Mohon tunggu...
Inge
Inge Mohon Tunggu... -

Menyenangi KESEDERHANAAN. EGO tidaklah sederhana tetapi CINTA.

Selanjutnya

Tutup

Drama

Pak Ouda dan Pythagoras

21 November 2011   03:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:24 490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pak guru Ouda melakukan sarapan paginya lebih awal karena tugas mengajarnya yang jatuh pada jam pelajaran pertama pada setiap Hari Jumat. Dibereskannya pekerjaan dapur sebelum berangkat ke SMA Pengharapan. Sebagai seorang guru muda dan masih bujang, segala pekerjaan harus dilakukannya sendiri. Setelah pekerjaan dapur beres dan bersih, bergegas dia mengambil tas dan sepeda ontelnya.

Mengayuh sepeda ontelnya di jalan pedesaan pada pagi hari sungguh suatu anugerah. Begitulah yang selalu dirasakan dan disyukuri oleh Pak Guru Ouda. Dia tiba di sekolah 30 menit sebelum jam pelajaran pertama dimulai. Beliau mengajar matapelajaran Matematika.

Setelah beristirahat sejenak, Pak Ouda mempersiapkan bahan pengajaran hari ini sambil menanti bel berbunyi. Meski sudah dua tahun menjadi guru, beliau masih terlihat canggung jika mengajar di depan kelas. Hal ini kadang menjadi bahan candaan murid-muridnya seperti Helmi yang sering dipanggil babeh oleh kawan-kawannya. Juga ada si Mimin, Naim, Imarithin, dan lain-lain. Itu sebabnya kadang arah pandangan mata beliau tidak langsung tertuju kepada murid-muridnya, melainkan suka tertuju ke arah lain untuk menghindari kontak mata. Namun pun demikian, beliau memang sangat pandai hingga dijuluki profesor oleh murid-muridnya.

Bel berbunyi tanda jam pelajaran pertama dimulai. Pak Ouda sudah berada tepat di dalam kelas. “Selamat pagi, adik-adik,” sapa Pak Ouda ramah. Mungkin faktor usia yang membuat beliau memanggil adik kepada siswanya dibanding anak.

“Selamat pagi, paaaaaaaaaaakkkkkk,”jawab murid-murid serempak.

“Selamat pagi, paaaaaaaaaaakkkkkk prof yang cakeeeepppp,” Mimin menambahi ucapan salamnya yang ditimpali gelak tawa teman-teman sekelasnya.

“Ah, kamu, Min. Modal gombaaaaaaaalllll,” sahut Naim dari bangku belakang.

Pak Ouda hanya tersenyum simpul, membuat hati Mimin makin tak karuan.

“Oke, kita mulai pelajaran sekarang ya?” kata Pak Ouda.

“Tahun depan aja, pak….” Sahut Helmi, lirih, takut terdengar gurunya.

Dan guru muda ganteng itu pun masih melanjutkan pembicaraannya.

“Mumpung masih pagi, masih seger, kita hitung-hitungan yang mudah dulu, yuk…pelajaran jaman SD dahulu…” kata Pak Ouda, kalem.

Yiiuuuuk mareeee…” kata Inge sambil mengerling, berharap Pak Guru gantengnya menengok, tapi usahanya sia-sia.

“Ada 4 ekor kambing di kebun, kalau dikali 2, jadi berapa total kambing di kebun itu?” tanya Pak Ouda kepada murid-muridnya.

“Delapaaaaaaaaan” jawab murid-murid serempak.

“Ada yang punya jawaban lain?” tanya Pak Ouda sambil senyum-senyum penuh arti. Murid-murid celingukan, dalam benak mereka mempertanyakan kepala sekolahnya memilih Pak Ouda menjadi guru matematika SMA. Jawaban mutlak kok dipertanyakan kebenarannya, begitu pikir mereka.

“Ini si Bapak lulus SD gak sih?” tanya Deasy ke Dina.

“Ganteng ganteng kok bego..” jawab Alex yang duduk tepat dibelakang Deasy dan Dina.

Bisik-bisik pun terdengar dari meja belakang sampai depan. Pak Ouda masih senyum-senyum, tak mengindahkan keributan yang terjadi. Inge dan Mimin makin tak peduli dengan jawaban soal, yang terpenting guru ganteng ini terus tersenyum. Pemandangan indah di pagi hari.

