Ideas run wild without discussion - Serge King
Duduk melingkar, saling mendengarkan, terpukau tiap jiwanya akan pikiran orang lain, mendekatkan yang sebelumnya jauh, hingga terciptalah intelektualisasi dalam diri orang-orang yang berada dalam sebuah forum tersebut. Ya, begitulah kira-kira gambaran yang terbayang dalam benak ketika seseorang melemparkan kata diskusi ke telinga saya.
Menarik apabila memperbincangkan agenda kuno (baca: diskusi) di masa ketika pragmatisme dan hedonisme menjadi bintang kehidupan orang-orang terpelajar.Â
Tak dipungkiri bahkan untuk diri saya sendiri bahwa ajakan untuk menonton film di bioskop dan berkaraoke ria menjadi jauh lebih seksi dibanding ajakan untuk mengikuti sebuah forum diskusi.Â
Diskusi dipandang sebagai budaya yang melelahkan dan penuh perdebatan. Dampaknya sederhana. Orang lebih menyukai berbuat anarkis di jalanan karena itu adalah cara yang paling praktis dalam menyelesaikan masalah. Juga barangkali bertebarannya fitnah bak debu di lalu lintas sosial media kita juga akibat dari minimnya minat manusia Indonesia hanya untuk duduk dan bertatap muka satu sama lainnya. Mendiskusikan berbagai macam pandangan/ide. Berharap nantinya akan dieksekusikan ide tersebut.
Kini nampak diskusi dipandang sebagai sesuatu yang mewah. Naik harganya dari yang dulu sungguh murah. Dari pengalaman saya di kampus, orang mengadakan diskusi kini memang mahal. Sewa ruangan sana-sini. Wajib menyediakan minuman, jajan, bahkan sekaligus masakan padang. Bahkan terkadang orang datang tidak ingin menikmati indahnya seni dalam berdiskusi. Namun, hanya ingin mengambil suguhan pangan di dalamnya.Â
Teringat film Dead Poets Society (1989) yang mengajarkan bahwa forum diskusi bisa dimulai dari teman-teman dekat kita. Film itu juga mengajarkan bahwa materi dalam diskusi tak harus persoalan yang serius, bahkan mendiskusikan teman kita yang sedang putus cinta pun bisa membawa kita kepada penemuan ide besar dalam menjalani hubungan percintaan. Asalkan diskusi tersebut menjadi hal yang berbudaya dan berkelanjutan.
Dari film itu saya membayangkan bahwa apabila tiap-tiap lingkaran sosial manusia mampu menciptakan kondisi diskusi yang begitu menyenangkan dan murahnya, tak mengagetkan apabila akan terjadi perubahan besar dalam relung pemikiran kita.Â
Budaya turun ke jalanan akan semakin hilang tergantikan dengan diskusi murahan antar pihak yang berkepentingan. Tebaran fitnah akan pudar dengan seiring ditatapkan muka antar pihak yang berbeda pandangan untuk duduk berdiskusi ria. Bertambah panjanglah "sumbu" kita yang sempat memendek akibat kejadian-kejadian yang memecah belah belakangan ini.Â