Ketiga, ibu kos bisa membuka sumber pendapatan baru dengan menjual sampah seluruh kosan yang tentunya tidak sedikit jumlahnya.
Bayangkan saja, menurut data di buku tabungan Bank Sampah Gemah Ripah, setiap rumah tangga rata-rata mampu menghasilkan Rp100.000-Rp200.000 per tiga bulannya. Apalagi kos-kosan yang jumlah kepalanya jauh lebih banyak.
Hasil dari pendapatan ini mungkin sebagian bisa dimanfaatkan sebagai insentif ke penduduk kosan supaya lebih tertib lagi memilah sampah.
Hal itu mengikuti cara satu-satunya ibu kosan yang menjadi nasabah Bank Sampah Gemah Ripah, sebagaimana diceritakan oleh mbak pengelola Gemah Ripah, beliau memberi voucher makan gratis ke mahasiswanya dengan syarat tertib dalam memilah sampah. Saya sebagai mahasiswa pasti langsung ambyar apabila ditawarin sesuatu yang gratisan.
Keempat, kemungkinan besar para ibu kos akan diberi insentif dari pemerintah entah berupa uang atau bantuan non-materiil lainnya karena ikut menyukseskan program untuk meminimalisir penggunaan TPA yang semakin membludak kapasitasnya. Jujur ini ide paling masuk akal yang pernah melintas dalam otak mini ini.
Mungkin ide ini harus ditunjang oleh keberadaan komunitas ibu kos se-Yogya raya supaya mudah mengkoordinasikan beliau-beliau. Bisa dibuat grup WA atau semacamnya.
Kemudian pengelola dari beberapa bank sampah bisa join ke grup untuk memberitahukan kapan waktu pengangkutan dan berapa jumlah tabungan masing-masing mereka. Menarik.
Saatnya berdoa untuk diri pribadi (mungkin juga untuk anda yang membaca artikel ini). Semoga bisa bertemu ketua persatuan ibu kos se-DIY (kalau eksis). Bercerita ria dengan mereka perihal bank sampah. Supaya bisa dicatat oleh sejarah sebuah gerakan edan mengenai sampah.
Mungkin, kalau cara ibu kos ini berhasil tak menutup peluang bagi aspek lain untuk berperan serta. Warung burjo mungkin. Siapa tahu. Tapi tetap tunggu skema ibu kos ini berhasil.
Bersatulah pasukan ibu kos. Tak ada yang tak mungkin.
Mari berharap!