Melihat tak ada lagi yang merespon pertanyaannya, Pak Ouda menjawab sendiri soal yang diberikannya. “Jawabannya adalah total kambing yang ada di kebun adalah 4 ekor.”

Kembali keributan terdengar dari sana sini. Pak Ouda lagi-lagi tersenyum sambil berkata,“ Perhatikan pertanyaan saya tadi. Ada 4 ekor kambing di kebun, kalo dikali 2, jadi berapa total kambing di kebun itu? ……Ya total kambing di kebun hanya 4 ekor, laaah, kan yang 2 ekor ada di kali, itu tuh, di sungai…”

Udah nggak ada, pak. Kan kemaren udah dipotong ama Pak Haji Mamar buat Idul Adha,” Alek menyahut.

Tawa murid-murid membahana sampai keluar kelas. Inge dan Mimin makin kagum dengan gurunya itu. Selain ganteng, dia juga punya rasa humor yang tinggi.

“Itu tadi sekedar humor ya, biar tidak tegang menghadapi pelajaran berikut. Oke, sekarang, Helmi, ayo maju ke depan kelas. Tolong gambar ke papan tulis segitiga siku-siku,” kata Pak Ouda setelah tawa para murid mereda.

Helmi tetap diam tak bergerak.

“Helmi, tolong maju ke depan, gambarkan segitiga siku-siku,” ulang Pak Ouda, masih sabar.

Helmi menjawab lantang, “ Sikunya siapa, pak? Sikunya Hadi item, pak.”

Sekali lagi murid-murid tergelak. Pembalasan lebih kejam daripada pendahuluan sepertinya. Setelah selesai menggambar segitiga sama sisi, Helmi kembali duduk dibangkunya. Pak Ouda pun membuat tiga buah simbol pada setiap sudut segitiga tersebut.

[caption id="attachment_143034" align="aligncenter" width="300" caption="http://www.seeshareshape.com.au/share/story.aspx?sc=91191&id=23173&ch=2"][/caption]

“Nah, adik-adik. Perhatikan ketiga sudut ini. Sudut A kita namakan sudut alfa, sudut B adalah beta, dan sudut C adalah gamma. Untuk mendapatkan sudut alfa, maka manakah yang benar, sudut beta dikurangi gamma atau sebaliknya?” tanya Pak Ouda kepada murid-muridnya. Namun sayang tak banyak dari mereka yang memperhatikan. Kebanyakan dari mereka sibuk dengan urusan mereka masing-masing dan bahkan pada barisan belakang sibuk berdiskusi tentang pertandingan sepak bola SEA GAMES antara Malaysia dan Indonesia.

“Ayo, adik-adik. Coba perhatian dulu ke sini. Bahan ini akan diikutkan pada ujian tengah semester nanti lho,” kata Pak Ouda sambil tersenyum. Namun sepertinya murid-murid itu memang kurang peduli.

“Ayo dong jangan ribut,” Imarithin menyahuti teman-teman sekelasnya.

“Iya nih, anak-anak. Coba yang tenang dong,” Anissa menimpali Imarithin.

“Iya deh, kakaaaakkkk,” sahut Suri yang culun.

Akhirnya satu kelas pun diam dan mulai memperhatikan Pak Ouda.

“Nah, kita lanjut ya. Coba siapa yang tahu, untuk menentukan sudut alfa ini, apakah beta kurang gamma atau gamma kurang beta?” tanya Pak Ouda sekali lagi.

Seisi kelas masih hening.

“Ayo, ini kan pelajaran yang sudah didapatkan di SMP dulu. Beta kurang gamma atau gamma kurang beta?”

Masih juga hening. Tak ada satu pun murid yang menjawab. Pak Ouda mulai berkeringat karena gugup.

Ehemm...ayo, sekali lagi. Siapa yang tahu? Beta kurang gamma atau gamma kurang beta?”

“Srondol, pak...Srondol yang tahu,” jawab Candra menunjuk pada Hazmi yang duduk disampingnya dan sering dipanggil Srondol.

“Beta kurang tahuuuuuuuuuuuu, pak!” jawab Srondol yang langsung disambut gelak tawa teman-teman sekelasnya.

*****

Tulisan karangan merupakan hasil kolaborasi bersama Budina. Nama dan tempat kejadian hanya fiktif belaka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Drama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun