Mohon tunggu...
Murni KemalaDewi
Murni KemalaDewi Mohon Tunggu... Novelis - Lazy Writer

Looking for place to write

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Pemberontakan Cinderela

23 Mei 2019   06:51 Diperbarui: 23 Mei 2019   07:12 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

DURI LANDAK  XI

Ivan dan Erick duduk di ruang manager toko sepatu. Sementara manager itu sedang berdiri dengan hormat. Wajahnya bersinar gembira menatap Ivan.

"Apa anda yakin kalau gadis itu membawa sepatu yang sama?" tanya Ivan.

Manager itu mengangguk cepat,

"Benar,Yang Mulia" jawabnya.

"Lalu bagaimana ciri-cirinya?" tanya Erick penasaran.

Manager itu menatap Erick bingung,

"Kalau itu saya kurang tahu, Tuan" jawabnya.

"Kenapa bisa begitu?" tanya Ivan.

"Maaf, Yang Mulia. Tapi yang kemaren melayani gadis itu adalah pelayan toko kami" jawab manager itu lagi.

"Bisa kami bertemu dengannya?" tanya Ivan.

Manager mengangguk antusias,

"Tentu saja, Yang Mulia" jawabnya.

Manager lalu menundukan badannya dengan hormat dan keluar kantor.

Saat pintu tertutup, Erick berdiri mendekati jendela kantor itu. Dari dalam tasnya, ia mengeluarkan teh kotak kesukaannya dan melamun menatap keluar jendela sambil menikmati teh itu. Ivan mengamatinya dengan seksama,

"Apa yang sedang kau pikirkan?"

Erick menggeleng pelan dan memutar badannya menatap Ivan,

"Tidak ada. Hanya saja pencarian ini semakin seru saja. Menurutmu kejutan apa lagi yang akan kita terima? Jangan-jangan gadis itu adalah mata-mata dari negara lain yang memiliki misi untuk memikat Pangeran Ivan" kata Erick.

Ivan tertawa kecil,

"Imajinasimu memang selalu luar biasa, Rick. Aku benar-benar menyarankanmu untuk mempertimbangkan pekerjaan sebagai seorang penulis. Aku yakin buku-buku yang keluar dari hasil pemikiran anehmu itu, pasti akan menjadi best seller!" ejek Ivan.

Erick tersenyum lebar,

"Terima kasih atas saran anda, Yang Mulia Pangeran! Nasehat dari anda akan menjadi bahan pertimbangan bagi saya." jawab Erick dengan gaya dibuat sehormat mungkin.

Ivan tersenyum sambil geleng-geleng kepala.

Tiba-tiba pintu terbuka dan manager masuk bersama pelayan yang bernama Dian. Dian menatap Ivan dengan wajah kaget dan mulut terbuka lebar seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Manager menyenggol Dian. Dian spontan tersadar dan lansung menundukan kepalanya dengan gugup,

"Ma...ma...maafkan saya, Pangeran. Se...se...senang bertemu dengan anda" katanya gugup.

Ivan tersenyum ramah menatap Dian,

"Saya juga senang bisa bertemu anda, Mbaak...?"

"Dian, Yang Mulia! Nama saya Dian" jawab Dian cepat.

"Mbak Dian silahkan duduk" kata Ivan menunjuk kursi yang tadi ditempati oleh Erick.

Dian melangkah gugup menuju kursi itu,

"Te..terima kasih, Pangeran!" katanya.

Dian duduk dengan gugup sambil meremas-remas tangannya.

Ivan tersenyum untuk menenangkan kegugupan Dian,

"Mbak Dian tidak usah sungkan. Santai saja. Saya kesini ingin meminta bantuan anda"

"Baik, Yang Mulia" jawab Dian.

Ivan menyandarkan punggungnya di kursi dan menatap Dian,

"Mbak Dian tahukan alasan kedatangan saya?" tanya Ivan.

"Benar, Yang Mulia. Pak manager sudah menceritakan hal ini pada saya" jawab Dian.

"Jadi Mbak Dian pasti bisa membantu saya"

"Dengan senang hati, Yang Mulia" jawab Dian

"Jika demikian, bisa tolong ceritakan ciri-ciri gadis yang datang kemaren?"

