aku melihat para penguasa di negeri entah yang selalu berada dalam kegilaan yang lupa diri yang selalu menghempas debu-debu birahi dan mengotori jubah-jubah ibu pertiwi mereka yang selalu silau pada sinar mentari di terang pagi mata mereka selalu memerah karena setiap malam pesta hingga pagi hura-hura di tempat tumbuhnya bunga-bunga dan meniupkan nafas-nafas yang durjana di antara kegelapan suci bintang-bintang yang mengintip pesta mereka yang mabuk-mabukan mereka melakukan segala kecurangan di segala tempat tanpa terlewat di keharuman taman-taman bunga di dalam nyanyian bening musim penghujan di tepian sungai yang teduh dan rindang di tempat pepohonan yang berdesau dan bergumam bahkan di antara debur-debur ombak yang gemuruh mereka telah kehilangan akal nurani tenggelam dalam hawa nafsu birahi mereka berkeliaran di kegelapan hati dan merampas perhiasan-perhiasan ibu pertiwi oh.. bunda pertiwi mereka selalu menghempas debu-debu birahi dan mengotori jubah-jubahmu aku berseru dan berkata kepada mu, bunda "ambilah tongkat kayumu, adili dan pukuli kepala-kepala mereka” "ambilah pedang keadilanmu, tebaslah leher-leher kerakusan mereka” ah.. keadilan mu terlalu lembut bunda engkau hanya bisa mengeluarkan air mata layaknya seorang ibu yang menangis meskipun mereka telah kurang ajar atas dirimu engkau pun menyembunyikan tombak-tombak pemberontakan mereka di antara darah mengalir, di dalam luka-lukamu sendiri lalu.. keadilan bungkam dalam kepedihan cinta yang tak bisa tidur keadilan bungkam dalam rona merah yang tak bernoda keadilan bungkam dalam deraian air mata sang malam yang merana keadilan bungkam dalam terang pagi yang pucat pasi oh.. wahai engkau bunda pertiwi ku harap suatu saat pengampunan mu kan menggelegar dalam badai melemparkan mereka-mereka biadab hingga terjerembab menghamburkan barang-barang curian mereka ke atas tanah hingga kumuh, dan berselemak debu-debu oh.. wahai engkau bunda pertiwi ku harap suatu saat pengampunan mu ada dalam badai kilat dan petir dalam curahan darah yang curah dalam tawa dalam warna merah menyala mentari yang terbenam dan mengantar pulang mereka-mereka ke jahanam *** sumber gambar dari http://www.sijarangpulang.wordpress.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H