Kita pasti pernah tersesat saat melakoni perjalanan. Terjebak di tempat asing yang gelap dan sama sekali tak dikenali. Kita juga pernah berkeringat dingin saat menghadapi ujian pendadaran atau ketika harus tampil di muka umum. Pernah frustasi saat tak jua mendapat kerja padahal  anak istri menanti penuh harap di rumah. Tapi yang lebih parah, kita pernah berada di posisi tak berdaya saat orang-orang yang kita sayangi mengalami sakit parah.
Semuanya itu bernama rasa takut. Suatu perasaan tidak mengenakkan yang sesungguhnya ingin kita hindari, tetapi selalu saja menghampiri. Leo Tolstoy dalam novelnya "Master and Man" yang terbit 1895, menggambarkan sosok Vasili Andreevich Brekhunov, seorang pedagang kaya, terjebak dalam badai salju bersama pelayannya. Sepanjang perjalanan, ia menghadapi ketakutan mendalam akan kematian dan kehilangan kekuasaannya. Ia takut kehilangan harta dan kekuasaan, takut mati sendirian, serta takut menyadari bahwa hidupnya dihabiskan untuk keserakahan.
Para filsuf eksistensialis seperti Martin Heidegger dan Jean-Paul Sartre melihat rasa takut sebagai sesuatu yang melekat dalam keberadaan manusia.
Heidegger membedakan antara ketakutan (Furcht) dan kecemasan (Angst). Ketakutan muncul ketika ada ancaman konkret dari dunia luar, misalnya takut akan binatang buas. Kecemasan, sebaliknya, adalah perasaan tidak nyaman yang muncul dari kesadaran bahwa keberadaan manusia tidak memiliki dasar yang tetap dan bahwa kita pada akhirnya akan menghadapi kematian.
Sartre juga melihat rasa takut dalam konteks kebebasan manusia. Baginya, manusia merasa takut karena harus memilih dan bertanggung jawab atas pilihan-pilihan mereka sendiri.
Dalam psikologi, rasa takut adalah respons emosional terhadap ancaman nyata atau imajiner. Ini merupakan mekanisme bertahan hidup yang telah berkembang untuk membantu manusia menghindari bahaya. Rasa takut melibatkan reaksi biologis, kognitif, dan perilaku, yang semuanya saling berkaitan.
Dari sudut pandang 'psikologi filosofis', Baruch Spinoza berpendapat bahwa ketakutan adalah bagian dari hasrat manusia yang sering kali didasarkan pada ketidaktahuan. Menurutnya, manusia sering kali takut akan sesuatu karena mereka tidak memahami penyebabnya. Oleh karena itu, pengetahuan dapat membantu manusia mengatasi rasa takut dengan lebih rasional.
Seperti saat kita terjebak di jalanan antah berantah di malam hari. Kita sama sekali tak mengenali area sekitar, sehingga memicu rasa takut terhadap bahaya yang mengancam. Entah itu hewan buas, begal atau kecelakaan akibat kurangnya pemahaman medan. Semua ketakutan itu akan lenyap jika pernah melewatinya, berkendara di siang hari, di tempat yang kita kenali medannya sehingga bisa memitigasi resikonya.
Dalam konteks 'psikologi evolusi', Charles Darwin menyatakan bahwa rasa takut adalah mekanisme bertahan hidup yang berkembang secara evolusi untuk melindungi manusia dari bahaya. Misalnya, ketakutan terhadap ular atau ketinggian berkembang karena faktor adaptasi, di mana leluhur kita yang menghindari bahaya memiliki peluang lebih besar untuk bertahan hidup. Darwin dalam bukunya" The Expression of the Emotions in Man and Animals" menjelaskan bahwa ekspresi rasa takut bersifat universal dan telah berevolusi di banyak spesies.
Di sisi lain, 'psikologi kognitif' berfokus pada bagaimana pikiran kita memproses rasa takut. Aaron Beck mengembangkan Cognitive Behavioral Therapy (CBT) yang membantu orang mengatasi ketakutan dengan mengubah pola pikir negatif.