Hari ini merupakan puncak gegap-gempita pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Boleh jadi, inilah pilkada yang paling menyedot perhatian publik, bukan hanya lokal melainkan nasional. Sejak proses awal sampai dengan pelantikannya terkesan begitu hiruk pikuk. Meminjam istilah Budayawan Ridwan Saidi, kampanye Jokowi bernuansa mengharubiru ala Bolywood. Pelantikannya pun, boleh jadi menjadi pelantikan paling spektakuler, mengingat disiarkan langsung secara live oleh beberapa stasiun televisi nasional.
Fenomena itu tentunya tidak terlepas dari posisi strategis Jakarta sebagai ibukota negara. Kota ini merupakan pakubumi Indonesia. Yang pasti, itu semua menunjukkan antusiasme publik yang begitu tinggi terhadap Jokowi. Otomatis, euforia dan ekspektasi masyarakat Jakarta terhadap mantan Walikota Solo melambung tak terbendung.
Sejak awal, pengusaha meubel dan pasangannya Ahok, berusaha menjaga ritme kemesraan publik itu. Mereka langsung menyatakan akan bekerja dengan kecepatan tinggi. Keduanya paham, karakter publik Jakarta dikenal tidak sabaran, banyak menuntut dan ceriwis.
Hari pelantikan keduanya sebagai gubernur dan wakil gubernur merupakan titik awal countdown, apakah kemesraan itu akan langgeng atau segera berlalu. Sehari sesudah pelantikan, ibaratnya Jokowi dan Ahok mulai berada dalam pengawasan teropong publik.
Jakarta dengan segudang masalah dan karakter masyarakatnya yang begitu majemuk, sangatlah mudah berpaling. Dari pro berubah menjadi antipati. Sangat sulit bagi Jokowi untuk mempertahankan dukungan publik bila hanya bersandar pada pencitraan.
Masalah utama Jakarta seperti banjir, kemacetan, kemiskinan dan pelayanan publik adalah masalah yang sangat kompleks. Mengingat pada dasarnya dalam mengatasinya membutuhkan konsep terpadu dan dukungan dari semua stakeholders. Dalam hal ini termasuk peran aktif dari masyarakat dan jajaran birokrasi pemerintah provinsi.
Misanya, sangat sulit untuk menciptakan Jakarta yang rapi, bersih dan mengurangi penyebab banjir, bila masyarakatnya masih ringan tangan membuang sampah sembarangan tanpa rasa bersalah. Bahkan jika diingatkan, jawabannya cukup nyebelin, “emang gue pikirin…”
Belum lagi mengurai keruwetan kaki lima dan parkir yang bersinggungan dengan berbagai pihak yang bersumbu pendek dan mudah meletup. Mengingat, sektor informal ini menjadi salah satu tumpuan sumber ekonomi masyarakat marginal Jakarta. Apalagi, sektor ini juga konon merupakan sumber penghasilan empuk bagi oknum aparat dan penguasa dunia bawah tanah.
Sementara, untuk menangani masalah banjir dan kemacetan pada dasarnya bukan hanya masalah Jakarta. Melainkan juga problematika lintas wilayah dan sektoral. Butuh kegigihan, kuping tebal dan keberanian yang tinggi untuk mengatasinya. Kuncinya ada di integritas Jokwi dan Ahok dalam membuktikan janjinya.
Modal keduanya cukup kuat. Selain dukungan publik yang cukup masif, mereka juga tidak dibebani “hutang budi” yang terlalu banyak kepada pendukung poltiknya. Sehingga, bisa bernafas lebih lega dan tidak terlalu menguras energi untuk membalas budi.
Memang, tidak adil rasanya bila menuntut Gubernur Jakarta yang baru ini dapat segera menuntaskan segudang masalah Jakarta dalam waktu singkat. Jokowi bukan Bandung Bondowoso, yang dengan kesaktiannya bisa membangun seribu candi dalam satu malam.
Selamat bekerja Bang Jokowi dan Bang Ahok, semoga sukses.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H