RUDI WAKATOBI
LA RUDI WAKATOBI Mohon Tunggu... Guru - JFT Perencana

La Rudi Wakatobi, lahir di Wakatobi pada tanggal 15 April 1978. Bekerja sebagai ASN pada Kantor Kementerian Agama Kabupaten Wakatobi. Selain tugas pokok sebagai ASN, juga sering mengisi waktu untuk menulis berbagai tema terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah pendidikan, sosial-budaya, dan keagamaan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menanti Tahun Baru 2025: Sebuah Refleksi

1 Januari 2025   07:15 Diperbarui: 1 Januari 2025   06:11 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Jam memasuki tahun 2025 (Sumber: istockphoto.com)

Pada sekitar tahun 2000-an ketika masih menjadi mahasiswa di STAIN (sekarang IAIN) Kendari, sempat membaca buku yang dikarang oleh Ali Syari’ati dengan judul Islam Agama “Protes”. Buku tersebut tergolong tipis bila dibandingkan dengan buku bacaan di perguruan tinggi pada umumnya, tetapi justru karena tipis dan dikarang oleh salah seorang akademisi yang banyak mengambil peran dalam suksesnya revolusi Iran, maka jadilah buku itu banyak diminati mahasiswa terutama dari kalangan yang berlabel “aktivis”. Bagi saya, yang menarik dari isi buku tersebut adalah ketika sang author, menguraikan “paradigma penantian”. Menurut Ali Syari’ati, menanti adalah peristiwa sosio-kultural yang akan senantiasa dihadapi oleh manusia. Menanti adalah takdir yang akan di alami oleh siapapun, kapan dan dimana saja ia berada, dan proses itu berjalan secara terus-menerus seiring dengan berjalannya waktu. Penulis  menguraikan, bahwa “ketika di waktu pagi, manusia sebenarnya menanti, yaitu menanti datangnya siang, ketika di waktu siang juga menanti datangnya sore. Ketika berada di waktu malam, maka manusia sebenarnya menanti, yaitu menanti datangnya pagi. Ketika sedang sakit, sesunggunya manusia sedang menanti datangnya sehat, ketika sibuk , juga menanti datangnya waktu senggang, ketika muda, maka ia sedang menanti datangnya waktu tua, dan seterusnya. Proses ini berjalan secara alamiah dan dialami oleh setiap orang. Aspek yang akan membedakan adalah bagaimana ia menyikapi masa-masa penantian itu, apakah dapat menyikapinya secara positif atau sebaliknya. Apakah kita dapat mengisinya untuk menghadirkan perubahan atau justru pasrah menerima suratan takdir. Pada konteks ini, konsep al’amru bil-ma’ruf wannahyu’anil-mun’kar, menyerukan kebaikan dan mencegah kerusakan menjadi sangat relevan.

Dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa “sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya siang dalan malam terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal”. “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (QS: Ali Imran, 190-191). Ayat ini sangat menarik karena, Tuhan mengingatkan manusia tentang ‘penciptaan langit dan bumi’ serta proses silih bergantinya ‘siang dan malam’. Bahwa dibalik penciptaan tersebut terdapat bahan kajian dan renungan, dan yang mampu melakukannya adalah mereka yang menggunakan akal pikirannya guna memahami hakikat penciptaan alam semesta.

Dalam kajian-kajian kosmologi, langit dilihat sebagai sumber dari apa yang telah diturunkan Tuhan ke bumi dan kepada manusia, misalnya air, dan bahan makanan. Secara kualitatif, langit itu tinggi, aktif, dan kreatif, sedangkan bumi itu rendah, reseptif, dan subur (Murata, 2000: 174). Langit seringkali dihubungkan dengan laki-laki, bapak, dan maskulinitas, sedangkan bumi dihubungkan dengan perempuan, ibu, dan feminitas. Aspek keseimbangan mengenai penciptaan langit dan bumi, siang dan malam, laki-laki dan perempuan, bapak dan ibu, mempunyai “kemiripan” dengan konsep Ying dan Yang dalam ajaran Taoisme (Baca The Tao of Islam; Sachiko Murata). Demikian halnya siang dan malam, siang berhubungan dengan terang, cahaya, aktif, sedangkan malam berhubungan dengan gelap, kelam, pasif, dan sebagainya. Langit dan bumi mempunyai hubungan dengan siang dan malam, dan dengan demikian juga berhubungan dengan waktu, mulai dari detik, menit, jam, hari, bulan hingga tahun. Bisa jadi kita sudah pernah renungkan, atau mungkin belum sama sekali, bahwa “apa yang akan terjadi jika tidak ada siang atau tidak ada malam”, jika tidak ada pergeseran waktu, apakah masih akan ada pergantian tahun? Karena kesempurnaannya, Tuhan lalu menciptakan langit dan bumi, dilengkapi dengan hadirnya siang dan malam secara bergantian, lalu terjadilah pergeseran waktu setiap saat, yang menjadikan tahun terus berganti.

Kini, masyarakat sedang dalam penantian datangnya Tahun 2025. Segala persiapan telah dimatangkan guna menyambutnya. Mulai dari mendatangi kota atau kembali ke desa, menyiapkan makanan khas, memborong jutaan kembang api, membeli trompet yang siap ditiup sekuat-kuatnya memasuki pergantian tahun, mengundang artis ibu kota, dan lain sebagainya. Yang nampak dari semua persiapan tersebut adalah seremoni, dan bahkan euphoria. Kita bergembira karena telah diberikan umur yang panjang, rezki yang melimpah, kedudukan yang tinggi, pengaruh yang luar biasa, harta yang banyak, atau keluarga yang harmonis seiring dengan bertambahnya tahun. Lalu kita lupa bahwa sebenarnya hidup kita, dalam pergantian waktu setiap saat hanyalah berada dalam ruang “penantian”. Saat ini sehat, suatu saat pasti sakit, hari ini muda dan kuat, suatu saat pasti akan tua dan renta, hari ini berkedudukan, esok pasti non job atau pensiun, hari ini kelebihan, suatu waktu akan kekurangan, hari ini powerful besok powerless, hari ini strongest, esok strongless, hari ini tersenyum ceria karena kelahiran, tapi suatu saat akan menangis sedih karena kematian. Apakah kita mampu menghindar dari menanti semua itu? Tentu tidak, karena itu sudah menjadi takdir, yang dalam bahasa Ali Syari’ati sebagai peristiwa sosio-kultural.

Mungkin akan lebih baik, sembari menyiapkan seremoni perayaan pergantian tahun 2025, kita merenungkan perjalanan hidup ini. Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa “orang yang beruntung adalah orang yang hari ini lebih baik daripada hari kemarin, dan hari esok lebih baik dari pada hari ini”. Apa yang telah dilakukan di ‘hari kemarin’, apa yang sudah kita lakukan di ‘hari ini’, dan apa yang akan kita lakukan di ‘hari esok’, semuanya tergantung pada kita sendiri. Yang pasti bahwa, “demi masa. Sesunggunya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman yang mengerjakan amal shaleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan menetapi kesabaran” (Qs Al-Ashr; 1-3). Semoga di tahun 2025 serta tahun-tahun selanjutnya, kita dapat merubah diri menjadi lebih baik lagi dalam segala hal. Wallahu a’lam bish-shawab 

Numana, 30 Desember 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun