Mohon tunggu...
Widya Prabandari
Widya Prabandari Mohon Tunggu... PNS -

Be nice and let's see

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kawan, Lawan, atau Hanya Kenal

18 November 2015   19:13 Diperbarui: 18 November 2015   19:21 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semakin bertambah usia, semakin bertambah pula kewajiban kita. Sewaktu kecil, kita hanya dituntut untuk makan yang banyak sehingga bisa bermain dengan lincah dan tidur nyenyak. Masa sekolah kita dituntut untuk belajar dan berprestasi, alih-alih kita dapat ranking. Sudah bekerja, kita dituntut untuk memenuhi tugas-tugas yang diberikan oleh atasan. Yang sudah berkeluarga, dituntut untuk membahagiakan keluarga, tentunya dengan cara-cara yang benar. Semakin lama, tuntutan yang ditujukan kepada kita pun makin beragam.

Disadari atau tidak, banyaknya kewajiban yang harus dipenuhi dan terbatasnya waktu, terkadang membuat pergaulan kita makin menyempit. Semasa sekolah, kita punya waktu buat nongkrong sama temen. Memasuki kuliah, kita punya kenalan-kenalan baru saat mengikuti kegiatan organisasi. Tibalah saat kerja, pergaulan kita akan semakin menyempit. Pergaulan di kantor, pergaulan di tempat kos, pergaulan di sekitar rumah kontrakan, mungkin yang sudah berkeluarga akan memasuki pergaulan rumah tangga. Sudah itu-itu saja. Mau mengikuti kegiatan-kegiatan lain? Bisa, tetapi secara otomatis akan terbatasi oleh waktu yang harus dibagi-bagi.

Menilik dari pergaulan-pergaulan masa dewasa di atas, sadar nggak kalau terkadang kita menjalin hubungan dengan sesama hanya untuk formalitas, faktor tuntutan karena kita memang harus berinteraksi dengan orang-orang tersebut. Coba kita rasakan, beda kan dengan pergaulan kita semasa sekolah, semasa kuliah, dimana akan sangat jarang sekali terjadi konflik di dalamnya. Saya sendiri terkadang juga gagal paham, kenapa bisa muncul persaingan-persaingan dalam pergaulan dewasa. Mungkin karena satu pihak merasa tidak suka dengan pihak lain, akhirnya mempengaruhi orang lain untuk ikut membenci si pihak yang tidak disukai tersebut.
Bahkan karena jarang berkomunikasi saja, dalam suatu pergaulan dewasa itu bisa menimbulkan konflik. Berbeda dengan jaman sekolah dan kuliah, saya ingat mempunyai teman-teman yang sampai saat ini kita masih sering berkomunikasi, bahkan di antara kita sampai menganggap bahwa kita adalah saudara selamanya sampai ajal memisahkan, ceilee. Yah, tapi memang seperti itulah ‘kita’, berkawan dengan tulus tanpa ada embel-embel tuntutan, formalitas, dan profesionalitas.

Faktor lain yang membuat persahabatan kita awet adalah adanya kecenderungan dari setiap manusia untuk mencari kawan dengan kepribadian yang hampir mirip dengan kepribadian yang kita miliki, setuju gak? Semisal kalian orang yang frontal, suka konflik, kalian tidak akan mungkin bisa bersatu secara tulus dengan orang yang kalem, yang tidak terlalu suka konflik. Mungkin kalian sekedar ‘berteman’, akan tetapi tidak ada niatan dari dalam diri kalian untuk berteman secara mendarah daging, lumer, melt, halah pokoknya seperti itulah, tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Contoh lagi: kamu orang yang enerjik, gerak cepat, akan sangat sukar jika harus menjalin hubungan dengan orang yang lambat, lemot, klelar-kleler, dsb. Hubungan yang berbeda antara langit dan bumi tersebut, dijamin tidak akan sampai dalam tingkat ke-melted-annya. Apalah itu, pokoknya kalian bahasakan sendiri :D

Saya akan menceritakan sekelumit kisah nyata yang pernah saya alami sendiri. Sewaktu sekolah, saya mempunyai teman dimana hubungan kami lumayan dekat. Seiring waktu, saya menemukan beberapa teman yang saya rasa nyambung dengan saya, bertemanlah kita. Nah, sepertinya si teman lama saya yang satu ini, merasa bahwa dia mulai diabaikan, atau bisa dikatakan kurang suka jika saya menemukan teman-teman baru. Akhirnya usailah sudah pertemanan kita. Tidak marahan sih, hanya kami sudah mulai menganggap bahwa kami teman biasa dan bukan sobat kental, seperti istilah orang jaman dulu. Fine, no problem, karena dia pun sudah mulai menemukan teman-teman baru. Kalau istilah jaman anak sekolahan adalah nge-geng. Dan setelah ditilik lebih lanjut, terlihat bahwa geng kita masing-masing hampir menyerupai kepribadian kita.