Dian mencoba mengingat-ingat,

"Saya tidak begitu jelas, Yang Mulia, karena saya hanya melihat sekilas punggung gadis itu ketika gadis itu keluar dari toko ini. Kemaren yang melayani gadis itu adalah teman saya yang bernama Erni." jawab Dian.

Ivan menatap manager,

"Yang bernama Erni ada dimana?" tanyanya.

"Maaf, Yang Mulia. Pegawai saya yang bernama Erni sudah mengundurkan diri kemaren." jawab Manager itu.

"Kenapa?" tanya Ivan.

"Dia harus menyusul suaminya ke Papua, Yang Mulia" jawab Dian.

Ivan menatap Dian untuk sesaat. Kemudian ia kembali menyandarkan dirinya di kursi dengan wajah kecewa,

"Jadi tidak ada yang bisa mengatakan padaku, tentang ciri-ciri gadis itu" kata Ivan.

Dian dan manager saling pandang dengan wajah merasa bersalah. Dian kemudian tampak berusaha menyusun kata-kata,

"Maaf, Yang Mulia. Saya memang hanya melihat gadis itu sekilas. Tapi saya bisa katakan kalau dia berambut panjang dan usianya sekitar 17 atau 18 tahunan. Dia sepertinya anak SMA, Yang Mulia"

Ivan kembali menatap Dian dengan wajah antusias,

"Benar! Itu dia! Dia gadis yang saya cari!" kata Ivan. Namun ia kembali menghela nafas panjang, "Sayangnya hanya gambaran seperti itu yang bisa anda berikan." katanya lagi terdengar kecewa.

Dian terlihat ragu,

"Selain hal tadi, saya rasa saya juga bisa mengatakan pada anda dimana kira-kira gadis itu sekolah, Yang Mulia. Yah, walaupun saya tidak bisa menyebutkan nama sekolahnya" kata Dian.

Ivan menatap Dian heran,

"Bagaimana caranya?"

"Kemaren gadis itu datang dengan mengenakan seragam sekolah, Yang Mulia."

"Dan?"

"Walau saya tidak tahu tempat dia sekolah dan nama sekolahnya, tapi kemaren gadis itu datang dengan mengenakan seragam yang sama persis dengan yang dikenakan..." Dian menunjuk Erick, yang dari tadi diam menyimak pembicaraan mereka sambil meminum teh kotaknya, "... Tuan itu" kata Dian.

Ivan spontan menolehkan kepalanya menatap Erick. Sementara Erick terlihat kaget. Ia hampir tersedak oleh minumannya sendiri,

"Apa?! Dia mengenakan seragam sekolahku?!" Erick menatap Dian ragu, "Apa anda yakin?" tanyanya.

Dian menganggukan kepalanya,

"Saya sangat yakin, Tuan. Seragamnya sama persis dengan yang anda kenakan. Tapi saya tidak tahu apa mungkin ada sekolah lain yang mengenakan seragam yang sama dengan sekolah anda." jelas Dian.

Erick menggeleng pelan,

"Aku rasa tidak ada. Seragam seperti ini adalah seragam khusus yang dibuat oleh sekolah"jawabnya linglung.

Erick lalu menatap Ivan, yang balas menatapnya dengan ekspresi penuh perhitungan.     

@@@

Ivan dan Erick keluar dari toko itu dengan pikiran masing-masing. Mereka berjalan menuju mobil, yang pintunya sudah dibukakan oleh Pengawal Ivan.

Ivan tiba-tiba berhenti melangkah. Ia menatap lurus ke depan dengan ekspresi penuh keyakinan,

"Aku rasa aku sudah tahu dimana aku akan melanjutkan studyku." putus Ivan.

Erick mengangkat kepalanya, menatap Ivan dengan wajah bingung,

"Hah? Apa?" Erick lalu tersadar, "Oo... studymu. Dimana?" tanyanya lagi.

Ivan tersenyum kecil dan menatap Erick santai,

"Dimana lagi?! Tentu saja di sekolahmu!" jawab Ivan menepuk pelan punggung Erick dan kembali meneruskan langkahnya memasuki mobil.

Ia meninggalkan Erick, yang sepertinya masih berusaha mencerna ucapannya dan melongo kaget menatap sepupunya itu,

"Apa? Di sekolahku?!" seru Erick kaget. 

Ivan berhenti di depan pintu mobil dan menatap Erick heran,

"Hei! Apa lagi yang kau tunggu?! Bukannya kau ingin diantar ke sekolah. Ayo masuk. Tunggu apa lagi!" seru Ivan menggerakan kepalanya, memberi kode untuk menyuruh Erick masuk ke dalam mobil.

