Buku adalah jendela dunia. Namun, di balik indahnya ungkapan ini, Indonesia menghadapi kenyataan pahit tentang maraknya buku bajakan. Fenomena ini seolah menjadi "jalan pintas" bagi sebagian besar masyarakat yang ingin menikmati ilmu tanpa mengeluarkan biaya besar. Ironisnya, di tengah perayaan meningkatnya minat baca, ada dilema besar yang mengintai: bagaimana menghentikan praktik ilegal ini tanpa menutup akses literasi untuk semua?
Buku bajakan telah menjadi "opsi murah meriah" yang menggoda. Harganya yang jauh lebih rendah dibandingkan buku asli membuatnya menjadi primadona, terutama bagi pelajar, mahasiswa, atau masyarakat berpenghasilan rendah. Bayangkan, sebuah buku teks akademik asli yang dijual seharga Rp200.000 bisa ditemukan dalam bentuk bajakan dengan harga Rp50.000. Dengan selisih harga sebesar itu, sulit menyalahkan pembeli yang memilih opsi lebih ekonomis, apalagi jika kebutuhan literasi mereka bersifat mendesak.
Kemudahan akses juga menjadi katalisator maraknya pembajakan buku. Di era digital seperti sekarang, buku bajakan tidak hanya dijual di kios-kios kecil atau pinggir jalan, tetapi juga tersedia di dunia maya. Dengan beberapa klik, masyarakat bisa mengunduh e-book bajakan melalui situs-situs ilegal atau platform media sosial. Tak jarang, penyebarannya gratis, sehingga daya tariknya semakin sulit ditolak. Bagaimana mungkin buku legal bisa bersaing jika opsi ilegal ini begitu mudah dan murah?
Namun, kemudahan dan harga murah ini tidak datang tanpa konsekuensi. Di balik "keuntungan" tersebut, ada dampak besar yang jarang disadari pembeli. Penulis kehilangan hak atas royalti yang seharusnya menjadi sumber pendapatan utama mereka. Bayangkan seorang penulis yang menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk menulis buku, hanya untuk melihat hasil karyanya dijual bebas tanpa izin, tanpa penghargaan, dan tanpa keuntungan finansial bagi dirinya. Ini adalah bentuk eksploitasi yang nyata, tetapi sering kali diabaikan oleh konsumen.
Penerbit, sebagai penggerak industri literasi, juga ikut terpukul. Pendapatan mereka menurun karena buku bajakan merampas pasar buku asli. Dalam jangka panjang, hal ini dapat melemahkan inovasi dan kreativitas dalam dunia penerbitan. Mengapa penerbit harus berinvestasi pada karya baru jika karya mereka yang lama terus dirugikan? Lebih jauh lagi, kualitas buku bajakan sering kali rendah. Cetakan yang buram, halaman yang hilang, atau isi yang tidak lengkap menjadi keluhan umum. Ini bukan hanya merugikan pembaca, tetapi juga mencoreng nama baik karya itu sendiri.
Yang lebih memprihatinkan, pembajakan buku mencerminkan rendahnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menghormati hak cipta. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta jelas menyebutkan bahwa pembajakan adalah tindakan ilegal yang dapat dikenai sanksi pidana hingga 10 tahun penjara atau denda maksimal Rp4 miliar. Namun, hukum ini sering kali tidak efektif karena sifat delik aduan, di mana tindakan hanya dapat dilakukan jika ada laporan dari pihak yang dirugikan. Akibatnya, banyak kasus pembajakan buku yang lolos dari jerat hukum.
Di sisi lain, budaya permisif terhadap pembajakan di masyarakat menjadi tantangan besar. Di kalangan akademisi, misalnya, praktik fotokopi buku sering dianggap sebagai "tradisi". Mahasiswa menganggapnya sebagai cara hemat untuk mendapatkan referensi. Bahkan, beberapa dosen tidak keberatan menyarankan materi dari buku bajakan karena dianggap lebih mudah diakses. Budaya ini memperparah situasi dan menciptakan siklus yang sulit dihentikan.
Lantas, apa yang telah dilakukan untuk menghentikan fenomena ini? Pemerintah, penerbit, dan aparat penegak hukum telah mengambil beberapa langkah untuk mengatasi masalah ini. Penutupan situs-situs ilegal dan operasi razia terhadap pedagang buku bajakan adalah salah satu upaya yang dilakukan. Namun, efektivitas langkah ini sering diragukan. Ketika satu situs ditutup, situs baru muncul menggantikannya. Demikian pula, pedagang buku bajakan dengan mudah kembali beroperasi di tempat lain setelah razia berakhir.
Edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya menghargai hak cipta menjadi agenda penting, tetapi upaya ini belum merata. Kesadaran kolektif harus dibangun, mulai dari institusi pendidikan hingga komunitas lokal. Program-program literasi juga harus memasukkan elemen penghormatan terhadap karya intelektual sebagai bagian dari pembelajaran. Namun, perubahan budaya ini tidak bisa terjadi dalam semalam. Dibutuhkan upaya konsisten yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat.
Salah satu solusi potensial adalah menyediakan alternatif legal yang lebih terjangkau dan mudah diakses. Penerbit dapat menawarkan e-book resmi dengan harga yang kompetitif atau melalui sistem langganan digital. Model ini telah berhasil di negara-negara maju, di mana masyarakat lebih memilih layanan resmi karena harganya yang sebanding dengan manfaat yang diperoleh. Selain itu, distribusi buku asli harus diperbaiki agar lebih merata. Dengan akses yang lebih baik, masyarakat tidak perlu lagi bergantung pada buku bajakan.
Namun, pada akhirnya, masalah ini tidak hanya soal hukum atau regulasi. Ini adalah masalah etika dan kesadaran. Sebagai konsumen, kita memiliki tanggung jawab moral untuk mendukung penulis dan penerbit yang telah menciptakan karya-karya berharga. Membeli buku asli adalah bentuk penghargaan terhadap kerja keras mereka, sekaligus investasi dalam kualitas literasi kita sendiri. Jika kita ingin budaya literasi berkembang di Indonesia, kita harus mulai dengan menghormati hak cipta dan menolak pembajakan.
Fenomena buku bajakan memang dilematis. Di satu sisi, ia memberikan solusi murah untuk kebutuhan literasi. Di sisi lain, ia merugikan industri literasi dan menciptakan budaya yang tidak sehat. Dibutuhkan pendekatan holistik untuk mengatasi masalah ini---kombinasi antara penegakan hukum yang tegas, edukasi yang berkelanjutan, dan inovasi dalam distribusi buku asli. Dengan langkah-langkah ini, Indonesia dapat membangun budaya literasi yang lebih baik, menghormati hak cipta, dan memberikan akses literasi yang adil untuk semua. Ini bukan hanya tentang melawan pembajakan, tetapi juga tentang membangun masa depan literasi yang lebih cerah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H