Pemerintah Orde Baru menunjukkan bagaimana media dapat mengendalikan topik dan sudut pandang yang mendominasi diskursus publik. Dalam hal ini, ancaman PKI menjadi topik utama yang selalu diangkat, sehingga masyarakat terfokus pada bahaya tersebut dan mendukung langkah-langkah pemerintah untuk memberantas komunisme.
pemerintah Orde Baru juga menggunakan komunikasi untuk membangun dan mempertahankan legitimasi kekuasaan mereka. Pemerintah menggambarkan diri mereka sebagai penyelamat bangsa yang berhasil menggagalkan kudeta dan melindungi negara dari bahaya komunisme, mendapatkan dukungan luas dari masyarakat.Â
Dalam kasus ini, pemerintah Orde Baru berhasil membangun citra mereka sebagai pihak yang sah dan berhak memimpin dengan memanfaatkan peristiwa G-30 S-PKI sebagai pembenaran.
Dengan memonopoli narasi tentang peristiwa tersebut dan menampilkan diri sebagai penyelamat bangsa, pemerintah Orde Baru berhasil melegitimasi kekuasaannya di mata publik. Ini adalah contoh bagaimana legitimasi kekuasaan dapat dibangun melalui kontrol narasi dan penggunaan komunikasi strategis.
Pengaruh peristiwa G-30 S-PKI dan respons pemerintah Orde Baru terhadapnya masih terasa hingga kini. Narasi yang dibangun oleh pemerintah Orde Baru telah membentuk pandangan banyak orang tentang komunisme dan peran PKI dalam sejarah Indonesia. Selain itu, stigma terhadap komunisme masih kuat di masyarakat, mempengaruhi kebijakan politik dan sosial hingga sekarang.
Perspektif sosiologi komunikasi menunjukkan bahwa narasi dan simbol yang dibentuk melalui media memiliki kekuatan untuk membentuk pemahaman kolektif masyarakat. Ini juga menekankan pentingnya literasi media dan kesadaran kritis dalam menghadapi informasi yang disebarluaskan oleh media massa.
Kesimpulan :
Jenderal Besar Dr. A. H. Nasution adalah figur yang tidak hanya berperan sebagai pemimpin militer, tetapi juga sebagai saksi sejarah yang penting dalam peristiwa G-30 S-PKI. Melalui analisis sosiologi komunikasi, kita dapat memahami bagaimana peristiwa ini tidak hanya merupakan kisah tragis dalam sejarah Indonesia, tetapi juga refleksi dari kekuatan media dan komunikasi dalam membentuk opini publik dan legitimasi kekuasaan. Dengan memahami konteks ini, kita dapat belajar dari pengalaman masa lalu untuk menjaga kritisisme dan kesadaran dalam menghadapi informasi yang disampaikan oleh media massa.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H