Erick menatap Ivan dengan wajah kesal,

"Dasar sinting! Dia hampir membuatku terkena serangan jantung. Bisa-bisanya dia tetap terlihat tenang seperti itu"

Erick lalu menyusul Ivan dan ikut masuk ke dalam mobil. Pengawal Ivan menutup pintu. Ia lalu ikut masuk. Mobil itupun akhirnya berjalan meninggalkan toko.

@@@

Ratu menatap Raja dengan ekspresi kaget,

"Yang Mulia, bagaimana mungkin Yang Mulia mengizinkan Putra Mahkota meneruskan studynya di sekolah Erick?!"

Raja heran menatap Ratu,

"Memangnya ada apa? Bukankah sekolah itu merupakan sekolah yang sangat bagus dan memiliki reputasi yang luar biasa di negara ini?"

"Apa yang Yang Mulia katakan memang benar. Saya mengakui kalau tempat itu merupakan sekolah yang sangat baik. Tapi tetap saja Putra Mahkota tidak bisa sekolah di sana" jawab Ratu.

Raja tersenyum bijak,

"Apa yang Dinda khawatirkan? Apa khawatir kalau Pangeran Ivan tidak bisa beradaptasi di tempat itu?"

Ratu menundukan kepalanya,

"Bukan demikian, Yang Mulia" Ratu mengangkat kepalanya lagi menatap Raja dengan khawatir, "Saya mengkhawatirkan keamanan Putra Mahkota dan juga masalah media massa. Bagaimana jika nanti media massa memburu Putra Mahkota hingga ke tempat itu? Saya takut kenyamanan Putra Mahkota dan juga murid-murid yang ada di sana akan terganggu." jelas Ratu.

Raja menarik nafas panjang dan perlahan membuangnya,

"Jika masalah itu yang membuat Dinda khawatir, Kanda merasa dimanapun Pangeran Ivan berada, dia akan tetap menjadi incaran media. Kecuali jika kita menguncinya di dalam lemari besi dan membuang kuncinya ke laut." kata Raja setengah bercanda.

Ratu tersenyum kecil,

"Yang Mulia"  

Raja tertawa kecil sambil mendesah.

"Namun tetap saja hal ini saya kurang mengetujuinya." protes Ratu lagi.

Raja tersenyum menenangkan,

"Jangan terlalu khawatir. Kanda sudah mendapat informasi kalau peraturan yang ada di sekolah itu sangat ketat. Disiplinnya juga sangat dijaga. Tata krama dan juga tingkah laku para siswa diarahkan dengan baik oleh pihak sekolah. Seragam yang mereka kenakanpun sangat sopan dan ada aturan yang berlaku untuk setiap pemakaian seragam. Murid tidak bisa menerima tamu yang tidak ada hubungannya dengan proses belajar mengajar, kecuali orang tua mereka. Peraturan yang diterapkan di sana benar-benar bagus dan ketat" jelas Raja.

"Tapi bagaimana bila gangguan itu datangnya dari para murid yang belajar di sana?" tanya Ratu lagi.

"Dinda, murid-murid yang belajar di sana, bukan murid-murid sembarangan. Mereka semua adalah pemuda pemudi yang lolos seleksi yang sangat ketat. Ada tingkat prestasi dan pencapaian nilai yang menjadi pertimbangan untuk bisa belajar di sana. Sekolah itu merupakan tempat berkumpulnya siswa-siswa berprestasi dan cerdas. Mereka tidak akan segan-segan memberikan beasiswa bagi murid-murid tak mampu yang prestasinya bagus dan men DO siswa kaya tapi tanpa prestasi. Ada target nilai yang tinggi yang diterapkan di sekolah itu setiap tahunnya, yang wajib dipenuhi. Jika mereka tidak bisa memenuhinya, walaupun mereka sudah lolos seleksi awal dan belajar di sana, sekolah tetap akan men DO mereka. Semua siswa yang belajar di sana, akan lebih sibuk memikirkan target nilai yang harus mereka capai, dibandingkan mengganggu Pangeran. Mereka pastinya tidak mau di keluarkan dari sekolah yang memiliki prestasi dan nama sebagus itu"

Ratu menundukan kepalanya pasrah,

"Jika Yang Mulia sudah mempertimbangkan segala sesuatunya dan merasa ini adalah keputusan terbaik bagi Putra Mahkota, saya hanya bisa mengikuti perintah Yang Mulia"

Raja tersenyum lembut pada Ratu,

"Dinda, Kanda mengerti semua harapan dan keinginan Dinda pada Pangeran Ivan. Kanda pun menginginkan hal yang sama" Raja menghela nafas.

