Kali ini saya akan membagikan pengalaman saya tentang mimpi yang sebenarnya pernah saya bangun dan gapai, namun kembali tertidur dalam waktu yang lumayan lama, dikarenakan alasan yang yang sedikit kontroversial, yaitu persetujuan orang tua. Mengapa saya katakan kontroversial ?, jelas saja karena seharusnya peran orang tua adalah mendukung dan mendorong mimpi mimpi dari anak anak mereka. Namun tentu saja buka tanpa alasan mereka berperilaku demikian. Oke, kalau begitu mari langsung saja kita mulai cerita yang sebenarnya tidak terlalu menarik dan penting.
Kisah ini bermula ketika saya adalah seorang mahasiswa baru di Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura. Bisa dibilang hukum bukanlah minat maupun basic saya, bahkan dalam kolom opsi SBMPTN Ilmu Hukum adalah jurusan yang saya masukan karena pada saat itu tidak ada kemauan lain dalam benak saya selain Teknik Arsitektur dan Teknik Informatika, daripada dikosongkan mending diisi asal asalan saja pikir saya.Â
Berbekal jurusan IPA saat SMA, tentu saja sedikit sulit buat saya untuk menyesuaikan diri di lingkungan ini. Pada suatu ketika saya memutuskan untuk bekerja di sebuah usaha waralaba kecil milik pasutri yang ada di kota pontianak tempat perantauan saya kuliah,usaha yang mereka buka adalah jualan bakpao. oh iya saya lupa kasi tau di awal bahwa saya anak rantau di pontianak, saya ngerantau karena kuliah.Â
Alasan saya bekerja juga sebenarnya sebagai pelarian karena saya juga tidak terlalu betah menjalani perkuliahan di Fakultas Hukum. Ketika menjalani masa masa kerja saya mulai tertarik dengan dunia waralaba. Hingga pada akhirnya saat saya sudah mempunyai cukup modal yang telah saya perhitungkan, saya pun memberanikan diri untuk memulai sebuah usaha UMKM gerobakan yang saya beri nama Manihot, Manihot disini merupakan usaha kuliner yang menjual tela-tela (singkong goreng stik yang di lumuri bumbu berbagai rasa, seperti balado, BBQ, keju manis, dan sebagainya). Untuk meminimalisir cost,sebisa mungkin semuanya saya lakukan sendiri, seperti membuat gerobak, produksi, jualan di lapangan, sampai promosi. tak terasa waktu demi waktu berlalu, hingga pada bulan ketiga saya mulai memberanikan diri membangun cabang, hingga pada bulan ke lima saya sudah punya tiga cabang ditempat berbeda yang saya nilai cukup strategis, dan pada bulan ke tujuh mulai ada anak muda yang juga mungkin berjiwa bisnis melirik usaha saya dan membeli franchise yang saya miliki. Untuk saat ini sampai disini dulu, dikarenakan keterbatasan kata yang boleh di masukan dalam artikel ini, sampai jumpa di artikel lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H