Inspirasi menulis artikel ini saya dapat ketika menemani kawan berkunjung ke Bank Sampah Gemah Ripah yang berada di Bantul, Yogyakarta.
Menjamurnya kos-kosan di daerah Yogyakarta membuat saya berpikir adakah sesuatu yang bisa dimanfaatkan dari kehadiran bangunan minim nilai arsitektur yang penuh sampah-sampah berserakan akibat ulah manusia-manusia di dalamnya ini. Ide-ide berseliweran dalam otak mini. Namun, tak satupun dari ide-ide tersebut nampak masuk akal. Ya, itu dulu.
Beruntungnya beberapa pekan lalu, saya berkunjung ke salah satu bank sampah yang ada di Bantul.
Sebelumnya, saya sama sekali tak tahu menahu mengenai sepak terjang dari bank sampah ini. Wong saya ke sana pun diajak oleh kawan yang kebetulan mendapatkan tugas wawancara di sana. Karena pada dasarnya nganggur, tergeraklah hati ini untuk menemani teman saya.
Di sana, saya tak berhenti berdecak kagum ketika salah satu mbak-mbak pengelola bank sampah itu menceritakan apa dan bagaimana sistem bank sampah bekerja.
Mbaknya menceritakan dengan semangat sambil saya yang tak kalah semangat juga mendengarkannya. Panjang lebar mbaknya bercerita dan saya akhirnya dapat memahami apa dan bagaimana sistem bank sampah bekerja.Â
Secara sederhana bank sampah merupakan tempat penukaran sampah menjadi uang. Sistemnya, tiap minggunya masyarakat yang mendaftar menjadi nasabah menabung sampah kering/anorganik ke bank sampah untuk nanti total tabungannya diakumulasikan menjadi nilai moneter.
Dan menariknya lagi, tersedia juga buku tabungan bagi nasabah. Benar-benar sesuai dengan karakteristik bank pada umumnya.
Sampah yang diperoleh dari nasabah oleh bank sampah akan dijual ke perusahaan pemborong sampah. Ataupun seringkali dimanfaatkan oleh bank sampah untuk didaur ulang menjadi barang-barang bernilai jual.
Hasil dari penjualan sampah ke perusahaan ataupun penjualan barang daur ulang itu yang nantinya dikembalikan ke masyarakat.