Hari Santri bukan sekadar momen selebrasi penuh euforia, melainkan saat yang tepat untuk merenungkan perjalanan sebagai santri dan mendekatkan diri kepada Ilahi. Saya teringat awal 2009, saat pertama kali menjadi santri di Ma'had Al Ulya MAN Sumenep. Pengalaman itu bukan hanya soal menuntut ilmu agama, tetapi juga tentang bagaimana belajar hidup mandiri, menguatkan jiwa dan raga, serta terus berupaya mencari ridha Allah.
Setelah dua tahun menjadi santri biasa, pada tahun ketiga saya dipercaya menjadi pengurus ibadah. Tugas menata ibadah para santri dan membangunkan mereka setiap pagi memberikan makna tersendiri. Itu bukan sekadar rutinitas, melainkan sebuah pelajaran hidup yang menuntun saya hingga hari ini.
Warisan semangat itu kini dilanjutkan oleh keponakan saya, Danang Tri Harso, yang sejak 2019 menjadi santri di Pondok Pesantren Assalafi Al-Fitrah Kedinding, Surabaya. Saya masih teringat pesan almarhum Bu Nurmi, embahnya Danang, yang penuh kasih berpesan sebelum beliau wafat, "Nitip adeknya ya." Sebuah pesan sederhana namun mendalam, mengingatkan kami untuk saling menjaga dan berbuat kebaikan.
Menjadi santri bukan hanya tentang belajar di pondok, tapi juga tentang menjadi pribadi yang bermanfaat bagi keluarga, umat, dan bangsa. Setiap hari adalah pelajaran yang tak ternilai, dan semoga kita semua bisa terus mendekat kepada Ilahi di setiap langkah hidup kita.
Selamat Hari Santri 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H