Dari sedikit paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa semakin kita dewasa, semakin kompleks juga cara kita dalam memilih teman. Bukan berarti pilih-pilih teman lho ya. Kita akan mulai memilih teman dimana kita bisa nyaman dalam pergaulan tersebut, merasa menjadi diri kita seutuhnya dan apa adanya, dan bukan malah membuat kita berubah kepribadian. Intinya comfort.

Nah, menyoal hal tersebut dan membandingkan dengan kehidupan luar negeri yang cukup liberalis individualis, kita jadi mulai bisa memisahkan nih mana yang kawan (yang bisa membuat kamu melted-plong-comfort luar dalam ketika bersama mereka), lawan (pihak yang bertentangan dengan kita), atau sekedar tahu dan kenal (biasanya terjadi pada hubungan profesional atau di tempat kerja). Kenapa saya kaitkan dengan kehidupan di negara barat? Ya, karena prinsip berteman di negara barat seperti itu. Walaupun kita tinggal di negara timur, akan tetapi dalam perenungan terkadang prinsip berteman ala barat itu benar juga ya. Saya cuplikkan salah satu adegan di sebuah film:
Ceritanya dua keluarga ini bertetangga, yang satu janda beranak dua, dan yang satu lagi adalah duda beranak dua. Kalau di negara timur, misal sudah bertetangga pasti sering ketemu dong, menyapa, ngobrol basi-basi, dan itu pastinya dianggap berteman. Namun dalam cerita ini, salah satu anak dari sang janda tidak menyukai sang duda. Lalu muncullah obrolan antara sang anak janda dengan Ibunya ketika di dapur.
Anak: “Aku tidak suka dengan X” (menyebut sang duda)
Janda: “Tapi aku menyukainya karena dia baik, tegas, dan bertindak benar”
Anak: “Apakah kau berteman dengannya?”
Janda: “Ya, tentu saja. Aku berteman dengannya?”
Nah, dari percakapan di atas, kita dapat sedikit memahami tipe hubungan di negara barat itu bahwa bergaul setiap hari, saling ngobrol setiap hari bisa dianggap ‘hanya kenal’ dan ‘bukan teman’.

Dalam psikologi pun dijelaskan bahwa manusia mempunyai kecenderungan untuk membentuk komunitas dimana komunitas itu memiliki sedikit banyak kesamaan.

Jadi nilai yang dapat kita ambil dari pembahasan ngalor-ngidul di atas adalah:
1. Jangan terlalu bergantung pada manusia, karena bisa jadi dalam jangka panjang manusia itu tidak lagi menjadi orang yang benar-benar kamu kenal.
2. Bergantung dan berharaplah hanya kepada Allah SWT.
3. Jangan memaksakan suatu komunitas itu akan tetap sifatnya seperti awal mulanya jika memang tidak ada budaya atau kemiripan yang kuat di dalamnya. Ketika komunitas itu berubah, yang perlu kita lakukan hanyalah bersikap fleksibel, menyesuaikan dengan keadaan, tidak banyak menuntut, tetap menjaga prinsip diri kita, dan belajar memahami bahwa sesuatu memang pasti akan berubah dan tidak ada yang abadi.
4. Ketika suatu komunitas sudah bubar, sebagai seorang individu, yang perlu kita lakukan adalah let it go, jika memang kita sudah merasa uncomfort, unsecure, dan un un lainnya.

Relationship yang paling kuat adalah keluarga karena keluarga adalah komunitas yang selalu mampu menerima kelebihan dan kekurangan kita. Hanya sedikit relationship dengan orang lain yang akan membentuk ikatan yang benar benar dan benar seperti keluarga. Dulu tidak kenal, sekarang tidak kenal lagi tidak masalah, tetapi apabila dengan anggota keluarga, mana mungkin bisa bersikap seperti itu. Tentu tidak bisa kan. Maka selalu sayangilah keluargamu, sayangilah teman-teman yang benar-benar bisa menjadi keluargamu. Dan mulai sekarang bisa coba dicek, mana yang benar-benar kawanmu (keluargamu), lawanmu, atau yang hanya sekedar kenal dengan kamu tidak lebih itu. :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun