Kasus Vina sudah seperti bola panas yang terus bergulir, yang tak kunjung padam. Selama delapan tahun, polisi gagal menguak siapa pelakunya, ajaibnya hanya dalam delapan hari setelah kasus ini viral di media sosial karena tayangnya film "Vina Sebelum 7 Hari" di Bioskop, mereka berhasil menangkap tersangka utama. Publik pun bertanya-tanya, ada apa sebenarnya yang terjadi? Kok bisa-bisanya delapan tahun tidak ada kabar, tapi delapan hari viral langsung tancap gas? Selama bertahun-tahun, kasus ini seakan menjadi misteri yang tak terpecahkan, polisi seolah-olah jalan di tempat.Â
Namun, begitu kasus ini ramai diperbincangkan netizen karena tayangnya film yang mengangkat isu ini, polisi mendadak gerak cepat. Ini kebetulan atau ada yang disembunyikan? Masyarakat mulai curiga, asumsi-asumsi liar pun mulai berdatangan, jangan-jangan ada permainan di balik layar.
Salah tangkap jadi isu panas. Dari delapan orang yang ditahan, nyatanya lima di antaranya diduga tidak bersalah. Pengacara para terdakwa sampai menuding polisi merekayasa bukti. Ini jelas bikin panas kuping. Lalu kemudian, bagaimana bisa deskripsi fisik tersangka utama yang dirilis polisi beda jauh dengan yang saat ini menjadi terdakwa? Ini jelas pertanyaan yang butuh jawaban dan menimbulkan sebuah kecurigaan baru atas adanya praktik salah tangkap.Â
Jika asumsi ini benar adanya jelas bikin rugi banyak pihak. Tidak hanya para tersangka yang mungkin tidak bersalah, tetapi juga kepercayaan publik yang semakin menipis. Ketidakpercayaan ini bikin sistem hukum kita jadi lemah. Kalau rakyat tidak percaya lagi pada polisi, apa jadinya penegakan hukum kita?
Kasus salah tangkap tercatat selalu ada setiap tahunnya Contohnya saja guru ngaji yang ditangkap dan dipaksa mengaku sebagai begal ketika ia sedang bersantai di Masjid. Cerita-cerita ini semakin panjang, menambah daftar panjang pelanggaran yang dilakukan oleh oknum polisi. Ini bukan lagi masalah sepele, tapi sudah darurat.
Masyarakat menuntut reformasi besar-besaran di tubuh kepolisian. Ini bukan soal citra lagi yang mana hampir 1 triliun dana digelontorkan untuk memperbaiki citra kepolisian, tapi lebih dari pada itu hal terpenting dilakukan adalah dengan membersihkan institusi dari oknum-oknum korup dan tidak profesional. Tanpa reformasi menyeluruh, kepercayaan masyarakat terhadap polisi akan terus tergerus.
 Kita akan terus hidup dalam bayang-bayang ketidakadilan. Reformasi ini harus mencakup pelatihan yang lebih baik, pengawasan internal yang ketat, dan transparansi penuh dalam setiap penyelidikan. Polisi harus diawasi lembaga independen yang berani mengusut tuntas setiap penyalahgunaan wewenang. Hukuman tegas harus diberikan kepada oknum yang terbukti bersalah untuk memberikan efek jera dan memulihkan kepercayaan publik.