Mohon tunggu...
Kemarau Basah
Kemarau Basah Mohon Tunggu... -

http://kemaraubasah.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Percakapan mengenai Sedekah yang Dipelintir (Bagian 2)

24 Juli 2013   15:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:06 904
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kita kembali kepada percakapan mengenai pemelintiran makna sedekah yang telah mengaburkan keindahan makna aslinya. Masih bersama saudara Superego sebagai pemandu percakapan, seorang muslim moderat yang menyukai pengetahuan dan mencintai kebenaran. Narasumber yang telah hadir saudara Ego, seorang muslim berpendidikan cukup, penulis yang memiliki kemampuan baca-tulis dan pemikir yang belum dipikirkan. Seorang narasumber lainnya saudara Id, seorang muslim yang ekspresif dan impulsif, namun kali ini beliau belum hadir dan mudah-mudahan benar-benar tidak datang.

Superego: “Assalamualaikum, saudara Ego, senang bertemu anda kembali.”

Ego: “Waalaikumsalam, senang pula bertemu anda.”

Superego: “Kita masih menunggu saudara Id tetapi sebaiknya langsung saja kita mulai untuk mempersingkat waktu.

Menyambung percakapan kita beberapa hari yang lalu, seberapa pentingkah menurut anda isu pemelintiran makna sedekah ini?”

Ego: “Bagi umat muslim tentu ia sangat penting. Ketidakpedulian dapat menyebabkan sebuah penyimpangan bertambah dan merajalela. Ia akan makin merusak ke bagian dalam dan mendasar dari sebuah ajaran yang indah tentang sedekah. Dan akibatnya akan merugikan seluruh masyarakat.”

Superego: “Bisakah anda jelaskan lebih lanjut?”

Ego: “Sebagai contoh, ternyata sedekah itu kemudian dipelintirkan pula menjadi semacam permainan uang, money game, yang menarik perhatian sebagian masyarakat muslim. Apabila anda menyumbang 100 dolar maka bulan depan Allah akan memberikan rezeki 10 kali lipat dari sedekah anda, menjadi 1.000 dolar.”

Id: “Superb.”

Superego: “Assalamualaikum, saudara Id, akhirnya anda datang juga.”

Id: “Waalaikumsalam. Maaf, terlambat. Saya ketiduran.”

Id hadir dan kembali duduk di tengah mereka seperti percakapan sebelumnya. Ia menyalami saudara Superego dan Ego.

Superego: “Baiklah, kembali ke percakapan tadi, menurut anda apa alasan dari ajaran tersebut?”

Ego: “Seorang ustaz bisa menyitir ayat yang menerangkan bahwa Allah akan melipatgandakan balasan terhadap kebaikan seseorang sepuluh kali lipat amalnya. Atau juga, sedekah dan infak seseorang seperti sebuah biji yang tumbuh menjadi tujuh tangkai, setiap tangkai menghasilkan seratus biji. Dengan memelintir sedikit, twist a little bit, maka ia kemudian mengubahnya menjadi sebuah ajaran sedekah ‘progresif’ dan ‘kreatif’.”

Superego: “Saya pikir seseorang bisa saja menginterpretasikannya seperti itu.”

Ego: “Benar, siapa pun bisa melakukannya. Namun seorang muslim dilarang menjual janji Allah demi uang yang sedikit. Berapapun dana yang dapat dikumpulkan, milyar atau trilyun sekalipun, bagi Allah itu sedikit. Menawarkan janji Allah kepada seseorang yang memiliki uang tiga ratus ribu rupiah bahwa ia akan mendapatkan tiga juta rupiah dalam waktu sebulan jika menyedekahkan semua uangnya, rasanya sama saja seperti menjual janji Allah.”

Superego: “Namun pendapat orang lain bisa berbeda, apalagi seorang ustaz lebih memahami ajaran agama.”

Ego: “Meskipun demikian ada beberapa hal yang harus kita renungkan mengenai sedekah. Sedekah sebenarnya digunakan untuk membersihkan hati dan pikiran seseorang dari kecintaan berlebihan terhadap harta, materi atau dunia dan termasuk juga dari sifat kikir. Ketika kita berhasil melepaskan uang kita secara ikhlas untuk orang lain yang membutuhkan, saat itu juga sifat-sifat tersebut terlepas dari hati, pikiran dan jiwa kita.

Sebaliknya, prospek sepuluh kali lipat dari uang yang disedekahkan itu menarik kembali semua sifat duniawi tersebut masuk ke dalam hati, pikiran dan jiwa kita, bagaimanapun kita ingin menyangkalnya. Kita akan kehilangan makna sedekah.”

Superego: “Bagaimana jika ia hanya sedang memotivasi orang-orang untuk bersedekah?”

Ego: “Hal lainnya, Allah telah memberikan manusia nikmat yang banyak dan tak dapat dihitung. Sedekah juga merupakan ungkapan rasa syukur atas nikmat yang banyak tersebut.

Selain itu, ketika datang perintah untuk menginfakkan harta yang paling dicintai jika seorang muslim ingin dinilai telah beriman, para sahabat Nabi berlomba-lomba melepaskan hartanya yang paling dicintai, dari kebun kurma hingga kuda kesayangan. Mereka tidak terdorong melakukannya karena balasan sepuluh kali lipat. Mereka memahami makna sedekah sebenarnya.”

Superego: “Namun bagaimana dengan janji sepuluh kali lipat itu sendiri?.”

Ego: “Tidak ada kebaikan kecuali mendatangkan kebaikan. Kita berbuat kebaikan akan mendapatkan balasan dari Allah sepuluh kali lipat amal kita. Kita belajar mendapatkan sepuluh kali lipat pengetahuan, kita bekerja mendapatkan sepuluh kali lipat hasilnya, kita bersedekah mendapatkan sepuluh kali lipat kemurahan hati. Insya Allah.”

Superego: “Menurut anda, apa salahnya jika kemurahan hati itu dikonversikan ke kurs rupiah?”

Id: “Rupiah tidak stabil. Nilainya bisa melemah terhadap Dollar.”

Ego: “Saudara Id bergurau. Katakanlah saya mempunyai pengalaman seperti pengalaman seorang sufi. Suatu hari saya bersedekah satu juta rupiah. Tepat sebulan kemudian seseorang menghadiahi saya uang sebesar sepuluh juta rupiah. Hal itu membuat saya semakin bersemangat untuk bersedekah. Saya yakin setiap bersedekah Allah akan melipatgandakannya sepuluh kali. Kemudian seumur hidup bersedekah, saya selalu mendapatkan uang sepuluh kali lipatnya. Dan selama itu pula saya bersedekah untuk mendapatkan uang lebih banyak.

Bagaimana bisa kita berbuat riba kepada Allah? Bersedekah satu juta dan dalam sebulan mengharapkan bunga seribu persen. Padahal kita tak bisa menghitung nikmat yang telah Ia berikan.”

Superego: “Anda menaruh perhatian kepada nilai moral sedekah. Namun bagaimana jika itu sebagai akal-akalan marketing untuk menarik minat orang agar bersedekah tetapi sebenarnya tidak mengubah makna aslinya?”

Ego: “Seseorang mengulang-ulangi pernyataan bahwa nilai sedekah akan dibalas sepuluh kali lipat di bulan berikutnya. Namun setelahnya ia mengatakan juga bahwa kita harus ikhlas dalam bersedekah. Apabila anda bertemu seorang perempuan dan berulang kali mengatakan padanya bahwa ia mirip Agnes Monica, tetapi kemudian menambahkan sekali saja bahwa ia lebih baik menjadi dirinya sendiri dan tidak perlu memikirkannya, apa yang terjadi? Setelah pulang ke rumah, kemungkinan besar perempuan itu berlama-lama menatap cermin di kamarnya sambil tersenyum-senyum.”

Id: “Anda bergurau, saudara Ego. Tapi saya menyukainya.”

Superego: “Namun bagaimana jika manfaatnya lebih besar dari mudaratnya?”

Id: “Semua orang yang melakukan tindak pidana korupsi berpikir seperti itu.”

Ego: “Sedekah sama sekali tidak ada mudaratnya. Ia sangat bermanfaat seperti madu, sampai seseorang mengairi madu itu dan mengurangi kemurniannya bahkan menggantinya dengan sakarin yang manis sekali tetapi mendatangkan penyakit.”

Superego: “Siapa yang mengatakan itu?”

Ego: “Saya.”

Id: “Anda sombong sekali.”

Superego: “Seperti apa sedekah sesungguhnya di benak anda?”

Ego: “Semua muslim sebenarnya sudah mengetahui secara jelas makna sedekah. Al-Quran menerangkannya di banyak tempat.

Namun secara pribadi saya mempunyai pengalaman. Seorang laki-laki karyawan biasa sebuah BUMN setiap kali berbelanja ke kota kecamatan sering bertemu dengan seorang pengemis laki-laki yang duduk di pinggir jalan aspal di tengah keramaian pertokoan. Pengemis tersebut bertubuh tak sempurna, kedua tangannya kecil dan kaku, kakinya pendek, terlipat dan berbentuk sangat aneh. Sang karyawan sering memberikan sedekah seikhlasnya kepada pengemis itu, kadang secara langsung dan kadang ia melemparkan gulungan lembar rupiah sembari lewat di depannya. Betapapun menyedihkan keadaan orang itu dan begitu padatnya orang-orang lewat, tak banyak orang yang melakukan hal sama.

Kadang ia menyuruh anaknya yang masih bocah untuk memberikan uang itu langsung ke tangannya. Tangan bengkok dan kaku pengemis itu menyambar lembar uang tersebut seperti seekor angsa yang kelaparan dan selalu membuat takut sang bocah. Pengemis itu tak bicara, hanya seperti melenguh dan wajahnya yang tampak aneh seperti tersenyum. Karyawan itu bersedekah hampir setiap kali bertemu dengannya dan menjadi sebuah kebiasaan. Pengemis itu sudah mengenalinya, setiap kali melihatnya, mata manusia malang itu berbinar dan ia mencoba tersenyum. Kebiasaan mereka itu berhenti setelah sang karyawan pensiun dan pindah ke kota lain.

Ia mungkin tidak bisa disebut seorang ahli sedekah. Ia bukan pula seorang ustaz. Namun belakangan saya menyadari betapapun kecil nilainya, tidak istimewa dan tak terlihat banyak orang, perbuatan semasa hidupnya itu insya Allah akan banyak menolongnya di akhirat kelak. Murni sedekah.”

Superego: “Siapa orang itu, anda mengenalnya?”

Ego: “Ia ayah saya. Sementara sang pengemis barangkali hanya seorang malaikat.”

Id: “Ya ampun. Apa tidak ada contoh lain, saudara Ego?”

Ego: “Bukan apa-apa, saudara Id. Bandingkan dengan seseorang mem-prospek seorang office boy untuk menyedekahkan tiga ratus ribu, seluruh uang yang ia simpan di sakunya. Lalu ia menawarkan janji Allah, tiga juta rupiah di bulan depan. Saya tahu gaji seorang office boy. Lebih baik ia bersedekah sedikit tetapi rutin dilakukan secara berkala.

Kita tahu Allah akan menguji siapa saja yang mengaku beriman. Allah juga akan menguji orang-orang yang bersedekah. Kita berharap office boy tersebut tabah menerima ujian—saat ia kehabisan uang tabungan dalam satu hari, kemudian terdesak sebuah kebutuhan pada hari lainnya. Ia harus menahan diri untuk tidak mengemis dan juga tidak berprasangka buruk kepada Tuhannya.”

Id: “Seharusnya ia mencoba meminjam uang kepada ustaz, siapa tahu langsung mendapatkan sepuluh kali lipat. Anggap saja itu sebagai rezeki dan tidak usah dikembalikan.”

Ego: “Apabila seorang yang hidup sederhana menyedekahkan semua uangnya, semestinya ia mengharapkan balasan di sisi Allah yang jauh lebih bernilai daripada materi dunia. Sang office boy rugi jika mengharapkan balasan yang sama seperti yang diterima orang lain yang menganggap uang tiga ratus ribu seperti uang receh.”

Superego: “Anda seperti menurunkan semangat orang untuk memotivasi orang lain mengejar kesuksesan dalam hidupnya dengan bersedekah, saudara Ego?”

Ego: “Barangkali anda harus menanyakan motivasi orang tersebut melakukan hal itu. Nabi pernah menolak mendoakan seorang miskin yang ingin didoakan menjadi orang kaya. Beliau juga tidak menyarankan menyedekahkan seekor kambing untuk mendapatkan sepuluh ekor kambing di bulan depan. Nabi sepertinya tidak ingin bermain-main dengan janji Allah.

Islam mengajarkan orang untuk berperilaku lurus, menjadi seorang hanif, sebuah kunci kesuksesan hidup menurut Al-Quran. Sebagian sahabat Nabi diberkahi rezeki yang banyak, sebagian lagi hidup sederhana. Sama saja, mereka berhasil dalam hidupnya. Balasan di sisi Allah lebih tinggi nilainya. Sementara harta dunia seperti hujan yang bisa datang kapan saja, di musim kemarau sekalipun, dan dapat menimpa siapa saja.”

Id: “Saya tahu anda terinspirasi dengan hujan di luar sekarang ini, saudara Ego.”

Ego: “Seorang mualaf berkulit putih berbagi cerita bahwa ia memilih Islam setelah meneliti bangsa yang paling mudah untuk hidup enak di dunia. Misalnya, orang Jepang bisa berpenghasilan tinggi sebab mereka pekerja keras dan sangat disiplin. Begitu pula bangsa-bangsa maju lainnya. Akhirnya ia melihat orang Arab. Mereka hanya mengangkat tangan dan berseru Allahu Akbar dan bisa hidup enak, bergelimangan harta, minyak bumi berlimpah di bawah kaki mereka. Ia lalu memilih Islam.

Untuk menjadi kaya, belajarlah pada orang-orang kaya. Mereka lebih mengerti urusan dunia. Namun untuk menjadi sukses, dunia akhirat, kita bisa berusaha berperilaku lurus termasuk dalam bersedekah.”

Superego: “Namun kita dapat mencoba mencari inspirasi dari Al-Quran. Barangkali ada cara untuk kaya.”

Ego: “Sebenarnya ada walaupun bukan hal utama dan tidak berbentuk mimpi. Masalahnya, kadang pikiran kita yang sering menginspirasi Al-Quran.”

Superego: “Bisa anda jelaskan maksud anda?”

Ego: “Mungkin sudah ditakdirkan, suatu pagi saya mendengar seorang ustaz menyitir sebuah ayat Al-Quran. Ia melantunkannya dengan fasih dan membacakan secara perlahan terjemahannya. Di akhir ayat itu, Allah menjanjikan surga di akhirat. Tepat setelah itu ia langsung menyambung dengan manis kata-katanya sendiri bahwa surga tidak hanya di akhirat. Allah juga memberikan surga di dunia.

Sebagai orang yang pernah bersekolah, tidak ada akal sehat saya yang bisa menerima tafsir semacam itu. Betapa mudahnya ia memelintir, twist a little bit, makna sebuah ayat. Kita bisa melihat bagaimana leluasanya seseorang mengalihkan perhatian hadirin dari makna sebenarnya. Ia bisa begitu menguasai semua orang.”

Id: “— — — — — — — — —. Mengapa anda menghapus kata-kata saya, saudara Superego?”

Superego: ”Itu terlalu vulgar, saudara Id.

Lalu mengapa terus menerus hal semacam itu terjadi begitu leluasa, menurut anda?”

Ego: “Tidak ada seorang muslim, termasuk saya, yang menentang sedekah, keinginan naik haji atau lantunan ayat-ayat suci Al-Quran. Apalagi kemudian diikuti dengan berbagai ajaran baik lainnya.

Dalam keadaan bercampur aduk, menentang undian haji seolah sama dengan menentang keinginan orang bersedekah dan menunaikan ibadah haji. Mempersoalkan sedekah money game bisa dianggap mengabaikan keutamaan sedekah melalui cara baru yang ‘progresif’ dan tidak mendukung manfaatnya untuk kemaslahatan umat. Menyalahi seorang ustaz sama seperti bersikap angkuh, berprasangka buruk dan tidak menghormati seorang guru yang diidolakan banyak orang.

Kita tidak boleh hanya melihat bidak-bidak berharga yang dimajukan oleh seorang pemain catur. Kita tidak perlu berprasangka kepada orangnya, hanya harus memahami susunan bidak catur itu di atas papan.”

Superego: “Bisa anda perjelas untuk yang terakhir?”

Ego: “Generasi muda kita berbeda dengan masa di abad yang lalu. Rata-rata kita berpendidikan dan melek huruf. Kita bisa dengan mudah mengikuti seseorang dan mudah pula pergi meninggalkannya.”

Id: “Seperti twitter.”

Ego: “Saya mengenal seorang kawan di Jakarta, seorang muslim gaul—apapun maksudnya. Ia dan jaringan teman-temannya biasa berkumpul melakukan kegiatan sosial ke panti asuhan. Mereka telah melakukan hal yang terpuji dan sebaiknya tidak terpengaruh untuk berkumpul dan bersedekah untuk bisnis. Hubungan sedekah adalah dengan fakir miskin yang mempunyai hak atas sebagian harta mereka.

Mereka bisa berdiskusi sesamanya, bertukar pikiran mengenai agama. Mereka pintar dan semestinya tidak merendahkan pengetahuan mereka sendiri. Memperdalam agama tidak sesulit masa lalu. Buku bertebaran dan internet menyediakan semua informasi. Guru banyak bisa dipilih-pilih.

Mereka bisa melakukan hit and run. Apabila seorang ustaz menerangkan tentang jihad datangi saja—tidak ada persoalan. Namun jika ia mengajak meledakkan hotel, bank atau pesawat terbang, mereka bisa pergi menjauhinya.

Apabila seorang ustaz menjelaskan hikmah bersedekah, mereka bisa menyimaknya. Namun jika ia mengajak membeli hotel, bank atau pesawat terbang, mereka bisa pergi menghindarinya.

Mereka bisa mempunyai rencana besar sendiri yang tidak memelintir makna sedekah. Mereka bisa memilih berkumpul untuk membangun apartemen gratis bagi fakir miskin dan anak yatim di Jakarta, misalnya. Mereka tidak perlu khawatir tidak mendapatkan pemasukan sepuluh kali lipat, sebab fakir miskin dan anak yatim yang mereka santuni selama ini bisa menghasilkan kebaikan seratus kali lebih banyak, pada masa datang, insya Allah. Siapa tahu.”

Superego: “Baiklah, percakapan kita sepertinya sudah terlalu panjang. Barangkali bisa kita hentikan di sini sementara.”

Id: “Anda belum menanyakan saya.”

Superego: “Mungkin lain kali, saudara Id. Selamat sore dan selamat berbuka puasa pada waktunya. Assalamulaikum.”

Ego dan Id: “Waalaikumsalam.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun