Politik di negeri ini kerap kali terjebak dalam lingkaran setan uang dan ambisi. Para kandidat yang maju dalam pemilihan kepala daerah sering mengeluarkan dana besar demi mendapat dukungan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Namun, di balik itu, ada sebuah dilema yang lebih besar: legitimasi moral yang kabur di kedua sisi. Apakah salah jika seorang politisi yang telah menghabiskan banyak modal kemudian merasa perlu 'mengembalikan' investasi tersebut melalui korupsi?
Bagi banyak pelaku politik, keputusan untuk korupsi seolah-olah adalah konsekuensi logis dari biaya besar yang mereka keluarkan. Namun, mari kita lihat ke cermin: para pemilih yang dengan mudah menerima uang untuk mencoblos kandidat tertentu, lalu menyalahkan politisi yang korup, apakah benar-benar berbeda?
Jika kita, sebagai pemilih, rela menjual suara kita demi sejumlah uang, maka kita sebenarnya telah mengambil bagian dalam siklus korupsi tersebut. Satu tangan memberikan uang, dan tangan lain menerimanya. Menerima uang untuk memilih bukan hanya soal pragmatisme, tetapi juga soal nurani. Apakah pilihan yang kita buat berdasarkan keinginan untuk perubahan yang lebih baik, atau hanya karena materi yang diterima sesaat?
Politik uang tak hanya merusak demokrasi, tetapi juga mengikis moralitas bangsa. Jika kita menginginkan politisi yang bersih, maka kita pun harus menjadi pemilih yang bersih. Korupsi bukan hanya milik politisi, tetapi juga tanggung jawab kita semua sebagai bagian dari proses demokrasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H