Mohon tunggu...
Mustaqimah Isnani
Mustaqimah Isnani Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

seorang perempuan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Biji, Titel opo Pinter??? --Sketsa UN

20 April 2011   12:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:36 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bijine pokokmen kudu luwih seko 5.5, ben lulus.. 60% dari nilai ujian, 40% dari nilai keseharian sebelumnya. Lagi-lagi pernyataan membisu oleh deru-deru pikiran yang berkecamuk diantara mereka yang sedang ketar-ketir menghadapi UAN. Saat ini detik ini tadi, banyak dari mereka sedang menantang UAN. Dengan berusaha menyembunyikan kekhawatiran, mereka berusaha sekuat tenaga serta pikirannya untuk menuntaskan sekolahnya dengan menjawab soal-soal pada carikan kertas. KErtas itu pun sebenarnya membisu, hanya saja tak mengenal lelah merongrong perasaan mereka. "Aduuh, gusti Alloh lan bopo biyung, piye tho iki kok angel men ujiane??? Gimana lagi, inilah realitas yang mendera Indonesia, dalam ranah pendidikannya. Renunganpun mengalir dari lubuk seorang yang notabene pernah mengalami EBTANAS (dulunya), dan dulu (jujur) pusing tak pusing memikirkannya. Hanya secercah harapan "tetap lulus" dengan nilai yang sederhana saja. Asal bisa melambungkan keinginannya untuk menginjakan kakinya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. TAPI,..TAPI,...Pendidikan itu buat biji, titel opo pinter, Hayooo???? Ini pertanyaan buat kita semua. Semua tak terkecuali buat bapak presiden yang telah bergelar Doktor. Ataupun buat menteri pendidikannya yang telah memiliki titel profesor. Juga tak segan pula, jika si abang tukan becak atau abang tukang bakso bersedia juga memberikan jawabannya.

1303302019252325835
1303302019252325835
Mikir-mikir UAN, sungguh-sungguh tragis. KEtika teman-teman yang bersekolah dan BerUAN, didikte oleh guru-gurunya yang "mungkin" ada yang BerUban untuk "Kamu Harus Lulus" demi,.demi nama sekolahan, demi,..demi,..nama keluargamu, demi,..demi,.. namamu sendiri. Mereka telah diperas rasanya dengan kucuran kata-kata yang membebani, walau banyak juga guru yang berbaik hati jadi psikolog dadakan untuk mengurangi beban. Namun lagi-lagi, hal ini nampak tetap membebani. Karena sejak awal, Aturan Kelulusan telah membikin mereka tak merdeka, membikin ati kayak cacing kepanasan, membikin dunia serasa sempit. Yang ada hanya perasaan dan pikiran "Bagaimana ya saya lulus???" Ternyata pernyataan itupun merongrong gurunya juga. Mereka kadang tersedak minum serta makannya, jika mengingat beban dipundak untuk memintarkan muridnya agar dapat nilai plus,..plus,..lulus,.. Perlahan-lahan, dengan segala jurus dilakukan. Dari taraf positif dengan ngadain bimbel plus setelah sekolah, mencekoki tambahan pelajaran serta soal-soal yang bejibun banyaknya sampai ke taraf negatif saking ketar-ketir ngewangi muridnya--membocorkan soal, ngandani jawabannya atau membenarkan jawaban muridnya (itu kasus dulu- sekarang nampaknya mengalami pengurangan kecurangan). Hasilnya???? Hasil ini bukan nilai yang diukur, rupanya hasil dari rongrongan "keharusan". Baca sekilas beberapa berita beberapa hari ini, ada beberapa temen yang ngambek ga mau datang UAN. Banyak alesan yang dijadikan alesan untuk melupakan UAN. UAN membuat judek pikiran, mending nikah (alesan 1), mending kerjo (alesan 2), mending sakit (alesan 3), mending dolan (alesan 4-saya buat sendiri), dan alesan yang lainnya. oalah,..oalah,..Bopo polah anak kepradah,.. UAN polah, muride kepradah. Jika demikian, terus bagaimana????? Ada kasus, seseorang saking judeknya mikir UAN, tangannya gemeteran, nangis, terus mau pingsan. Ada kasus, diliat dari CCTV, pada nyontek--ngumpetin sobekan-sobekan kesaku, ke desgrip adapun yang pada asyik berdiskusi. Ini generasi apa ya??? GAung tujuan Negeri ini " Mencerdaskan kehidupan bangsa" dalam pembukaan 45, nampaknya terbengkelai sesaat (moga-moga). KEtika nilai menjadi wacana utama kelebihan seseorang untuk bisa meneruskan ke sekolah yang lebih tinggi lagi. Dari tahun ke tahun mengalami kenaikan. Ada benarnya juga jika hal ini dilakukan. Akan tetapi sudahkah kita mempersiapkan hal-hal lainnya?? Kembalilah ke tujuan awalnya saja, menurut saya itu sudah cukup. Tanpa embel-embel nilai. Nilai mengikuti proses dan tentunya jadi hasil yang tak perlu dikoar-koarkan sedemikian dasyatnya sehingga sorotan mata tertuju padanya, bukan pada tujuan sebenarnya "Mencerdaskan bangsa". JIka hal ini terus di blow up terus-terusan, generasi pun jadinya karbitan. Dan akhirnya kita menjadi bangsa yang mudah dikibuli. Itukah kita??? saya harap tidak. Sudah saatnya perspektif diatas diubah haluannya. Jika kapal ini, telah melepaskan jangkarnya pada satu titik wilayah tertentu, kapal tersebut masih bisa berlayar asal jangkar yang menetapkannya ditarik dipindah ke wilayah yang prospektif bagi kehidupan orang-orang yang ada didalamnya. Asal sejak awal sang nahkoda telah mengikhtiarkan diri untuk memperbaiki kehidupan bangsa, tanpa ada tendensi apapun.Ingat "kcerdasan/ kepintaran lah yang mampu memecahkan segala persoalan bangsa asal tidak menyesatkan". Sumber daya manusia yang berkualitaslah yang mampu membangun negeri ini". Mari sahabat-sahabat masyarakat,.mari bersama perbaiki negeri ini. Dari diri kita sendiri, lanjut ke yang lainnya. Akhirnya, biji, titel opo pinter, hayoooo????!!! jawablah sesuai dengan hati nurani anda yang mengerti diri anda sendiri, begitupun oleh para pejabat yang disana. wallahua'lam jogja. 20042011.7.02pm

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun