Ai, ai
Sepertinya begitu pula bagaimana harus memanggilmu, sayang. Kamu ada dan kemudian melenyap: terbang jauh ke tempat dimana aku hanya dapat memandang, lalu mengagumimu setelah kau berkelokan gemulai dan gemebyar memancarkan derai tawa yang bercahaya.
Ketika kau berdiri tegas dengan kakimu yang jenjang,
Aku hanya sekejap saja memantik sepercik api dan cinta di tubuh bawahmu: pada sumbu sensitif di antara jari yang rindu penyulut birahi terang menyala, sebelum kau meluncur dan berlalu di awal malam-malam buta; sembari bersiul nyaring dengan sehelai baju warna yang semakin menghablur oleh kepekatan gelap.
Kaukah jingga?
/2009-2010
**Belum pernah terpublikasi sebelumnya, untuk request seorang Arimbi Bimoseno:
http://fiksi.kompasiana.com/puisi/2014/01/02/kembang-api-623501.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H