Proses kasus BOT saat ini masih bergulir di Kejaksaan Agung. Saat ini sedang menyelidiki kasus ini dengan memanggil saksi yang dianggap dapat mengungkap kebenaran dalam Kontrak Kerjasama BOT antara PT. PT Hotel Indonesia Natour (HIN) dengan PT. GI. Langkah yang diambil oleh Kejaksaan Agung ini banyak menuai kritik karena ini merupakan domain perdata, yang dalam penyelesaian nya tidak bisa serta-merta menjadi perkara pidana. Ada baiknya Kejagung bersikap adil dan proporsional dalam perkara ini.
Perkara ini berawal ketika direktur PT. Hotel Indonesia Natour (HIN) Michael Umbas yang baru ditunjuk melaporkan bahawa PT Cipta Karya Bumi Indah telah membangun dan mengelola gedung Menara BCA dan Apartemen Kempinski yang tidak ada dalam perjanjian BOT antara kedua belah pihak.
 Akibatnya diduga tidak diterimanya bagi hasil yang seimbang atau tidak diterimanya pendapatan dari operasional pemanfaatan kedua bangunan tersebut sehingga mengakibatkan kerugian Negara yang untuk sementara adalah sekitar 1,29 triliun rupiah. Namun berdasarkan data dan dokumen diketahui bahwa PT. HIN ternyata sebenarnya mengetahui hal tersebut, atau bahkan menyetujui pembangun kedua gedung tersebut. (Lihat gambar)
[caption caption=" (sumber: http://www.kompasiana.com/ninodumanauw"][/caption]
[caption caption="(Sumber: http://www.kompasiana.com/ninodumanauw)"]
[caption caption="(sumber: http://www.kompasiana.com/ninodumanauw)"]
Pada dasarnya untuk menyetujui dan menandatangani perjanjian BOT, Â pemerintah tidak benar-benar melakukan pekerjaan, aset bisnis yang dimiliki dikerjakan bersama dengan swasta. Nah, dalam bisnis pasti ada kemungkinan kehilangan keuntungan, dan sebaliknya. Jika pemerintah merasa ada kerugian, memang harus mempertimbangkan kembali kesepakatan itu.
Jika memang dianggap terdapat wanprestasi atau pengingkaran atau pelanggaran perjanjian Disini pemerintah dapat melakukan penyelesaian secara non-litigasi dengan cara negosiasi maupun mediasi. Namun dapat dipahami, bahwa kita kembali kepada prinsip pacta sunt servanda yang dituangkan di dalam KUHPerdata pasal 1338. Tentang "asas kebebasan berkontrak" yang mendefinisikan bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Pihak PT. HIN dalam hal ini juga harus berhati-hati jika ingin melakukan Pemutusan hubungan perjanjian. Apabila pemerintah melakukan pemutusan hubungan perjanjian kerja secara sepihak, maka telah terjadi pelanggaran hukum dan pihak investor dapat menggugat Pemerintah dengan dasar Perbuatan Melanggar Hukum/Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sebagaimana yang terdapat di dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Pihak Investor dapat saja meminta beberapa petitum terkait status kejelasan BOT, ataupun meminta petitum tambahan berupa"Ganti Kerugian" di dalam gugatannya kepada Majelis Hakim.
Baik Kejaksaan Agung ataupun PT. HIN spertinya sudah mengambil tindakan yang salah dalam menyikapi perselisihan Pada Kontrak Kerjasama BOT yang di tuduhkan merugikan negara. PT. HIN yang menggemborkan berbagai macam tuduhan dalam pelanggaran kontrak BOT seolah enggan mundur walaupun sudah dianggap tidak ada pelanggaran dalam perjanjian kerjasama BOT. Terlebih Kejaksaan Agung yang seharusnya mengusut delik/kasus pidana telah terlanjur memanggil saksi-saksi. Padahal perjanjian antara kedua Perusahaan PT. HIN dengan PT. GI ini merupakan ranah perdata. Langkah kedua lembaga negara ini saya nilai akan menjadi sebuah kombinasi blunder yang dilakukan oleh pemerintah.
Â