Tanggal 12 November kemarin, saya mengikuti acara Smallholder Linking and Learning yang diselenggarakan oleh lembaga Roundtable on Sustanaible Palm Oil (RSPO) di Hotel Santika Dyandra, Medan, Sumatera Utara. Salah satu presentasi yang menarik adalah presentasi mengenai dana yang telah disediakan oleh RSPO untuk program sertifikasi petani kecil dan mandiri. Saya sendiri memperoleh undangan dari pihak RSPO dalam kapasitas saya sebagai petani mandiri.
Pada pertemuan itu pula, saya mendapatkan informasi bahwa petani mandiri tidak hanya ada di Indonesia, melainkan juga ada di negara-negara yang lain. Bahkan negara-negara yang berada di Amerika Latin seperti Kolombia, Brazil, dll telah mengembangkan perkebunan kelapa sawit dengan pertumbuhan rata-rata 5% per tahun. Sementara, pada saat ini Indonesia sedang mencanangkan program moratorium perkebunan kelapa sawit secara nasional.
Karena itu, pada pertemuan tersebut saya bertanya kepada pemateri yang mewakili apakah ada niat dan keinginan dari pemerintahan yang ada di Amerika Latin untuk terus mengembangkan kelapa sawit untuk mengalahkan Indonesia dan Malaysia sebagai produsen utama kelapa sawit. Sang pemateri memastikan sampai saat ini kebijakan tersebut belum ada. Namun dengan tingkat pertumbuhan perkebunan yang mencapai 5% per tahun, pasti dapat dibayangkan apabila laju pertumbuhan tersebut bertambah cepat mengingat sawit merupakan komoditas global yang sangat menarik.
Pada pertemuan tersebut juga, saya bertemu dengan beberapa petani dari rekan senegara seperti Kalimantan Barat, Riau dan Jambi, dan juga beberapa rekan petani dari negara-negara lain seperti Kepulauan Solomon, Papua Nugini dan Ghana. Ternyata negara-negara inipun telah mengembangkan sawit yang mendapat perhatian penuh dari banyak lembaga dunia mengenai sustainability dan juga produktivitasnya.
Pada pertemuan itu, saya juga mendapatkan sapaan hangat dan perhatian dari seorang perwakilan dari perusahaan dalam negeri yang cukupbesar. Ketika itu, seorang pemateri yang berasal dari Riau berkisah mengenai keberhasilan mereka bermitra dengan perusahaan tersebut dalam banyak hal yang berkaitan dengan pengembangan produktivitas perkebunan petani. Mengingat kampung saya juga berdekatan dengan perusahaan yang sama, meski berada di propinsi yang berbeda, karena saya menetap di propinsi Sumatera Utara, saya menanyakan kepada pemateri mengapa perusahaan besar itu dapat bersikap baik kepada mereka, sedangkan kami belum mendapatkan sikap tersebut.
Mungkin gara-gara pertanyaan ini, pada saat break dan istirahat, sang perwakilan mendekati saya dan mendiskusikan mengenai situasi tersebut secara jernih. Dan intinya adalah sang perwakilan tersebut memberikan saya kesempatan dan dorongan untuk membuka komunikasi terkait program-program yang dapat dijalankan bersama-sama asal demi kepentingan petani. Hebat, bukan?
Sebagai penutup, pada saat ini berkecamuk pemikiran di dalam benak saya, apakah langkah sertifikasi merupakan pilihan yang tepat diambil saat ini mengingat pada saat ini di Malaysia sendiri, RSPO telah mendapat penolakan dari banyak perusahaan yang selama ini bermitra dengan RSPO. Saya juga melihat kenyataan bahwa Indonesia sedang mengembangkan Standard sendiri yang saat ini dikenal dengan nama ISPO (Indonesia Sustanaible Palm Oil), namun saya tidak mendapatkan informasi bagaimanakah perkembangannya hingga kini.
Tentu bukan pilihan yang tepat dan bijak apabila kita menolak peluang yang dapat mengangkat dan menjaga kelangsungan kelapa sawit sebagai mata pencaharian kami. Apalagi bermitra dengan institusi kelas dunia akan memberikan perspektif keilmuan dan pengalaman yang luar biasa bagi para petani kecil semacam kami. Aih, bagaimana ini? Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H