Bulan November belum beranjak saat saya menulis ini, dimana ada orang Indonesia yang menghubungkan bulan ini dengan peringatan Hari Pahlawan pada tanggal 10 November; jadi ada yang menyebutnya pula sebagai Bulan Pahlawan. Mungkin itu benang merah yang saya tangkap saat melihat iklan dengan judul serta tema "Bulan Pahlawan" di media online beberapa waktu lalu. Pahlawan identik dengan mereka yang berkorban dengan segenap jiwa dan raga (padahal bicara raga, yang mereka punya ya hanya satu itu) untuk membela kemerdekaan. Di samping itu, pengertian pahlawan ini lalu meluas menjadi mereka (orang) yang berjasa dalam kehidupan. Jadi kemudian, orang tua serta keluarga pun akhirnya masuk ke dalam daftar pahlawan pribadi.
Teringat seorang Mariah Carey pun melantunkan suaranya, "...there's a hero, if you look inside your heart..." Singkatnya, ada pahlawan di mana-mana. Dan ada daftar pahlawan lain pula yang hinggap melalui indera saya, serta mengena sekali pada karya-karyanya. Dalam rentang hidup saya sekarang, secara nyata mereka mengisi dan menghibur sebagian hari-hari saya yang berwarna (bisa sunyi ataupun gembira); meski dari situ mereka juga memperoleh honornya, dengan mempersembahkan kemampuannya. Pahlawan yang saya maksudkan adalah para seniman. Beberapa dari para seniman ini adalah orang yang tenar; sehingga orang menyebutnya sebagai selebritis.
Kehidupan beberapa dari pahlawan saya ini ada yang bisa dikatakan cukup baik dari segi materi, tetapi ada pula yang tak tentu; mengingat gelombang pembajakan yang cukup kuat mencengkeram. Bahkan saya berpendapat tentang sebuah mall di Surabaya, ternyata mall ini tidak sekeren dan seeksklusif penampilannya dari luar. Dari penampilan luarnya gedungnya sendiri cukup berbeda dan berciri khas, tetapi bila melihat suasana isinya malah mirip dengan sisi dalam pertokoan di daerah Tunjungan Siola. Mall ini adalah mall pertama yang dijumpai oleh warga kota Sidoarjo saat meluncur atau bertandang ke Surabaya, yang memang terletak sebagai "gapura" di dekat perbatasan wilayah Surabaya - Sidoarjo. Bunderan Waru tepatnya. Saya menarik pendapat "keren" pada mall ini, adalah karena ternyata banyak menjual produk bajakan. Saya tak menemukan adanya gerai penjual CD original di sana saat terakhir kali masuk yang entah kapan tanggalnya, jelasnya lebih dari setahun lalu. Suatu hal yang mirip dengan beberapa mall lain yang terlihat megah dari luar. Meski pada dasarnya, saya tak mempunyai hobi window-shopping dengan hanya keluar masuk mall walaupun suka kegiatan jalan-jalan pula. Jadi, setiap masuk ke suatu tempat harus mempunyai tujuan.
Seorang pembetot bass salah satu band Metal terbesar "Megadeth" yaitu David Ellefson menulis pengalamannya ke dalam sebuah buku (Making Music Your Business—terjemahan bahasa Indonesia diterbitkan oleh Gramedia) tentang bagaimana detil kehidupan seorang musisi (ataupun pebisnis musik) yang tidak seperti dipikirkan orang. Bahwa mereka bahkan sebenarnya berhutang pada produser rekaman sebelum album kelar—meski tak banyak orang menyadarinya; yang akan impas setelah penjualan album yang kesekian kopi. Bahwa seorang musisi juga membutuhkan pengacara ataupun orang hukum sebagai pembantu segala hal yang berkaitan dengan legalitas ataupun kasusnya. Bukunya sendiri cukup menyenangkan untuk dibaca—saya membelinya ketika ada obral buku di salah satu toko buku di kota Surabaya. Tulisannya membuka saya tentang kehidupan musisi sesungguhnya dan malah mengingatkan saya (karena mirip) akan sebuah artikel, pengalaman seorang Kompasianer yang memilih menerbitkan bukunya lewat jalur "indie". [caption id="" align="aligncenter" width="162" caption="Image: GramediaPustakaUtama.com"][/caption]
Â
Padahal seperti yang kita tahu dalam dunia rekaman tidak hanya melibatkan musisi ataupun produser saja. Ada pencipta lagu, desainer cover, distributor, salesman, engineer, penata musik (arranger), editor, pemain musik, penjual alat musik, ataupun sekedar pegawai produksi perusahaan rekaman dan SPG penjaga konter gerai CD. Selain mereka, tentunya ada banyak orang lain yang tidak tersebutkan profesinya. Bahwa ternyata rentetan imbas dari industri musik banyak sekali. Seperti kartu domino. Meski sekarang trend musik juga sedikit bergeser: penikmat musik kelas bawah sering mengincar jenis VCD dangdut (koplo) dan campursari yang bukan hanya audio saja. Original-nya pun cukup terjangkau, hanya sekitar sepuluh ribu hingga dua puluh ribu rupiah. Hal ini saya ketahui dari seorang teman yang sampai saat ini membuka lapak di salah satu lapangan di Malang saat hari libur.
Tapi selain itu toh masih ada bajakan film dan game. Padahal pejabat pemerintah pernah curhat bahwa mereka sebenarnya berusaha untuk membuka lapangan kerja lewat dibukanya banyak kran bekerja di luar negeri. Keluhan inipun tak hanya sekali dua kali terucap oleh pejabatnya, saat membuka perusahaan dengan harapan menurunkan statistik jumlah penganggur. Suatu hal yang bertolak belakang dan malah terlihat seperti pembiaran. Jadi pada titik ini pihak yang berwenang seperti tak ingin kehilangan lapak pembajak karena berhubungan dengan rezeki 'orang kecil'. Padahal industri di belakangnya banyak yang terancam atau bahkan sudah gulung tikar. Beberapa diantaranya bahkan tutup (seperti toko kaset dan VCD di Rungkut yang berubah menjadi warung kopi), sementara kita masih menjumpai seorang SPG yang menawarkan koleksi KWnya. Ironis ya?
Sempat terlintas di pikiran saya ketika hendak menulis ini; ada selentingan kabar pada sebuah media beberapa waktu lalu tentang seorang gitaris negeri ini yang berjanji akan menelurkan albumnya bersama band-nya jika pembajakan pada negeri ini mereda. Saya sendiri lupa kabar ini saya baca dimana karena banyaknya artikel yang saya baca dalam satu hari, tapi keputusannya bisa dipahami sebagai ungkapan hati yang kecewa. Seperti kita tahu pula akan masih banyaknya lapak-lapak seperti yang dikeluhkannya di sekitar kita. Tidak hanya lapak penjual offline, tetapi juga lapak blogger yang berharap iklan dan stat kunjungan situs yang banyak karena memajang link lagu serta film ilegal. Ketika kita melihat adanya produk yang seharusnya dijual tetapi ternyata digratiskan.
Jika yang menggratiskan adalah si empunya karya atau seseorang/badan yang diberi izin untuk penyebaran produk gratisan pun tentunya tak mengapa. Bagaimana bila tidak? Entah pula jika sang artis mendapat 'sesuatu' dari gratisan yang dilegalkan. Tapi hal aneh ini pernah saya jumpai (dan saya beli) pada beberapa album musik yang termasuk dalam bundel DVD sebuah majalah komputer terbitan Pinpoint Publishing. Beberapa artis musik yang bisa saya sebut dalam DVD tersebut adalah NAIF dan KOIL. Hal ini membingungkan juga karena berdasarkan cerita seorang teman kerja 'gaul' (profesinya programmer web) yang aktif mengikuti trend, dia tidak menjumpai adanya berita, kabar, maupun klarifikasi pada situs resmi kelompok band tersebut. Namun saya masih menyimpan majalah dan DVDnya sampai sekarang sebagai bukti bahwa saya tak mengunduh musik tersebut dari link gratisan yang tak jelas macam Stafaband dan beberapa lainnya.
Saya pernah pula mengunduh 'sampel' file musik dalam format MP3 yang terdapat pada situs majalah musik Rolling Stones Indonesia. Salah satu lagunya adalah dari Burgerkill. Ketika musik dijual secara digital, biasanya ada bukti sah pembelian yang berupa email atau notifikasi; sama seperti kita membeli produk digital yang selalu membutuhkan klarifikasi. Padahal untuk download pada Majalah Rolling Stone online ini tak butuh klarifikasi serta tak ada notifikasi pula. Memang tak ribet, tapi akhirnya bingung pula bila saya mendapatkan file 'sampel' musik dengan cara ini; apa buktinya bila saya mengunduh file itu dari situs majalah tersebut? hehe...
Ketika saya menganggap sebuah karya musik cukup bagus untuk dibeli dan saya mempunyai uang serta mood yang bagus, maka saya membelinya. Jadi saya agak berpikir aneh bahwa ada orang yang lebih sangat mampu secara finansial lebih memilih untuk mengunduhnya secara gratisan. Yang pada akhirnya saya pun terkena imbas yang tidak enak. Lho, apa hubungannya?