Menurut World Health Organization (WHO), pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh pasangan remaja atau dibawah usia 19 tahun. Namun, hukum di Indonesia memiliki dasar hukum sendiri mengenai usia untuk dapat dikatakan pernikahan dini itu sendiri. Pada pasal 7 ayat 1 UU Pernikahan tahun 1974 menjelaskan bahwa batasan umur minimal seseorang dapat menikah yaitu laki-laki minimal berusia 19 tahun sedangkan perempuan berusia minimal 16 tahun. Berdasarkan aturan pemerintah Indonesia tentang pernikahan maka mempelai harus mendapat persetujuan orang tuanya.
Camat Eromoko, Pak Danang Irawanto mengatakan "Desa Pucung ini darurat edukasi perkawinan dini dan edukasi seks. Kemaren itu banyak yang masih dini sudah hamil diluar nikah. Jadi mohon bantuannya mba, mas, untuk diberi pendampingan". Keisha Annisa Putri selaku bagian dari Mahasiswa KKN Tim I Undip menggagas ide untuk melakukan pendampingan kepada warga Desa Pucung terkait pernikahan dini terhadap remaja-remaja setempat. Terlebih pada saat pandemi COVID-19, angka pernikahan dini naik drastis di Indonesia. Banyak sekali faktor-faktor pendorong terjadinya pernikahan dini, yakni minimnya edukasi seksual, faktor ekonomi keluarga, penutupan sekolah yang berimbas pada kurangnya aktivitas positif yang dapat dilakukan oleh para remaja, dan yang paling marak dijadikan alasan ialah menghindari kehamilan diluar nikah. Walaupun pada nyatanya, kehamilan diluar nikah memiliki banyak tindakan mitigasi yang dapat dilakukan selain pernikahan dini.
Pada saat pendampingkan, Keisha memberikan arahan serta penjelasan betapa pernikahan dini dapat membahayakan generasi muda. Ia juga membahas dari perspektif hukum, norma, kesehatan fisik dan juga kesehatan mental. Pemberian poster dengan narasi "stop pernikahan dini" juga dibagikan olehnya terlebih kepada Ibu Kepala Dusun Mijil, yang dengan harapan beliau dapat mempromosikannya kepada masyarakat setempat. Ibu Kepala Dusun Mijil juga mengakui bahwa beliau melakukan pernikahan dini dulu dan beliau menyarankan bahwa sebaiknya tidak usah dilakukan oleh generasi muda dikarenakan masa depan generasi muda masih banyak dan tidak harus bergantung kepada suatu ikatan perkawinan.
Yang terakhir, Keisha menyampaikan dampak-dampak yang bisa terjadi jika pernikahan dini terus menerus dilakukan yakni, pasangan belum siap secara psikologis dan mental. Hal tersebut dikarenakan anak-anak usia dini masih dalam tahap pendewasaan yang belum cukup matang untuk memutuskan sesuatu. Jika terus dilakukan, akan menjadi bumerang dan membahayakan keluarganya sendiri. Dalam segi kesehatan mental, ia menyampaikan bahwa perempuan rentan untuk terkena depresi dan juga janin dapat kekurangan nutrisi. Bahkan, yang lebih membahayakannya lagi ialah resiko matinya bayi dan ibu yang mengandung diusia muda. Kedepannya bahkan dapat berimplikasi pada masalah keuangan pada keluarga yang mana anak usia dini belum cukup umur untuk mencari nafkah dan manajemen keuangan. Keisha mempromosikan anak-anak Desa Pucung untuk tidak putus sekolah dan teruslah membangun masa depan terlebih dahulu.
Ibu Kepala Dusun Mijil merasa tercerahkan setelah mendapatkan pendampingan dari Keisha, mengingat beliau juga memiliki anak remaja. Beliau juga prihatin dengan kondisi Desa Pucung yang remajanya terkadang jauh dari pantauan orang tua dan tidak mengenal batas. Ibu Kepala Dusun Mijil mengucapkan terima kasih atas pendampingannya dan ingin segera mempromosikan "stop pernikahan dini" kepada Desa Pucung secara menyeluruh demi masa depan Desa Pucung yang lebih baik lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H