Raja lalu meraih cangkir teh dan meminumnya. Sementara Ratu mengamati Raja dengan ekspresi sayang. Raja kemudian kembali meletakan cangkir teh dan menerawang dengan ekspresi sedih,

"Namun dibalik semua harapan dan keinginan itu, kita juga harus ingat. Pangeran masih sangat muda. Semestinya diusianya yang sekarang, hal-hal yang harus dilakukan dan dipikirkannya hanyalah belajar sambil menikmati masa mudanya. Berkumpul dengan teman-teman seusianya, juga pasti menjadi hasrat hatinya. Namun dia tidak bisa seperti itu. Setiap langkahnya, harus ada yang mengawasi. Apapun yang dilakukannya, harus dipertimbangkan baik dan buruknya serta pengaruhnya bagi image kerajaan. Semua teman-temannya, harus selalu diseleksi. Apa yang dia makan, apa yang dia kenakan atau apapun yang dia inginkan, semuanya ada yang mengatur dan Pangeran mau tidak mau harus melakukannya. Jika saja Pangeran Ivan bukan seorang pemuda yang bijaksana, Kanda yakin dia sudah lama berontak dengan semua keadaan ini seperti para pemuda lain pada umumnya" Raja menatap Ratu lembut. Ada sinar penuh kebanggaan di matanya, "Tapi kita sungguh beruntung memiliki seorang anak yang begitu berbakti dan bisa mengendalikan diri. Rakyat juga dianugrahi seorang calon pemimpin yang bijaksana dalam mengambil setiap tindakan. Oleh sebab itu, jika memang ada keinginan Pangeran yang bisa kita ikuti dan itu tidak melanggar aturan, apa salahnya jika kita sedikit memanjakan dirinya" terang Raja.

"Ternyata Yang Mulia begitu memperhatikan dan menyayangi Putra Mahkota. Saya benar-benar berterima kasih. Terima kasih karena sudah sangat menyayangi Putra Mahkota" ucap Ratu penuh haru.

Raja tersenyum kecil,

"Dinda mesti ingat. Pangeran Ivan bukan hanya putra Dinda. Dia juga darah daging Kanda. Apapun keinginannya, harapannya dan juga impiannya, Kanda tahu dan memahami. Hanya saja Kanda sungguh tak berdaya untuk memenuhi semua itu. Kekuasaan yang Kanda miliki, malah menjadi belenggu yang mengikat tangan dan kakinya. Kanda bisa merasakannya karena dulu Kanda juga pernah berada di posisinya." Raja terlihat melamun, "Harus ingat menahan diri, selalu tersenyum walau hati sedang sedih, dan jika ingin menangis... carilah tempat yang sepi. Jangan sampai didengar orang lain. Jangan melakukan ini, tidak boleh seperti itu, sudah menjadi makanan sehari-hari. Sejak dilahirkan, hidup hanya mengenal tiga hal kewajiban, kewajiban dan kewajiban. Semua hal itu ditanamkan di dalam pikiran bahkan sebelum Pangeran Ivan belajar bicara dan berjalan." ucap Raja dengan nada sedih.

 Raja menatap Ratu lagi sambil tersenyum,

"Kanda ingin sebisa mungkin meringankan beban yang dipikul oleh putra Kanda. Hingga nanti ketika sampai saatnya Putra Mahkota menerima tahta, dia bisa mengenakan mahkotanya dengan hati lapang dan tenang."

Ratu mengangguk dan tersenyum lembut pada Raja,

"Saya mengerti maksud Paduka. Saya akan menerima dan mengikuti petunjuk yang Paduka sampaikan" kata Ratu menunduk hormat.

Raja mengangguk sambil tersenyum pada Ratu.

@@@

Aya dan Riska berjalan berdampingan di lorong sekolah. Sesekali mereka membalas lambaian teman-teman mereka yang hendak pulang.

"Eh Ay, temenin aku ke toko buku lagi dong" pinta Riska.

 "Lagi? Sekarang lo pengen nyari buku apa?" tanya Aya.

"Bukan aku. Tapi abangku. Dia minta tolong dicarikan buku yang ada hubungannya dengan teknik pemijatan" jelas Riska.

"Teknik pemijatan? Abang lo aneh banget ya, Ris. Kemaren ia minta tolong dicarikan buku manfaat pijat refleksi bagi kesehatan. Sekarang dia malah minta dicarikan buku tentang teknik pemijatan. Abang lo kan sekolah di kedokteran. Seharusnya dia mencari buku tentang bedah membedah, bukannya tentang pijat memijat. Sebenarnya dia itu mau jadi dokter apa tukang pijat sih" kata Aya.

Riska menjitak kepala Aya,

"Pikiran lo tu yee. Abangku lagi bikin tugas, dia ingin tahu dampak pemijatan bagi kesehatan dan bagaimana pandangan dunia kedokteran mengenai hal tersebut" jelas Riska cemberut.

Aya tersenyum minta maaf sambil mengelus kepalanya yang dijitak Riska,

"Maaf...maaf. Aku kan cuma bercanda. Sadis amat sih." Ia lalu memeluk pundak Riska manja, "Maafin aku yaa, Riska cayannggg" bujuknya.

Riska pura-pura marah,

"Ya udah aku maapin. Tapi lo maukan nemenin aku ke toko buku?" tanyanya lagi.

Aya tersenyum,

"Maaf. Tapi sepertinya aku tidak bisa. Soalnya aku siang ini mesti kerja."

"Lo udah dapat kerja lagi, Ay? Kok nggak bilang-bilang sih!"

"Soalnya baru kemaren aku memutuskan untuk kerja di sini" jawab Aya ragu.

"Lo kerja dimana?"

Aya terlihat gugup,

"Mmm...itu...ngg...aku kerja di kantor kecil. Yah, jadi pesuruh gitu deh. Bantu bersih-bersih ama ngelap-ngelap kaca" jawabnya.

"Lo nggak apa-apa kerja begitu?" tanya Riska simpati

Aya tersenyum pahit,

"Mau bagaimana lagi, Ris. Terpaksa. Asal halal dan tidak ganggu sekolah. Itu yang paling penting" jelas Aya.

Riska menatap Aya penuh simpati. Namun Aya tiba-tiba berhenti berjalan, hingga membuat Riska bingung.

"Ada apa, Ay?"  

Aya bukannya menjawab pertanyaan Riska, dia malah melogo menatap lurus ke depan. Dengan wajah bingung, Riska ikut menatap ke arah pandangan Aya dan di sana ada Erick dan Jaja, yang sedang berjalan dari arah berlawanan.

"Lo nekat juga ya, Rick. Berani bolos dihadapan Pak Disiplin. Mampuskan lo jadinye" kata Jaja. Ia menepuk pundak Erick, "Seharusnya lo kagak usah masuk aja kaleee"

Erick memberikan Jaja tatapan jengkel,

"Lo enak ngomong begitu. Kalau pelajarannya Pak Linglung sih, aku tidak masalah. Tapi habis itukan pelajarannya Prof. Snape! Lo kan tahu sendiri bagaimana pelitnya Prof. Snape soal nilai. Sekali saja tidak masuk jamnya tanpa alasan yang jelas, alamat merah sudah di tangan!" wajah Erick terlihat kesal, "Kalau sampai nilai bahasaku merah, bisa-bisa aku bakal dipecat jadi warga negara ini."

Jaja nyengir mendengar ucapan kawannya itu,

"Ya jelas aje! Nilai bahasa Inggris lo pan sembilan. Masa nilai bahas ndiri ampe bisa merah. Lo bisa-bisa dianggap mata-mata negara asing! Spy, Man. Spy!"

Erick melotot pada Jaja,

"Lo pikir ini cerita James Bond!" Wajah Erick berubah cemberut, "Susah payah melewati pos satpam, ehh... nggak tahunya malah jatuh ketangan Pak Disiplin. Mana Prof. Snape ikut-ikutan melotot lagi. Ini sama artinya, sudah jatuh ketimpa tangga lalu dimakan buaya dan dipelototin ama macan!"

Jaja tertawa terbahak-bahak,

"Emang betul! Jangan lupa lo mesti nambahin satu lagi. Sudah jatuh ketimpa tangga lalu dimakan buaya dan dipelototin ama macan eeh.. tahunya kehimpit bata!" tawa Jaja. "Emang enaaak!"

Erick semakin cemberut. Ia menggerak-gerakan tangannya dengan lesu,

"Tanganku rasanya hampir patah ngangkatin semua bata dari gudang lantai dua ke kolam ikan di belakang sekolah. Mana pas di pos satpam, aku sempat disuruh push up 50 kali lagi!" keluhnya.

Jaja kembali tertawa terbahak-bahak,

"Kasihan amaaaat nasib lo, Rick! Kagak kapok-kapoknya lo masuk buku kasus. Kalo lo terus kayak gini, ntar lagi lo pasti bisa jadi binaragawan. Persis kayak Ade Rei! ERICK REI! Keren juga tuh! HUAHAHAHAHA!" tawa Jaja memegangi perutnya yang terasa sakit.

Erick hanya bisa menatap Jaja dengan ekspresi jengkel. Ketika itulah mereka berpapasan dengan Aya dan Riska. Aya menatap Erick penuh kekaguman, sementara Riska menatap Jaja dengan wajah ketakutan.

"Se... se... selamat siang, Senior" sapa Riska terbata-bata seraya menyenggol Aya, yang masih bengong.

"Eh... se... selamat siang senior" sapa Aya kaget sambil menunduk malu.

Riska menatap Aya heran.

"Selamat siang. Mau pulang?" sapa Erick ramah.  

"Benar, Senior" jawab Riska tersenyum pada Erick.

"Lalu siape nyang kasih lo lo pade, ijin untuk lewat sini. Terutama kalo senior lagi lewat! Kalo lo lo pade mau pulang, lewat kamar kecil noh!" pelotot Jaja pada Riska.

Riska menatap Jaja bingung,

"Maaf, Senior Jaja. Tapi dekat kamar kecilkan nggak ada pintu keluarnya?"

Jaja berkacak pinggang dengan wajah galak,

"Emang aye pikirin! Kalo kagak ade jalan, mestinya lo lo pade harus lebih kreatip. Percuma dong lo sekolah di sini kalo kagak bisa kreatip. Sekolah ini kagak pernah nerima murid yang tidak kreatip dan inopatip. Bolongin tembok kek, loncatin pagar kek, aye kagak peduli! Pegi sono!" perintah Jaja.

Aya menjadi jengkel mendengar omelan Jaja. Namun ia berusaha menahan rasa jengkelnya karena teringat sumpah janji junior. Aya lalu mencoba tersenyum semanis mungkin pada Jaja,

"Aduh, Senior Jaja yang tampan dan baik hati! Senior emang paling pintar bercanda. Senior lucu deh. Aya jadi tambah kagum ama Senior. Udah baek, pinter, ganteng lagi. Persis sepertiii... seperti..."

Jaja, Erick dan Riska menatap Aya,

"Seperti siapa?" tanya mereka serentak.

Aya kembali tersenyum manis pada Jaja,

"Seperti pemeran utama film KING KONG!" jawabnya.

Jaja, Erick dan Riska bertambah bingung,

"Pemeran utama film King Kong?" bisik mereka.

Dalam otak mereka seketika terbayang cuplikan film Kingkong.

Jaja tiba-tiba menatap Aya sambil tersenyum bangga,

"Yah memang bener! Kalo aye pikir-pikir, wajah aye ini emang mirip sama salah satu aktor Hollywood. Aye kan ada hubungan sodara ama Brad Pitt. Nama tengah aye aje, Jaja 'Pitt' Suharja. Atau lebih dikenal dengan singkatan Jaja P Suharja. Soalnye aye kagak mau nyombongin diri" kata Jaja berlagak keren.

Aya, Riska dan Erick menatap Jaja dengan ekspresi ingin muntah.

"Eh, Jak. Setahuku namamu itukan Jaja Putranya Suharja. Jangan asal lo kalo ganti nama! Emak lo kan sampai nyembelih kambing sebelum ngasih lo nama itu. Kasihan kambingnya, Jak! Pengorbanannya sia-sia. Jangan sampai deh, Jak, lo jadi kacang yang lupa sama kambingnya... eh kulitnya" ralat Erick.

Jaja melotot pada Erick sembari menyikutnya,

"Hus...diam aja napa?! Kagak bisa ngeliat orang senang lo!"

Aya dan Riska menundukan kepala mereka menahan tawa. Jaja lansung menghadiahi mereka pelototan yang semakin garang,

"Ape ketawa-ketawa?! Berani lo ama senior?! Mau diospek lagi?!" ancamnya.

Aya dan Riska menggeleng ketakutan,

"Maaf, Senior!

Erick menepuk pundak Jaja,

"Sudahlah, Jak. Jangan sadis ama cewek" bujuknya.

"Benar, Senior" kata Aya dengan wajah memelas. " Berbaik hatilah pada kami. Senior tidak maukan kalau nama baik senior sebagai saudaranya Brad Pitt tercemar" tambahnya lagi.

Erick memalingkan mukanya menahan senyum. Sementara Jaja semakin terlihat sok aksi.

Jaja mengangguk-anggukan kepalanya dengan angkuh,

"Benar ape lo kate. Aye kagak boleh nyemarin nama baik abang aye Brad Pitt" Jaja lalu menatap Aya dan Riska dengan wajah senang,

"Baiklah. Berhubung mood aye hari ini sedang baek, lo lo pade aye kasih ijin buat lewat jalan ini dengan satu syarat, yakni lo lo pade mesti ngucapin sumpah janji junior dengan cara mengganti semua huruf vocal dengan huruf A! Ayo dimulai!" perintah Jaja.

Aya dan Riska saling pandang dengan wajah pasrah,

"Sampah janja janaar! Pasal sata, sanaar tadak parnah salah. Pasal daa, kalaa sanaar salah, kambala ka pasal sata!" ucap mereka.

Jaja dan Erick tersenyum kecil mendengar hal itu.

"Bagus...bagus! Kalian aye izinin pulang. Assalammualaikum!" kata Jaja dengan gaya sok cool.

Jaja beranjak pergi dengan angkuh. Aya dan Riska menatap hal itu dengan wajah manyun. Erick hanya bisa geleng-geleng kepala. Erick lalu tersenyum ramah pada Aya dan Riska.

"Jangan diambil hati. Kalian kan tahu sendiri bagaimana Jaja" Erick lalu menatap Aya, "Lagian kau sudah membalasnya. Pemeran utama film King Kong?! Hebat juga kamu sampai terfikirkan hal itu!" puji Erick sambil mengedipkan matanya dengan jenaka.

Aya tersenyum malu,

"Senior bisa saja!" katanya menundukan wajahnya yang memerah.

Erick tersenyum,

"Kalau begitu aku duluan ya. Bye!" pamitnya seraya berajak pergi menyusul Jaja.

Aya menatap kepergian Erick dengan tatapan penuh kekaguman. Tiba-tiba Riska menepuk jidatnya Aya,

"Oi.. bangun! Orangnya sudah pergi tuh!" serunya.

Aya tampak cemberut mengelus jidatnya,

"Sakit tahu!"

Dengan gaya tak acuh, Riska memeluk pundak Aya dengan santai,

"Jadi ceritanya lo naksir senior Erick, Ay" katanya.

"Si.. siapa bilang!" elak Aya gagap.

"Alaah! Jangan boong deh. Jempol kakiku saja bisa liat kok, kalau lo itu kesemsem ama Senior Erick. Ilermu malah ampe keluar, saking terseponanya melihat Senior Erick"  

Aya spontan membersihkan mulutnya,

"Nggak kok. Nggak ada ilernya!" bantahnya.

Riska tersenyum sambil geleng-geleng kepala,

"Dasar lo, Ay!"

Aya kembali berjalan. Sementara Riska mengikutinya sambil merangkul pundak Aya dengan santai,

"Ooh ya, Ay. Btw, pemeran utama film King Kong yang mirip Senior Jaja siapa sih?! Perasaan nggak ada deh aktor yang segitu itemnya sampe mirip ama Senior Jaja yang sok cool dan ganteng itu!" kata Riska geram.

Aya tersenyum kecil,

"Siapa bilang nggak ada. Ada kok!"

"Siapa?"

Aya berhenti berjalan dan menatap Riska,

"Kingkongnya! Itemkan!" jawabnya lagi.

Riska melongo bengong,

"King Kongnya?!" ia kemudian tersadar dan mulai tertawa terbahak-bahak, "Gilaaa! Emang keterlaluan lo, Ay! Bisa-bisanya lo samain Senior Jaja ama kingkong! Mana dia nggak marah lagi dibilang mirip kingkong. Huahahahaha... tapi emang mirip sih! Huahhaha.." tawa Riska terbahak-bahak.

@@@

Jaja dan Erick mendekati sepeda mereka yang terparkir di parkiran. Tiba-tiba hp Erick berbunyi. Erick menatap layarnya sebelum kemudian mengangkatnya,

"Ada apa, Bro?" tanya Erick pada Ivan yang menelponnya.

Ivan sedang bersandar santai di pinggir meja belajarnya sambil meremas-remas bola kesayangannya,     

"Sudah pulang?" tanya Ivan.

"Baru mau. Kenapa?"

"Tidak. Aku hanya tidak sabar ingin menyampaikan kabar gembira padamu"

Erick duduk di atas sepedanya,

"Kabar gembira apa? Kau menang lotre?"

Ivan tersenyum kecil. Ia menatap sepatu Aya yang ada di atas meja belajarnya dan mengelus sepatu itu,

"Mulai Senin depan, aku akan menjadi teman sekelasmu" jawab Ivan.

 "Whats?!" teriak Erick kaget.  

Jaja yang sedang memundurkan sepedanya dari parkiran, spontan memalingkan wajahnya menatap Erick heran.

"Serious?! You are not joking right?! Memangnya Tuanku Yang Mulia sudah setuju?!" kata Erick tak percaya.

Ivan mengamati sepatu Aya,

"Sudah. Aku bahkan sudah terdaftar di sekolahmu hari ini. Tapi secara resmi, aku baru akan mulai masuk Senin depan" jelas Ivan.

Erick tersenyum senang,

"Syukurlah kalau memang begitu. Aku ikut senang. Tenang sajaaaa, selama kau ada di sini, aku akan menjagamu!"

Ivan tersenyum masam,

"Tidak perlu! Aku bisa menjaga diriku sendiri"

Tiba-tiba terdengar ketukan dari arah pintu ruang belajar Ivan. Pak Harun lalu masuk dan memberi hormat. Ivan menatap Harun sesaat, sebelum kembali bicara pada Erick,

"Sudah dulu ya. Ada panggilan tugas" katanya.

"Eh, Van, tunggu dulu!" panggil Erick.

"Ada apa?"

"Mmm... kau sudah yakin dengan keputusanmu ya, untuk belajar di sini? Aku berharap kau tidak akan menyesalinya nanti"

"Memangnya kenapa? Bukankah kau sendiri yang mengatakan kalau sekolahmu itu sangat menyenangkan?!" tanya Ivan dengan heran.

"Benar sih. Tapi aku tetap berharap kau bersiap-siap. Paling tidak, kau harus meminta dokter kerajaan menambahkan aspirin dalam daftar obatmu. Itu yang paling penting" jawab Erick.

"Aspirin?" tanya Ivan heran.

Erick tersenyum kecil,

"Ya. Aspirin. Oke, Bro. Aku tutup dulu ya. Selamat berjuang dan semoga kau bisa bertahan sampai akhir! Sampai jumpa nanti malam" pamit Erick yang kemudian mematikan hp nya.

Ivan menatap hp nya dengan wajah bingung,

"Apa sih maksudnya?"

Sementara itu, Erick menatap Jaja dengan pandangan iba. Jaja membalas tatapannya dengan wajah bingung,

"Ade ape, Rick? Muka lo lecek amat?! Mana pake teriak-teriak lagi. Kayak orang mau beranak aja lo" kata Jaja.

Erick turun dari sepedanya dan mendekati Jaja. Ia kemudian memegang pundak Jaja dengan wajah simpati sambil menghela nafas,

"Maaf, Jak. Kelihatannya peringkat kita dalam daftar cowok paling favorit di sekolah ini, akan bergeser turun. Kedepan, langkah kita dalam menerima tatapan penuh pemujaan dari gadis-gadis, akan semakin sulit" kata Erick menepuk-nepuk pundak Jaja seakan memberi semangat.

Erick kembali memutar badan mendekati sepedanya sambil menghela nafas dan menggeleng-gelengkan kepalanya dengan ekspresi berduka.

 "Habis terang terbitlah gelap!" katanya dengan nada puitis, sebelum kemudian menaiki sepedanya

Jaja semakin bingung melihat ulah temannya itu.

@@@

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun