Mohon tunggu...
Kemal Firdaus Ahmad
Kemal Firdaus Ahmad Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Antropologi Budaya UGM 2022

Bukan penulis lepas, sekedar penulis tugas.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Gagah-Gagahan: Praktik Pelanggengan Kekerasan di Pondok Pesantren

28 Juni 2024   06:30 Diperbarui: 28 Juni 2024   13:08 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan berbasis agama islam yang telah ada di Indonesia jauh sebelum pendidikan formal diterapkan di negeri ini. Perannya dalam pendidikan agama islam maupun pendidikan secara umum sudah tidak diragukan lagi. Bahkan, pondok pesantren memiliki peran penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Banyak tokoh Indonesia dahulu hingga saat ini merupakan sosok dari pondok pesantren. 

Namun, kiwari ini, banyak masyarakat yang mulai mempertanyakan kredibilitas institusi pendidikan islam satu ini. Hal tersebut akibat dari banyaknya kasus yang terjadi di pesantren, salah satunya adalah kultur kekerasan yang masih saja berlangsung. Bahkan sebagai tamatan pondok, saya bisa sebut kekerasan sebagai sesuatu yang lumrah terjadi. Saya sendiri dahulu merupakan bagian dari kultur kekerasan ini, berpengalaman sebagai pelaku sekaligus korban.

Pengalaman saya, praktik kekerasan banyak dilakukan oleh pengurus santri. Kedisiplinan adalah ciri khas pondok pesantren. Di banyak pesantren, proses pendisiplinan dilaksanakan oleh organisasi santri atau pengurus santri. Dalam organisasi santri umumnya terdiri dari anak-anak setingkat SMA. Jadi, pengurus ini diberikan tanggungjawab untuk mengurusi keseharian santri di pondok. Mulai dari berangkat sekolah, menunaikan ibadah, hingga memastikan bahasa formal (Arab dan Inggris) digunakan oleh setiap santri.

Karena diberikan tanggung jawab tersebut, pengurus santri memiliki kewenangan untuk mendisiplinkan setiap santri yang menyalahi aturan pondok. Hal inilah yang sering disalahpahami. Seringkali pendidikan kedisiplinan ini diterapkan dengan tindakan kasar atau bahkan menggunakan kekerasan. 

Ancaman, teriakan dan hukuman merupakan makanan sehari-hari santri. Cara-cara yang dilakukan secara berulang tersebut secara tidak langsung membentuk pandangan bahwa ketika seorang santri menjadi pengurus, kelak ia harus menampilkan kesan berwibawa dan gagah dengan tujuan agar ditakuti. Kesan yang muncul adalah gagah-gagahan. Sehingga nilai dari seorang pengurus pada akhirnya dilihat dari seberapa keras ia terhadap setiap santri dan seberapa takut santri-santri kepadanya.

Sikap gagah-gagahan ini sangat sulit dihilangkan. Karena hal tersebut diperlihatkan para pengurus setiap kali terjun untuk menjaga kedisiplinan santri. Praktiknya selalu terlihat setiap hari sehingga di kemudian hari ketika kepengurusan berganti pun, praktik gagah-gagahan akan tetap ada.

Sebenarnya, praktik ini tidak begitu saja muncul tiba-tiba. Tidak hanya alasan untuk menunjukkan siapa yang lebih senior, ada hal lain yang bisa jadi merupakan faktor yang mendukung adanya praktik gagah-gagahan ini. Hal tersebut merupakan tuntutan dari pihak pesantren kepada pengurus untuk selalu membuat seluruh santri menaati setiap peraturan yang ada. Bahkan, pengurus seringkali disalahkan atas keruwetan yang terjadi di pesantren. Tuntutan untuk selalu "beres" tersebut yang kemudian membuat pengurus harus menertibkan santri dengan cara-cara kilat, yaitu dengan tindakan keras bahkan kekerasan.

Apakah pendidikan disiplin yang keras manjur?

Ketika saya bertanya kepada diri saya sendiri dan beberapa kawan satu pondok saya juga kawan dari pondok berbeda yang mengalami hal serupa, apa manfaat dari proses pendisiplinan yang keras, kami semua punya jawaban yang serupa. Semua menjawab dengan kebingungan. Setelah lulus pun, masih sering terlambat bahkan melalaikan sholat. Pada akhirnya, pendidikan kedisiplinan seperti itu rasa-rasanya hanya sekedar menjadi bahan cerita romantisme suka-duka pondok pesantren. Selebihnya? Tidak ada.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun