Reformasi telah bergulir 14 tahun. Demokratisasi telah tumbuh subur di negeri tercinta ini. Tapi, apakah demokrasi telah mencapai wujudnya yang bermartabat? Pertanyaan ini menggelitik muncul setelah menyaksikan begitu hebatnya aksi penolakan rencana kenaikan BBM, yang terjadi nyaris di seluruh Indonesia.
Sepekan terakhir ini, melalui media massa ruang publik dipenuhi oleh aksi unjuk rasa yang begitu massif, meluas dan sayangnya di beberapa daerah sudah mencapai taraf brutal. Tengok saja kejadian di Makassar dan Jakarta. Aksi unjuk rasa mahasiswa bukan hanya sekedar bentrok dengan aparat keamanan saja, namun sudah masuk ke dalam taraf menciptakan situasi kerusuhan.
Bahkan, yang lebih miris lagi, di Ternate publik menyaksikan bagaimana sekelompok pengunjuk rasa memblokade landasan Bandara Babullah. Sementara, sebuah pesawat nampak sudah hampir memasuki tahap final landing. Sebuah pemandangan yang cukup mengerikan. Bagaimana jika pesawat tersebut sedang dalam kondisi darurat dan harus segara mendarat? Tentunya kita akan menyaksikan tragedi yang sangat konyol. Syukur alhamdulillah, pesawat itu bisa dialihkan ke bandara lain.
Tanpa mengurangi rasa hormat atas perjuangan yang begitu luar biasa dari kalangan mahasiswa dan elemen gerakan lainnya, jika akhirnya muncul pula rasa antipati terhadap aksi yang anarkis, bahkan cenderung brutal tersebut.
Beban mental masyarakat yang sudah mulai lelah diombang-ambing tarik ulur antara Pemerintah dan DPR untuk menetapkan kebijakan tersebut, semakin bertambah, dengan disesakinya ruang publik oleh informasi aksi “tawuran” dan kerusuhan tersebut. Belum lagi di hadapan rakyat yang katanya sedang “dibela”, juga dipertontonkan aksi perusakan fasilitas umum dan aset negara yang dirusak dan dibakar. Padahal, kendaraan plat merah itu dibiayai oleh uang rakyat. Bukankah itu tindak kriminal?
Di sisi lain, publik juga menyaksikan bahwa tuntutan penolakan BBM oleh sebagian elemen gerakan, juga bergeser menjadi aksi parlemen jalanan untuk menumbangkan pemerintah yang terpilih secara demokratis. Bukankah ini juga akhirnya mencederai arti demokrasi?
Padahal, harga demokratisasi di negeri ini sangat mahal, karena harus ditebus oleh hilangnya ratusan nyawa rakyat di tahun 1998. Jika tragedi itu harus terulang lagi demi memenuhi syahwat politik segelintir kelompok kepentingan, tentunya akan meruntuhkan bangunan civil society yang mulai terbangun, walaupun belum sempurna.
Harus diakui, pemerintah yang berkuasa saat ini secara politis semakin kehilangan wibawanya, diterpa kasus-kasus hukum yang ditengarai melibatkan beberapa petinggi partai pendukungnya. Belum lagi pola pemerintahan yang ambivalen (presidensial rasa parlementer), akhirnya menimbulkan komplikasi politik dalam menjalankan kekuasaannya.
Demokrasi bermartabat
Menyimak beragam kejadian anarkistis yang menyertai aksi unjuk rasa, menunjukan bahwa demokratisasi sampai saat ini, baru difahami hanya sebatas kebebasan berpendapat tanpa batas. Padahal, dalam pelaksanaan demokrasi juga terkandung nilai pengejawantahan hak dan kewajiban serta mematuhi peraturan hukum.
Praktisnya, ketika ada elemen masyarakat yang menyuarakan hak berpendapatnya dalam bentuk unjuk rasa, juga berkewajiban untuk menghargai anggota masyarakat lainnya yang tidak ikut serta. Bahkan, yang tidak setuju pun harus dihargai.
Dalam konteks ini, sweeping yang dilakukan oleh elemen aksi buruh untuk memaksa rekannya ikut menjadi sangat kontradiktif dengan kebebasan berpendapat tersebut. Padahal, bukan tidak mungkin buruh yang di-sweeping itu tidak setuju, misalnya karena menghadapi resiko kehilangan pekerjaan.
Belum lagi ironi aksi penjarahan tabung oleh mahasiswa dan perusakan gerai fast food, yang tidak ada hubungannya dengan issue kenaikan BBM. Tentunya semakin menjungkirbalikkan arti demokrasi itu sendiri.
Sudah saatnya, elemen gerakan mahasiswa selain menyuarakan nurani rakyat juga mencerdaskan rakyat, dengan gerakan yang cerdas, damai dan menghargai warga masyarakat lainnya. Jangan biarkan tatanan masyarakat madani yang dicita-citakan, akhirnya kandas oleh penyaluran emosi yang tidak terkendali. Demokrasi tidak akan tercipta hanya dengan pemaksaan kehendak, yang dibungkus oleh tekanan tindakan anarkis.
Tragedi kerusuhan massal 1998 menjadi pejalaran mahal bagi bangsa ini, dan tidak sangat patut untuk terulang kembali. Jangan sia-siakan ratusan korban yang telah jatuh untuk menebus kebebasan yang sudah tercipta saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H