Membahas mengenai rumah rakit etnis Tionghoa atau yang lebih dikenal dengan sebutan Rakit Palembang sebaiknya diawali dengan penjelasan sejarah rumah rakit Palembang. Rumah rakit Palembang diperkirakan sudah ada sejak masa Kerajaan Sriwijaya berdiri. disebut rumah rakit karena bentuknya yang unik seperti rakit. Rumah ini dibangun di atas air di sepanjang daerah tepi Sungai Musi.
Kehadiran rumah rakit diperkirakan berawal saat masyarakat pribumi yang berasal dari daerah Uluan (pedalaman Sumatera Selatan) membawa dan menjual hasil bumi seperti kelapa, pisang, dan hasil bumi lainnya ke Palembang melalui jalur sungai dengan menggunakan rakit besar. Karena mereka tidak membawa kembali rakitnya untuk pulang ke daerah asal dan tinggal di rakit tersebut, lama-kelamaan rakit tersebut mereka "sulap" menjadi tempat tinggal.Â
Dengan demikian, keberadaan rumah rakit merupakan adaptasi masyarakat yang membaca dan memahami alam dan situasi sosial Palembang yang merupakan kota air dan banyak dialiri oleh sungai.
Bagi masyarakat Sumatera Selatan, keberadaan sungai sangat vital. Sungai dianggap sebagai sumber makanan, mata pencaharian, dan sumber air. Dengan kondisi geografis seperti itu, fungsi rumah rakit tidak hanya sebagai alat transportasi untuk membawa orang yang ada di atasnya ke suatu tempat, tetapi juga untuk tempat tinggal.
Mengenai pemukiman Tionghoa di Palembang adalah suatu hal yang unik, dan sedikit berbeda dengan kehidupan dan pemukiman Tionghoa di daerah lain di wilayah nusantara. Masyarakat Tionghoa tidak diizinkan tinggal di darat, mereka harus tinggal di atas air dengan membuat rumah-rumah rakit.Â
Lihat Catatan Sevenhoven dalam buku Lukisan Tentang ibukota Palembang (1971: 14-15) yaitu: ...Dikedua tepian sungai diatas air. diajumpai rumah jang ditempatkan diatas rakit dan dinamakan rakit. Rumah2 rakit2 itu dibangun terdiri dari balok2 jang didjalin dengan bambu dan ditambatkan pada tepian sungai atau pada pada tiang2 jang ditanam dalam tanah, dengan didjalin rotan jang djauh labih kuat daripada tali rami. Raklt2 itu naik atau turun bersama2 dengan pasang surat air. Raklt2 itu dihubungkan dengan daratan oleh djembatan terapung; kadang2 orang datang ke dan pergi dari rakit? itu dengan menggunakan perahu2 ketjil.
Pada zaman kesultanan Palembang, semua warg asing harus menetap di atas rakit. bahkan kantor dagang Belanda yang pertama masih dI atas rumah rakit lengkap dengan gudangnya. Rumah ini selain sebagai tempat tinggal, juga berfungsi sebagai gudang, tokoh dan industri kerajinan Bahkan ditahun 1900-an rumah sakit pertama di Palembang dibangun dl atas rakit.Â
Pada zaman kolonialisme masyarakat Tionghoa pada umumnyo tinggal mengelompok pada lokasi yang terpisah dengan lokasi pemukiman penduduk pribumi. Mereka menduduki sektor kehidupan ekonomi tingkat menengah yaitu sebagai perantara (bagi orang barat (Belanda) dengan penduduk pribumi.Â
Golongan ini pada umumnya bergerak dalam sektor perdagangan. Masyarakat Tionghoa mendapat perlakuan yang lebih baik ' dibandingkan daripada penduduk pribumi yang dikenal dengan: sebutan inlander. Hal ini dimaksudkan untuk memecah belah hubungan antara penduduk asli (pribumi) dengan penduduk Timur asing (masyarakat Tionghoa) sebagai bagian dari politik "Devide et Impera".Â
Meskipun demikian banyak juga orang Tioanghoa yang memeluk agama lslam bahkan sebelum Belanda datang ke Nusantara. Satu diantaranya adalah Baba Cek Ming yang memiliki nama lengkap K.H. Muhammad Amin Azhari ulama Tionghoa Palembang, Ia adalah salah satu keturunan Tionghoa muslim yang hidup membaur secara utuh dengan masyarakat Palembang.Â