Gegap gempita prestasi Pertamina tahun 2016 yang untuk pertama kalinya laba mampu kalahkan Petronas serta menjadi perusahaan migas dengan keuntungan terbesar ketiga didunia, sepertinya segera berakhir. Kinerja keuangan Pertamina Kuartal 1 (Januari-Maret) 2017 sungguh mengecewakan. Pada saat pendapatan Pertamina naik 19% justru keuntungannya turun 25% menjadi USD 760 juta dibandingkan periode yang sama 2016 sebesar USD 1,01. Dengan kurs rupiah Rp 13.000/dolar, maka penurunan keuntungan Pertamina dari Rp 13,13 triliun (Jan-Mar 2016) menjadi Rp 9,88 trilun (atau berkurang Rp 3,25 triliun).
Tentu ini ironis dengan kondisi Pertamina tahun 2016 yang pendapatannya turun 25%, namun keuntungan justru naik 121%. Momentum “operational excellence” yang diraih 2016 tidak mampu dipertahankan di 2017.
Hal ini menunjukkan “efisiensi” yang telah diraih di 2016 tidak terjadi di 2017. Bahwa “lemak-lemak” dan anasir jahat yang 2015-2016 berhasil dihilagkan di Pertamina secara konsisten, kembali lagi di 2017. Logikanya jika di 2016 saat pendapatan turun namun keuntungan naik bisa dipertahankan di 2017, maka mestinya saat pendapatan naik di 2017 keuntungan Pertamina mestinya mengalami 2X kenaikan : pertama dari efisiensi yang terus bisa dilakukan, kedua dari selisih kenaikan pendapatan. Jika diilustrikasikan dalam bentuk rumus :
Laba Pertamina = E + DP
Dengan E adalah efisiensi dan DP adalah selisih pendapatan (DP + jika pendapatan lebih tinggi dibadingkan pendapatan sebelumnya, DP – jika pendapatan lebih rendah dibandingkan pendapatan sebelumnya)
Kenaikan Harga Minyak 2017 Bukan Berkah Bagi Pertamina, Tapi Musibah
Ada sebuah ironi, jika di tahun 2012-2014 saat harga minyak mentah dunia tembus USD 120 – USD 100 laba Pertamina disumbangkan dari sektor hulu (upstream) pada kisaran 70%. Lalu di tahun 2015 saat harga minyak mentah dunia USD 40-50 Dirut Pertamina Dwi Soetjipto beserta jajaran Direksi kompak melakukan efisiensi khususnya pada pengolahan (kilang) dan unit operasi lainnya, maka saat harga minyak dunia turun lebih dari 50%, keuntungan Pertamina hanya turun sekitar 2%. Artinya ada yang tidak efisien pada operasional Pertamina dan bisa dilakukan efisiensi. Kepercayaan bisa melakukan “operational excellence” dilanjutkan di tahun 2016 sehingga efisiensi semakin besar dan mencapai USD 1,38 miliar, maka meskipun keuntungan operasi hanya USD 1,77 miliar juta maka total keuntungan Pertamina 2016 bisa mencapai USD 3,15 miliar
Sayangnya kenaikan harga minyak dunia di kuartal pertama 2017 bukanlah berkah, tetapi musibah. Ini sebagaimana statemen Dirut Pertamina Elia Massa Manik dalam paparan kinerja Pertamina 24/5/2017 di kantor pusat Pertamina yang dikutip salah satu media online detik.com Direktur Utama Petamina, Elia Massa Manik, menjelaskan penurunan laba bersih perseroan terjadi akibat berubahnya harga minyak dunia.
"Ini karena naiknya harga crude yang sebabkan laba bersih turun 25%,"
Efisiensi Pertamina 2017 Menurun
Naiknya pendapatan yang justru mengurangi laba Pertamina menunjukkan bahwa efisiensi Pertamina mengalami penurunan, ini tentu hal yang ironi. Bagaimana nantinya jika pendapatan Pertamina kembali mengalami penurunan seperti di tahun 2015 dan 2016, tentu saja keuntungan Pertamina akan turun terus. Biaya terbesar Pertamina diluar impor crude oile dan BBM adalah pada sektor hulu dan pengilangan. Jika melihat bagaimana inisiatif Break Through Project (BTP tahun 2016 yang digagas Dirut Pertamina sebelumnya Dwi Soetjipto yang penopang utamanya adah disektor hulu dan pengilangan. Maka dengan anjloknya keuntungan Pertamina, maka dapat diprediksi bahwa efisiensi kedua sektor ini juga turun.
Impor Akan BBM Meningkat di 2017