[gambar: uang dinar dan dirham. tautan sumber pada akhir artikel]
Dewasa ini, kita tak dapat mengelak lagi dari sebuah kenyataan yang berlaku secara global bahwa penggunaan uang kartal—atau uang sah sebagai alat pembayaran yang diterbitkan otoritas Bank Indonesia telah mengalami transformasi ke berbagai bentuk karena perkembangan dan kebutuhan masyarakat akan nilai uang itu sendiri.
Uang kartal sendiri diterbitkan oleh pemerintahan yang berkuasa beberapa tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia hingga akhirnya, negara baru yang sedang belajar beradministrasi secara baik ini mengalihkan wewenang ini ke Bank Indonesia. Bank Indonesia (BI) ditetapkan mempunyai hak tunggal (hak oktroi) untuk membuat dan mencetak mata uang rupiah yang sah sebagai alat tukar di Indonesia—seperti yang tercantum dalam Undang-undang Bank Sentral No. 13 Tahun 1968 Pasal 26 ayat 1.
Sampai hari ini, apa yang tercantum dalam UU tersebut masih berlaku. Kita pun masih mendapati uang kartal dalam bentuk tunai cetak atau logam ini dalam keseharian kita, baik di pasar tradisional, atau mall dan berbagai tempat lain tempat kita bertransaksi. Bahkan sewaktu kita masuk ke dalam bank umum, kita masih saja menjumpai ada orang yang membawa ratusan juta dalam bentuk uang kertas ratusan lembar yang digunakan untuk kebutuhan tertentu, pembayaran gaji karyawan misalnya. Tapi bila dirunut dan ditelusuri ke belakang, uang kertas ini pun masih lebih ringan dibawa ketimbang bongkahan kerang yang digunakan dan disetujui bersama sebagai alat pembayaran pada zaman manusia purba setelah era barter—yang ternyata hingga masa modern saat ini pun masih kerap dijumpai. Sebuah gambaran yang memperlihatkan bahwa sejarah uang ini sangatlah panjang [ tautan ].
Saat ini, fungsi sebagai alat pembayaran yang utama masih juga disandang oleh uang kartal atau tunai karena banyak penjual pun tak seluruhnya menerima uang elektronik, e-money, kartu debit dan sejenisnya. Akibatnya, perputaran uang tunai dalam arti sesungguhnya sangat tinggi. Menurut data BI, kecenderungan untuk menggunakan mata uang tunai dalam transaksi ritel di Indonesia adalah salah satu yang tertinggi dibanding negara tetangga ASEAN yakni sebesar 99,4% disusul dengan Thailand sebesar 97,2% serta Malaysia 92,3%; sedangkan negara maju seperti Singapura tampaknya lebih sukses menekan transaksi tunainya hingga 55,5%. Kecenderungan tunai ini imbasnya banyak, salah satunya: menjadi rendahnya tingkat higienis uang kartal itu sendiri karena perpindahannya pada banyak tangan pemegang [ tautan ]. Lagipula, banyak orang Indonesia yang tidak menyimpan uangnya ke dalam dompet khusus melainkan hanya dilipat pada saku yang membuat uang tersebut rentan sobek atau kucel. Sedangkan lainnya, malah menyembunyikan uang dibalik pakaian dalamnya yang mau tak mau memang akan menyebabkan berubahnya aroma uang tersebut ketimbang saat baru saja keluar dari bank. Mungkin supaya lebih aman ^_^ ...Â
Berbicara soal aman, kepercayaan masyarakat terhadap cara-cara tradisional memang masih mendominasi. Saat musim ibadah haji beberapa waktu lalu, seorang wanita paruh baya malah didapati membawa magic jar yang berisi tumpukan uang kertas yang sangat banyak. Tidak sempat saya ikuti beritanya untuk mengetahui motifnya karena saat itu saya sedang akan keluar pergi. Bisa saja seperti yang saya sampaikan pada awal paragraf ini, atau bisa jadi lain. Tapi, sekedar menukarkannya ke money changer pun tidak dilakukannya. Apakah tidak tahu bahwa negara asing jarang menerima pembayaran rupiah? saya tak berani mengambil kesimpulan tersebut. Karena sebagaimana orang beribadah haji, biasanya ada pemandu yang menjelaskan semuanya. Lagipula selain pemandu yang mungkin kurang akrab dalam hal komunikasi, bukankah di sekeliling para jemaah haji tersebut terdapat tetangga atau kerabatnya yang terlebih dulu beribadah haji?
Kita kesampingkan dulu masalah keagamaan ini karena menyangkut hal yang cukup sensitif. Hanya saja dari sini pun kita mendapat satu bukti bahwa tingkat kepercayaan orang terhadap hal-hal tradisional itu masih dipegang teguh. Bukankah ini bagian dari kebiasaan menabung dan perlindungan pribadi terhadap harta kekayaan sendiri?
Masyarakat kita harus dicekoki banyak bukti agar percaya bahwa nontunai juga mempunyai kelebihan di banding nontunai. Ada beberapa aspek keuntungan nontunai misalnya: kemudahan transaksi, ketepatan nilai transaksi serta penghematan waktu yang bisa diraih.
Kemudahan transaksi bisa berarti banyak hal, dan masyarakat yang berkecimpung di dunia jual-beli baik sebagai vendor maupun konsumen pasti pernah mengalami sesuatu yang menjengkelkan dari transaksi tunai: kembalian berupa permen di swalayan serta toko-toko kelontong di manapun juga. Bagaimanapun, jumlah uang receh yang beredar tentu terbatas dan ternyata dari semua uang receh yang dibuat dengan biaya tinggi ini tidak semuanya digunakan menjadi alat tukar sebagaimana mestinya terkait kepercayaan masyarakat serta sebab lain. Beberapa sentra game semacam Time Zone memang membuat koin atau tokennya sendiri. Namun di masa lalu, uang receh koin ini berkumpul dan menggunung di kios-kios game arcade (dingdong) karena dengan itulah poin 'credit' game beroperasi—credit adalah sebutan untuk jatah atau kesempatan seseorang untuk menjalankan suatu game setelah kita memasukkan uang koin nominal tertentu. Syukurlah era game dingdong ini sudah kolaps digantikan oleh era konsol bernama XBox atau Playstation dan lainnya yang tak lagi butuh banyak uang koin. Mungkin masih ada beberapa yang bertahan tapi tidak seperti dulu.
Hanya saja, nyatanya masih ada penyelewengan dari kegunaan uang tersebut: karena mitos tertentu sebagian masyarakat pun membuang koin-koin uang di kolam-kolam atau pelataran yang dianggap suci untuk suatu sugesti keberuntungan. Di beberapa tempat, koin-koin tersebut dibiarkan turut menggenangi kolam; tapi di tempat lain koin tersebut dipungut [ tautan ]. Banyak orang juga masih membuang koin di kawah-kawah gunung dimana oleh beberapa pengais rejeki uang tersebut diperebutkan orang-orang yang ada di lereng mulut kawah. Itu untuk koin yang bisa dijangkau. Yang tidak? Ya meluncur ke kawah dan perut bumi, meleleh menjadi wujud yang tidak akan dikenali lagi sebagai uang dan menyatu dengan perut bumi.
Bukankah jika ingin memberi uang bisa memberi saja dengan cara biasa? Kalau tidak mau dianggap pengemis ya pakai jalan lain misalnya ojeg, jualan makanan, menjadi guide, bermain musik memberi hiburan di depot atau warung tertentu. Bisa saja dengan menyediakan kotak donasi seperti yang terdapat di warung-warung, hanya saja khusus koin. Bukankah dalam hal kerelaan memberi juga akan sama?
Sementara sebagian etnis lain mengganti uang untuk 'ritual' ini dengan uang palsunya sendiri untuk dibuang atau dibakar. Memang akan cenderung ribet, tapi sisi positifnya adalah tidak membebani pemerintah untuk mencetak uang baru [ tautan ].
Saya masih ingat ketika saya masih berada di sekolah menengah pada tahun 90-an, ada tren yang sempat menjangkiri teman-teman pria saya yaitu mereka tergila-gila memakai cincin berwarna kuning. Cincin tersebut bukan cincin akik yang sekarang juga sedang tren. Katanya, cincin tersebut diperoleh dari hasil membentuk kembali dari fisik uang koin asli yang saat itu beredar. Saya tidak tahu persis saat itu tentang bagaimana cara pengolahannya, tapi saya pernah menemui seorang teman saya yang tengah melubangi uang koin tersebut dengan tujuan supaya bisa membentuk cincin yang bisa dipamerkan tadi. Baru-baru ini saja saya menemukan cara-cara bagaimana mengubah uang koin tersebut menjadi cincin yang halus mulus [ tautan 1 ] [ tautan 2 ], dan tak ketinggalan uang kertas pun jadi sasaran origami dengan cara melipat-lipatnya [ tautan 3 ]. Mungkin hal seperti ini adalah salah satu upaya untuk eksis di masa itu, tapi ada juga yang bertujuan lain [ tautan ]. Ada kemungkinan bila uang logam tersebut dilebur menjadi batangan logam tertentu atau mencampurnya dengan logam lain sesuai kebutuhan, bila harga jual logam hasil peleburan uang tersebut lebih tinggi dari nominal uang tersebut [ tautan ].
Beberapa hal ini sangat kontras dengan bagaimana pernah dengan susahnya saya mencari recehan sebagai kembalian itu tadi, yang mungkin juga dilakukan oleh pemilik toko lainnya. Ketika saya masih tinggal satu rumah dengan orang tua saya serta bertugas untuk melayani pembeli di toko, memang terdapat beberapa pembeli yang menggerutu jika diberikan permen sebagai kembalian ini meski ada beberapa pembeli lain yang malah tidak mau menerima kembalian recehan tersebut, mirip adegan film Hollywood saat terakhir aktor menghampiri sopir untuk membayar jasa tumpangan taksinya, "ambil saja kembaliannya mas..."
Kerepotan tersebut begini: saya pernah kesasar dan ditolak oleh petugas di pintu parkir BI Surabaya yang berpesan supaya saya pergi ke bank komersial di bawah BI untuk kebutuhan uang receh karena uang receh ini telah didistribusikan ke bank-bank tersebut. Tetapi, untuk seluruh bank di bawah naungan BI ini tidak semuanya melayani penukaran semacam ini. Dan yang melayani pun tetap ada pembatasan. Memang susah juga bila ada peraturan 'jatah khusus' dari pihak bank tersebut dan baru bisa melayani penukaran hanya pada waktu-waktu tertentu sedangkan kebutuhannya sangat banyak. Tapi saya juga menyadari bahwa toko di sekitar saya juga banyak. Belum lagi di tempat lain yang kebutuhannya sama.