Mohon tunggu...
Keko Aiku
Keko Aiku Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi

Seorang pemuda yang ingin tulisannya bagus dengan mencoba menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bahaya Konten Media Sosial sebagai Alat Framing dalam Politik

18 Januari 2024   22:16 Diperbarui: 18 Januari 2024   22:21 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Peningkatan pengguna internet terus menunjukkan peningkatan pengguna yang signifikan. Hingga kuartal II tahun 2020, jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 196,7 juta, mencakup sekitar 73,7% dari total populasi (Jatmiko, 2020). Hasil riset dari Wearesocial Hootsuite pada bulan Januari 2019 menunjukkan bahwa pengguna media sosial di Indonesia mencapai 150 juta atau setara dengan 56% dari populasi keseluruhan. Lebih lanjut, jumlah pengguna media sosial melalui perangkat gadget mencapai 130 juta, yang merupakan sekitar 48% dari jumlah total penduduk (databoks, 2019).

Dalam era digital yang kian berkembang, peran media sosial dalam membentuk opini publik dan memengaruhi kebijakan politik semakin memunculkan perhatian. Media sosial, dengan kekuatan globalnya, bukan hanya menjadi wadah bagi pertukaran informasi tetapi juga dapat digunakan sebagai alat framing dalam politik. Meskipun media sosial memiliki potensi untuk adanya akses informasi, penggunaan kontennya sebagai alat framing dalam politik membawa sejumlah bahaya yang dapat mengancam integritas proses demokratis.

Bahaya yang paling mencolok adalah manipulasi opini publik. Konten media sosial yang diframing dengan sengaja dapat mengarahkan persepsi masyarakat terhadap suatu isu politik dengan menyoroti atau mengabaikan aspek tertentu. Hasilnya, opini publik dapat diarahkan ke arah yang diinginkan tanpa memberikan gambaran yang lengkap atau objektif. Manipulasi ini dapat menggoyahkan landasan demokrasi yang bergantung pada partisipasi masyarakat yang informasional dan cerdas.

Source: tvreport.co.kr 
Source: tvreport.co.kr 
Polarisasi politik juga menjadi bahaya nyata. Konten media sosial yang diframing dengan cara yang ekstrem atau tidak seimbang dapat memperkuat perpecahan antar kelompok masyarakat. Hal ini mengakibatkan terbentuknya kelompok-kelompok yang semakin terisolasi dan cenderung mengabaikan pandangan atau informasi yang berbeda. Polarisasi semacam ini merugikan keberlangsungan dialog dan kolaborasi, yang esensial dalam sistem demokratis yang sehat.

Ketidakobjektifan informasi juga merupakan dampak negatif dari penggunaan media sosial sebagai alat framing dalam politik. Ketika konten disajikan dengan sudut pandang tertentu, objektivitas informasi menjadi terancam. Masyarakat yang mengandalkan media sosial sebagai sumber utama informasi dapat mengalami kesulitan dalam membentuk pandangan yang seimbang dan mendalam tentang isu politik. Ketidakseimbangan dalam penyajian fakta adalah bahaya lain yang patut diperhitungkan. Media sosial yang digunakan sebagai alat framing cenderung menonjolkan atau mengabaikan informasi tertentu, menciptakan pandangan yang tidak akurat atau bahkan menyesatkan. Hal ini dapat memberikan pemahaman yang dangkal dan tidak lengkap kepada masyarakat, yang pada gilirannya dapat merugikan proses pengambilan keputusan politik.

Agenda politik yang mengalami perubahan adalah dampak lain yang dapat muncul ketika media sosial digunakan sebagai alat framing. Konten sengaja dibingkai dengan cermat dapat memengaruhi prioritas dan fokus politik, mengubah arus diskusi, dan bahkan mengalihkan perhatian dari isu-isu yang sebenarnya lebih mendesak atau penting. Post-framing dan komentar buzzer di media sosial memiliki potensi besar untuk memengaruhi opini publik, terutama dalam proses pemilu. Framing politik dalam postingan dapat secara selektif menyoroti atau mengabaikan aspek-aspek tertentu dari suatu isu atau figur politik, dengan tujuan membentuk persepsi yang diinginkan. Komentar dari buzzer, yang seringkali merupakan individu atau kelompok yang dibayar untuk mempromosikan pesan atau memengaruhi opini publik, dapat memperkuat framing tersebut

Dalam mengatasi bahaya-bahaya tersebut, penting untuk meningkatkan literasi media sosial masyarakat. Pendidikan dan kesadaran akan potensi framing serta cara mengidentifikasi informasi yang tendensius dapat membantu masyarakat menjadi lebih kritis dan selektif dalam mengonsumsi konten media sosial. Selain itu, regulasi yang memastikan transparansi dalam sumber dan tujuan informasi di media sosial juga menjadi kunci untuk mengurangi dampak negatifnya. Kurangnya literasi media sosial dapat membawa berbagai bahaya serius, terutama ketika dihadapkan dengan tantangan mengatasi framing informasi. Dalam politik, ketidakmampuan untuk membaca dan memahami dengan kritis informasi yang disajikan di media sosial dapat mengakibatkan beberapa dampak negatif. Pertama, masyarakat yang kurang literasi mungkin lebih rentan terhadap framing yang bersifat tendensius, di mana suatu isu politik disajikan dengan cara yang memanipulasi persepsi tanpa memberikan gambaran yang lengkap.

kurangnya kemampuan untuk memverifikasi kebenaran informasi dapat mengakibatkan penyebaran berita palsu atau disinformasi, yang dapat merugikan pemahaman publik tentang isu-isu politik krusial. Ketiga, kurangnya literasi media sosial dapat memperkuat polarisasi masyarakat, karena individu tidak mampu menilai secara kritis berbagai sudut pandang atau mendeteksi framing ekstrem. Keempat, ketidakmampuan untuk membaca dengan cermat dapat memungkinkan manipulasi opini publik oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan politik atau kelompok kepentingan. Kelima, dampak kurangnya literasi media sosial dapat menghambat partisipasi demokratis yang efektif, karena masyarakat tidak memiliki pemahaman yang memadai tentang mekanisme politik. Oleh karena itu, peningkatan literasi media sosial di kalangan masyarakat menjadi suatu keharusan untuk melawan bahaya-bahaya tersebut.

Dengan adanya konten media sosial sebagai alat framing dalam politik menunjukkan perlunya pendekatan yang hati-hati dalam mengelola informasi digital. Masyarakat dan pemerintah sendiri perlu berkolaborasi untuk menciptakan lingkungan online yang mendukung demokrasi, transparansi, dan kebenaran informasi. Hanya dengan langkah-langkah ini kita dapat meminimalkan dampak negatif dan memastikan bahwa media sosial tetap menjadi alat yang memperkaya, bukan mengancam, proses demokrasi.

Daftar Pustaka
[1] Jatmiko, L D., 2020, APJII: 196,7Juta Warga Indonesia Sudah Melek Internet, https://m.bisnis.com/amp/read/20201110/101/1315765/apjii-1967-juta-indonesia-sudah-melek-internet.
[2] Databoks.katadata.co.id, 2019, Berapa Pengguna Media Sosial Indonesia, diakses pada 29 November 2020, https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/02/08/berapa-pengguna-media-sosial-indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun